Mohon tunggu...
Erwindya Adistiana
Erwindya Adistiana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning by Experience

Penulis pemula yang tertarik pada hal-hal seperti sejarah, militer, politik dan yang lain-lannya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Militer Berada di Bawah Kendali Sipil

4 Maret 2022   17:55 Diperbarui: 4 Maret 2022   17:58 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Perthanan Donald Rumsfeld dan Ketua Kepala Staff Gabungan Jenderal George S. Brown | Sumber Gambar: catalog.archives.gov

Pada awal tahun 2021, tepatnya pada tanggal 1 Februari 2021, dunia sempat dihebohkan dengan aksi Kudeta yang terjadi di Myanmar, di mana pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi digulingkan dari kekuasannya melalui aksi Kudeta Militer oleh Jenderal Min Aung Hlaing dan merebut kepemimpinan Myanmar dari Aung San Suu Kyi. Mungkin cerita mengenai aksi-aksi seperti kudeta militer dan perebutan kekuasaan oleh militer sudah sangat sering kita dengar, terutama di negara berkembang yang mana militer masih memiliki pengaruh yang sangat besar. Namun pernah kah kita mendengar terdapat aksi Kudeta militer dan perebutan kekuasaan oleh militer di negara seperti Amerika Serikat? Walaupun kejadian seperti perebutan kekuasan oleh militer sempat digambarkan dalam film fiksi tahun 1964 berjudul “Seven Days in May.”

Benar, memang di negara seperti Amerika Serikat perebutan kekuasaan oleh Militer kemungkinan besar tidak akan bisa terjadi. Hal ini di karenakan karena pada tahun 1947 pemerintah Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947, di mana salah satu point terpenting dalam undang-undang tersebut adalah menyatakan bahwa Militer harus berada di bawah kendali Sipil atau yang biasa dikenal dengan “Civilian Control over the Military.” Walaupun menilisik balik sejarah Amerika dari tahun-tahun sebelumnya, memang kaum Sipil lebih banyak memiliki pengaruh dibanding Militer dan dengan disahkannya Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947, pengaruh Sipil dalam mengendalikan Militer semakin diperkuat, sehingga membuat ruang gerak Militer di Amerika Serikat sangat dibatasi dan juga dipengaruhi oleh Sipil.

Menteri Pertahanan Harold Brown dan Para Anggota Kepala Staf Gabungan | Sumber Gambar: jcs.mil
Menteri Pertahanan Harold Brown dan Para Anggota Kepala Staf Gabungan | Sumber Gambar: jcs.mil
Aturan ini memang memiliki sisi positif di mana ruang gerak Militer sangat di batasi sehingga menutup kemungkinan akan terjadinya perebutan kekuasaan oleh Militer atau yang biasa disebut dengan aksi “Kudeta.” Bahkan seseorang yang akan menjabat sebagai Menteri Pertahanan sekalipun juga harus dari kalangan sipil dan jika Presiden memilih seorang purnawirawan untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan, maka purnawirawan tersebut wajib untuk pensiun minimal tujuh tahun dari dinas aktif di militer. Jika belum pensiun selama tujuh tahun dari dinas aktif di militer maka purnawirawan yang ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan tersebut wajib mendapatkan waivers atau keringanan dari Kongress dan Senate Amerika Serikat guna memasuki proses konfirmasi di Senate untuk Senate dapat mengkonfirmasi purnawirawan tersebut guna menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Setelah Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947 disahkan, Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau yang biasa dikenal sebagai “The Pentagon” dan posisi Menteri Pertahanan juga dibentuk, menggantikan posisi Menteri Urusan Peperangan. Departemen Pertahanan juga membawahi tiga Departemen Militer lainnya, yakni? Departemen Angkatan Udara, Departemen Angkatan Laut dan Juga Departmen Angkatan Darat yang mana tiap Departemen dipimpin oleh Menteri dari setiap Departemen, seperti contoh Departemen Angkatan Udara dipimpin oleh Menteri Angkatan Udara dan Menteri tiap Departemen sebagian besar berasal dari golongan Sipil. Sama seperti posisi Menteri Pertahanan, namun jika purnawirawan hendak menduduki posisi Menteri Angkatan Udara, Menteri Angaktan Laut atau Menteri Angkatan Darat, maka purnawirawan tersebut wajib untuk pensiun minimal lima tahun dari dinas militer atau tidak harus mendapatkan waivers juga dari Kongress dan juga Senate guna memasuki proses konfirmasi di Senate. 

Para Anggota Kepala Staff Gabungan dan Komandan Komando Combatant | sumber gambar: jcs.mil
Para Anggota Kepala Staff Gabungan dan Komandan Komando Combatant | sumber gambar: jcs.mil
Sedangkan di kubu Militer, Dewan Kepala Staff Gabungan atau yang biasa dikenal sebagai “Joint Chiefs of Staff (JCS)” juga dibentuk setelah disahkannya Undang-Undang Kemanan Nasional Tahun 1947, di mana Dewan ini diisi oleh petinggi-petinggi Militer seperti Kepala Staff dari setiap cabang Dinas Militer. Dua tahun kemudian pada tahun 1949 posisi Kepala Staff Gabungan atau yang biasa disebut sebagai “Chairman of The Joint Chiefs of Staff (CJCS)” juga dibentuk. Peran Ketua Kepala Staff Gabungan adalah menjadi penasihat Militer utama untuk Presiden, Menteri Pertahanan dan juga Dewan Keamanan Nasional. Posisi ini selalu diduki oleh Jenderal Bintang Empat dari tiap cabang dinas militer.

Namun di sisi lain aturan ini juga menuai banyak polemik, di mana menurut kalangan Militer, aturan ini membuat kaum Sipil seperti Politikus sangat dominan terhadap Militer baik dalam pengambilang keputusan perihal Peperangan, Operasi Militer bahkan anggaran Militer sekalipun. Akibat aturan ini Militer dan sipil sering kali berselisih dalam hal-hal penting seperti pengambilan keputusan di masa perang. Hal ini dikarenakan bahwa aturan ini mengharuskan semua keputusan Militer harus disetujui oleh para kaum Sipil atau yang biasa disebut sebagai atasan Sipil mereka. Bahkan tidak jarang karena protes akibat dari keputusan Militer yang diambil oleh atasan sipil mereka, banyak anggota Militer yang protes dan bahkan berujung pada pengunduran diri atau dibebas tugaskannya mereka dari dinas Militer sejak di berlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947.


Militer VS. Sipil

Menteri Urusan Peperangan Henry L. Stimson dan KASAD Jenderal George C. Marshall | Sumber Gambar: mbe.doe.gov
Menteri Urusan Peperangan Henry L. Stimson dan KASAD Jenderal George C. Marshall | Sumber Gambar: mbe.doe.gov
Peristiwa perselisihan awal antara Militer dan Sipil mungkin dapat dilihat kembali pada tahun 1945 pada saat perang dunia kedua atau dua tahun sebelum diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional Tahun 1947, di mana pada saat pengambilan keputusan untuk memilih kota di Jepang yang akan menjadi target dijatuhkannya Bom Atom. Salah satu kota yang hendak dijadikan sasaran sebenarnya adalah Kyoto, di mana menurut informasi intelijen banyak industri dan pabrik-pabrik yang berlokasi di Kyoto dan Kota tersebut memang belum pernah di bom oleh sekutu sama sekali. Keputusan untuk menjatuhkan Bom Atom di Kyoto juga disetujui oleh para Jenderal petinggi Militer, namun keputusan untuk menjatuhkan Bom Atom di Kyoto ditolak secara tegas oleh Menteri Urusan Peperangan pada waktu itu, Henry L. Stimson.

Menurut Stimson, Kyoto merupakan salah satu kota terindah di Jepang di mana banyak Situs Warisan Dunia di kota tersebut dan Stimson pun juga pernah menunjungi Kyoto dan sangat terpesona dengan Kota tersebut yang menurutnya sangatlah autentik. Alhasil dihapus lah Kyoto dari daftar sasaran Bom Atom. Hal ini diketahui membuat geram beberapa petinggi Militer seperti salah satunya ketua proyek pembuatan Bom Atom atau “Proyek Manhattan” Mayor Jenderal Leslie Groves yang sempat berkata bahwa “Militer sangat-lah didominasi oleh Sipil, bahkan kita pun tidak bisa menentukan target kita sendiri.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun