Mohon tunggu...
Erwin KA
Erwin KA Mohon Tunggu... Penulis buku : Karma - Tak Usah Dendam, Biarkan Alam Melakukan Tugasnya

Portal yang mengumpulkan mozaik-mozaik nusantara yang disampaikan dalam bentuk spiritualitas, filosofi, dan refleksi untuk memunculkan dejavu dengan kehidupan yang dialami para leluhur di masa lampau. Untuk mengembalikan kembali kejayaan para leluhur kita yang luhur dan diluhurkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cakra Manggilingan

29 Juli 2025   07:57 Diperbarui: 29 Juli 2025   07:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cakra Manggilingan: Jalan Hidup yang Tak Pernah Lurus

Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang teman lama secara tak sengaja di halte bus. Dahulu ia termasuk orang paling enerjik, penuh semangat, dan selalu punya rencana besar. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Matanya redup, senyumnya tipis, dan di sela obrolan ia mengaku, "Tempat kerja sekarang toxic banget. Tapi ya... tetap harus dijalani."
Saya mengangguk. Tidak sepenuhnya terkejut---karena kisah seperti itu sudah terlalu sering saya dengar. Bahkan, mungkin saya juga sedang ada di fase yang sama: tetap bekerja, tapi dengan performa yang turun. Bukan karena tak mampu, tapi karena hati tak lagi selaras. Hidup terasa jenuh. Energi seperti habis, namun rutinitas terus menuntut kita untuk berjalan.

Hidup Bukan Garis Lurus
Dalam falsafah Jawa, hidup disebut sebagai cakra manggilingan---sebuah roda kehidupan yang terus berputar. Kita tak selalu berada di atas, pun tak selamanya di bawah. Tapi sering kali, ketika berada di tengah pusaran pekerjaan yang toxic, tekanan ekonomi, dan ekspektasi sosial, kita lupa akan hal ini. Kita menyangka hidup seharusnya naik terus tanpa jatuh, lurus tanpa kelok.

Dan dari lupa itu, perlahan hadir perasaan lelah, kehilangan makna, dan menjauh dari rasa syukur.

Kita mulai kehilangan kebugaran---bukan hanya fisik, tapi juga batin. Tubuh mudah letih, emosi cepat naik turun, dan pikiran penuh kabut. Inilah yang kemudian membuat kita sulit untuk naik kembali ke atas dalam putaran cakra manggilingan. Kita seperti tertahan di bawah, mengulang-ulang kesalahan dan kegagalan yang sama, tanpa sadar bahwa semua itu sedang mengakumulasi sesuatu.

Bendol Mburi: Yang Tertunda Akan Meledak di Belakang
Orang Jawa menyebutnya bendol mburi---ketika sesuatu yang kecil-kecil tak diselesaikan hari ini, akan berkumpul di belakang dan menjadi persoalan besar. Rasa lelah yang tak kita rawat. Ketidakjujuran pada diri sendiri yang terus kita abaikan. Semua itu menumpuk. Lalu pada satu titik, meledak dalam bentuk krisis: bisa jadi sakit, bisa jadi depresi, atau kehilangan arah hidup sepenuhnya.

Inilah mengapa kita perlu iling---ingat bahwa ada batas yang tak boleh dilampaui. Batas tubuh, batas pikiran, batas batin. Karena ketika kita melewati batas itu, bukan saja cakra manggilingan tak bisa naik ke atas, tapi kita bisa kehilangan diri sendiri.

Muhasabah: Membaca Diri Sebelum Dunia Membaca Kita
Solusinya bukan melarikan diri atau menyerah. Tapi muhasabah: membiasakan diri untuk membaca ulang diri sendiri. Apakah yang saya jalani hari ini masih sesuai dengan nurani? Apakah saya masih bersyukur atas apa yang dimiliki, atau justru larut dalam siklus keluhan? Apakah saya sudah memberi ruang untuk istirahat batin dan perenungan, atau sekadar menjalani hari tanpa arah?

Karena jika kita bisa jujur pada diri sendiri---meski hidup sedang berada di titik bawah---itu artinya kita sedang mempersiapkan diri untuk naik kembali. Cakra manggilingan akan terus berputar, tapi hanya mereka yang sadar arah dan ritmenya yang bisa naik ke atas dengan tenang.

Menjaga Kesehatan Batin untuk Naik ke Atas
Banyak orang sibuk mengejar kesuksesan lahiriah, tapi lupa bahwa yang membuat kita kuat bukan hanya tubuh, tapi juga roso. Jika hati dan batin tak lagi selaras, maka seberapa pun kerasnya kita berusaha, rasanya akan terus kosong. Maka penting untuk merawat kesehatan batin: lewat perenungan, meditasi, atau sekadar diam dan mendengarkan suara hati.

Karena saat tubuh sehat dan batin jernih, kita bisa menerima bahwa hidup memang bukan garis lurus. Tapi roda yang terus berputar---dan selalu ada harapan bahwa di putaran berikutnya, kita akan kembali ke atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun