Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sportivitas di Tengah Emosionalitas, Mungkinkah?

27 April 2019   19:06 Diperbarui: 27 April 2019   19:29 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi nasional yang terasa semakin hangat pasca pemilu 17 april lalu seyogyanya menjadi keprihatinan dan tanggung jawab bersama semua komponen bangsa untuk berpartisipasi aktif mendinginkan "karburator politik" nasional saat ini. 
Pertanyaannya kemudian, Apakah bertambah hangatnya "cuaca" politik itu merupakan ekses pemilu atau justru karena hal ikhwal sesuatu yang lain. Atau, apakah ada pihak  yang sengaja memobilisir emosionalitas massa untuk kepentingan tertentu-nya pada pemilu ini seperti demo yang baru terjadi di madura.
Banyak pakar sosial masyarakat yang berpendapat bahwa pelibatan emosi publik dalam percaturan politik bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba dan tanpa disengaja. Disinyalir selalu ada pihak yang memang secara sengaja memobilisir dan memanfaatkan emosi fanatisme massa tersebut untuk kepentingan subjektif kelompok nya. Banyak contoh yang sudah terbukti, bahwa bila emosi sudah bercampur aduk dengan isu politik maka semakin sulit menetralisir dampak kerusakan yang diakibatkannya.Lalu apa kaitannya sportifitas dengan emosionalitas ?. Berbicara mengenai sportifitas ada beberapa hal unik dalam olahraga yang dapat kita ambil hikmahnya untuk pembelajaran politik rakyat. Sebagai contoh pada saat Piala Dunia tahun 2018 kemarin beberapa negara dapat menunjukkan contoh sportifitas terbaiknya. Mulai dari sportifitas di atas lapangan juga sportifitas diluar lapangan. Jepang mampu menunjukkan sportifitas tidak hanya di dalam lapangan, mereka juga menunjukannya saat di ruang ganti setelah kalah melawan Belgia di babak penyisihan 16 besar dengan membersihkan ruang ganti pemain, serta tidak lupa berterima kasih kepada Rusia sebagai negara tuan rumah yang telah memberikan segala fasilitas bagi tim bola-nya selama berkompetisi.
Bagaimana dengan di Indonesia ?. Cara mudah untuk mengetahui level sportifitasnya adalah melihat fakta pada suatu kontestasi. Apakah semua kontestan pemilu sudah bisa menjaga emosinya atau belum ?, jikalau mereka belum bisa menjaga emosinya sendiri, sportifitas itu akan sulit untuk dilakukan.
Jika kita masih sering menemukan propaganda yang negatif walapun pemilu sudah usai penyebabnya ternyata berasal dari internal kelompok itu sendiri. Adanya keyakinan akan keunggulan pihak-nya secara berlebihan dan kekeliruan dalam mengukur kekuatan lawan misalnya, pada akhirnya mengakibatkan ekspektasi internal yang (sangat) berlebihan sehingga tidak siap (harus) menerima kenyataan bila terjadi kekalahan pada kelompoknya. Akhirnya, tentu semuanya kembali berpulang pada pilihan "manuver" strategi politik yang dimainkannya.
PenutupPengalaman pahit sejarah disintegrasi bangsa ditahun 50 an sudah membuktikan,  melibatkan emosi massa secara berlebihan pada proses politik cuma akan melahirkan perpecahan bangsa, sesuatu yang terlampau  murah di  banding  nilai persatuan bangsa Indonesia. Dengan demikian maka sangat tidak layak jika ada pihak yang (rela) membenarkan apalagi memobilisir emosi (massa) secara negatif pasca pilpres seperti saat ini. Siapapun itu, harus patuh dan tunduk pada keputusan pilihan rakyat yang akan diumumkan KPU pada 22 mei nanti. Suka atau tidak harus diterima dengan lapang dada karena memang begitu-lah "rule of the game" nya demokrasi di seantero dunia,  termasuk di Indonesia.Fair play please
Esra Kriahanta Sembiring, S.IP, M.AP, M.Tr (Han), Direktur IDW Indonesia Democracy Watch dan Ketua Dewan Peneliti CP2NS, Center for Public Policy and Nation Studies, Jakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun