Mohon tunggu...
Esai Kita
Esai Kita Mohon Tunggu... Aktor - Tukang Tulis

Tukang Share Esai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Meikarta

7 September 2017   11:28 Diperbarui: 8 September 2017   17:34 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persis saat menulis ini, di samping kiri-kanan layar ini ada iklan. Coba kompasianer menulis, lihat iklan apa. Ya, iklan Meikarta dengan tagline: Kini Sebuah Kota Masa Depan Ideal Impian Anda Bukan Lagi Sekedar Mimpi. 

Seperti apa sih hunian ideal itu? Masing-masing kita punya selera beda ingin menghuni di mana, dan bercita-cita menghabiskan masa tua di mana sesuai selera. Nah, judul tulisan ini diambil dari buku berisi sekumpulan cerita yang tidak saling berhubungan. Buku cerita ini judulnya: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Pengarangnya adalah Idrus, sastrawan kelahiran Padang 21 September 1921. 

Idrus dikenal sebagai pengarang pembaharu prosa di kalangan angkatan '45. Setelah menamatkan SMT, ia menjadi  redaktur Balai Pustaka di tahun 1943, kemudian bekerja sebagai Kepala  Bagian Pendidikan Garuda Indonesia Airways tahun 1950-1952. Mahir  menulis sketsa, kumpulan sketsanya Corat-coret di Bawah Tanah, ia buat pada masa pendudukan Jepang. Beberapa drama yang ditulisnya, Ave Maria  tahun 1948, Keluarga Surono tahun 1948, Kejahatan Membalas Dendam tahun  1948, Bisma tahun 1945 dan Jibaku Aceh tahun 1945.

http://www.wikiwand.com
http://www.wikiwand.com
Menurut  H.B. Jassin cerita pendek  Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma menggambarkan adanya romantis  idealisme dan realisme yang penuh epos kepahlawanan. Mula-mula cerita itu kelihatan romantik yang menawan hati, lalu pengarang mencari jalan  lain menuju ke "Corat-Coret di Bawah Tanah" dengan kacamata realisme  yang diwarnai epos kepahlawanan, tetapi tampak humoris dan akhirnya  mengawinkan keduanya pada "Jalan lain ke Roma" yang menggambarkan  kesederhanaan hidup".

Ya, kesederhanaan hidup. Lalu apa hubungannya dengan Meikarta? Apakah Meikarta menggambarkan mimpi kesederhanaan hidup? Entahlah. Karenanya, penulis minta maaf kepada Idrus, telah memplesetkan judul ceritanya gara-gara mimpi tentang Meikarta itu.

Baiklah, kita lihat dan baca berbagai opini soal Meikarta ini. Di Kompasiana, Jilal Mardhani karyawan swasta beristri satu beranak tiga di Jakarta menulis di sini dengan judul: Demokrasi Pragmatis, Meikarta, dan Museum Planologi. Kata Jilal, Meikarta bisa saja sebagai implikasi dan permasalahan 'kota lama'  di sekitarnya yang tak kunjung tertangani. Sebab perkembangan (industrialisasi) poros Jakarta-Bekasi-Karawang bahkan hingga Purwakarta  yang tak tertata baik hari ini justru semakin menekan kelayakan dan kenyamanan hidup kota dan masyarakat di sana. Nah lebih jauh soal opini ini baca di sini.

Tulisan lain yang viral adalah tulisan Farid Gaban judulnya: Meikarta dan Metropolitan yang Sakit. Menurut tokoh jurnalis Indonesia ini, Meikarta akan menambah problem perkotaan yang  dikenal sebagai "urban sprawl", meluasnya kota secara tak terencana dan  bahkan tak terkendali. "Urban sprawl" juga mempertajam ketimpangan ekonomi dan sosial, baik  di dalam metropolitan sendiri maupun antara metropolitan dengan daerah  selebihnya. Ini akan memicu sentimen sosial kian parah dengan  konsekuensi tak terbayangkan di masa depan. Lebih dari segalanya,  pembangunan kota-kota baru oleh pengembang swasta seperti Meikarta jelas  akan mengurangi kendali pemerintah terhadap ruang dan kemaslahatan  publik. Rakyat menjadi sekadar konsumen, kehilangan haknya warga kota  dan negara.

Selain tulisan viral Farid Gaban, juga ada tulisan mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berjudul: Meikarta dan Wajah Pembangunan Kota yang Tidak Adil. Petrus Putut Pradhopo nama penulisnya. Seorang pencari teka-teki  keadilan dan  kesetaraan.  Katanya, kondisi ini sangat ironis, ketika banyak rumah dan unit apartemen kosong  tak berpenghuni tetapi tak seorangpun yang tidak memiliki hunian boleh  menempatinya karena ada pemiliknya. Jika ingin menempatinya, mereka  harus menyewanya. Sementara itu, Pemilik hunian tersebut adalah  seseorang yang tidak pernah menempati huniannya. 

Hemmm... Meikarta oh Meikarta. Semua terserah Anda. Kalau ditanya, menurut penulis, ya sebuah kota masa depan ideal bukan lagi sekedar mimpi itu adanya di Roma.  Ya, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, bukan Meikarta. Terima kasih Idrus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun