Mohon tunggu...
Humaniora

Katanya Sih Bias Gender

3 Januari 2017   16:28 Diperbarui: 3 Januari 2017   18:38 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu, media massa gegap gempita dengan berita para perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi. Meski permpuan terlibat korupsi bukanlah hal baru, tapi sejumlah nama perempuan yang dalam waktu bersamaan terlibat kasus korupsi besar-besaran adalah fenomena baru.

Parade perempuan korupsi

Diawali dengan tertangkapnya Nunun Nurbaeti, pada Desember 2011 di Bangkok, Thailand. Kasus ini sangat kotroversial, mengingat statusnya sebagai istri dari mantan Wakapolri, Komjen (Purn), Adang Dorojatun, yang mestinya berlaku sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi, serta status Adang sebagai mantan cagub DKI 2007 yang didukung oleh PKS, sebaga partai besar yang mencitrakan diri bersih dan peduli.

Menyusul kemudian Mindo Rosalina Manullang, mantan direktur pemasaran PT Anak Negeri yang terlibat kasus suap Wisma Atlet di Palembang. Kasus ini menyeret nama Angelina Sondakh, anggota DPR dari partai Demokrat yang mulai 27 April 20012 resmi mendekam di sel tahanan KPK. Anggie juga diduga terlibat kasus korupsi dana bantuan bagi perhuruan tinggi di lingkungan Kemendikbud. Ada pula nama Inong Malinda Dee yang membobol dana nasabah Citibank dalam 64 transaksi dan 53 transaksi. Inong yang didunia maya beredar foto syur-nya, tiba-tiba mengubah penampilan menjadi berkerudung setelah mrnjadi terdakwa. Soal berekrudung mendadak ini juga terjadi pada Nunun Nurbaeti dan Neneg Sri Wahyuni.

Tak kalah heboh dengan kasus Wa Ode Nurhayati, anggota Banggar DPR dari partai PAN, yang berhasil mengantongi banyak uang dari profesinya sebagai Banggar. Kemudian Miranda S Gultom, sang mantan DGS BI yang ditetapkan menjadi tersangka sejak 26 januari 2012. Dia terlibat dalam kasus suap pemilihan dirinya sebagai DGS BI pada tahaun 2004. Ada pula Dharnawati, yang terlibat dalam kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) bidang transportasi di Kemenakertrans.

Dalam wilayah daerah, ada Titik Kirnanigsih istri walikota salatiga, Jawa Tengah yang terlibat kasus korupsi JLS Salatiga. Lalu ada Imas Dianasari, hakim pada Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Bandung yang terbukti menerima suap dari perusahaan yang tengah bersengketa dengan serikat pekerjaannya.

Tertangkapnya Neneng Sri Wahyuni, menambah panjang daftar parade korupsi perempuan ini. Kasus korupsi PLTS di Kemenakertrans telah mendaji buron selama 336 hari dan menjelajahi 192 negara dalam pelariannya. Istri mantan bendahara umum partai Demokrat Nazarudin ini didakwa menjadi makelar operator kontrak proyek PLTS yang merugikan Negara.

Analisis Bias Gender

Banyaknya kasus korupsi yang terjadi pada perempuan  kalangan legislatif menumbangkan premis bahwa peningkatan keterwakilan  perempuan dalam legislatif akan menurunkan tingkat korupsi. Premis ini didasarkan pada keyakinan bahwa secara “natural” perempuan memiliki sifat lebih hati-hati, takut resiko, tidak ambisius, kurang agresif dan kompetitif. Semua sifat itu kurang kondusif jika di buktikan dengan perempuan yang berkorupsi. parade korupsi oleh kaum perempuan membuktikan bahwa asumsi tadi bias gender. Perempuan juga semakin terbukti berani ambil resiko, tak kalah agresif, ambisius dan kompetitif disbanding dengan laki-laki.

Selain itu, ada sumsi dalam benak masing-masing rakyat Indonesia yang beranggapan”dibalik laki-laki yang korupsi pasti ada istri yang serakah atau menuntut” anehnya, persangkaan yang sama bahwa “dibelakang perempuan yang korupsi pasti ada suami yang serakah atau tamak” itu jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak terkemuka. Inilah fenomena bias gender yang ada dalam kasus korupsi besar-besaran oleh kaum perempuan. Gaya hidup materialis para perempuan koruptorlah yang menjadi sorotan dan dituduh menjadi salah satu biang keladi terjadinya korupsi. Padahal sifat materialistis perempuan mestinya terbantahkan oleh kasus korupsi yang lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki.

Spontanitas ungkapan “perempuan-perempuan kok korupsi!” juga merupakan fenomena bias gender. Ungkapan itu menunjukkan bahwasannya jenis kelamin yang lain (laki-laki) lebih pantas jika terlibat dalam kasus korupsi, dan lebih bisa dimaklumi. Sosok perempuan sebagai pihak yang diberi nafkah oleh suami, dan serangkaian sifat “natural” yang dilekatkan padanya membuat sosok perempuan dinilai tidak pantas melakukan korupsi. Padahl korupsi adalah perbuatan yang tidak pantas bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Fenomena parade korpsi oleh kaum perempuan menunjukkan bahwa korupsi bukanlah persoalan jenis kelamin. Korupsi adalah soal bertemunya lemah iman, dengan niat dan kesempatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun