[caption id="" align="aligncenter" width="543" caption="http://tintatemanhati.blogspot.com"][/caption]
Lelaki berusia 60-an itu melewati pos jaga dengan tenang. Namun langkahnya dihentikan seorang Satpam bertubuh kekar.
“Maaf, Pak. Bapak mau kemana?”tanyanya dengan pandangan penuh selidik. Matanya tertuju pada bungkusan yang dibawa Bapak tua tersebut. Entah apa isinya. Namun dilihatnya ada ujung teko menyembul dari tas lusuh.
“Biasa, Den. Saya mau ke atas.”
“Saya tahu, Pak. Cuma lain kali lapor dulu di pos, Pak. Silahkan.” Satpam yang diketahui bernama Norman dari seragamnya itu mempersilahkan bapak tadi melapor ke pos jaga.
“Hampir delapan tahun saya datang kemari tiap kamis, baru kali ini saya mesti lapor,”ujar bapak itu memandang Norman dengan mata tak berkedip.
Norman terdiam. Dia memang baru beberapa hari kerja sebagai satpam di hotel ini. Jelas dia tidak tahu kalau bapak tua ini sudah terbiasa lalu lalang di Hotel tanpa melapor. Takut salah kaprah, Norman meminta bapak tua itu menunggu dan lari lari kecil ke pos jaga untuk memberitahu temannya yang sudah lama bekerja darinya.
“Ada apa, Man?” Temannya bertanya heran melihat Norman seperti orang bingung.
“Ini, Mas. Mau nanya dikit. Soal bapak tadi.”
“Yang mana?”
“Itu, di sana,” Normanmenunjuk ke arah pohon Akasia, tempat dimana bapak itu menunggu sambil emamandang ke arah mereka. Teman Norman mengamati dengan seksama.
“Oh dia. Biarkan saja. “ Temannya menyilangkan jari dikening. “Tapi nggak apa-apa. Nggak mengganggu kok.”
“Maaf, saya baru tahu. Memang begitu selama ini?”
“Ya, tak usah dilarang dilarang. Bos saja tak berani melarangnya. Pernah dulu ada satpam yang menyeret pak tua itu keluar dari lobby. Ketahuan Bos. Besoknya almarhum, dipecat. Kurang tahu kenapa bos sangat takut dengannya.”
Norman manggut-manggut sambil memandangi bapak itu yang bersidekap di bawah pohon Akasia. Dia komat-kamit seperti tengah berdoa atau merapalkan sebuah mantera. Kemudian dia mengusap wajahnya dan meludah ke kiri dan kekanan masing-masing satu kali.
Norman agak merinding setelah bapak itu sejurus kemudian menatapnya dengan tajam dari kejauhan.
“Hati-hati, kabarnya dia dapat berhubungan dengan mahluk ghaib.”
Norman terdiam. Namun dibalik rasa takut dia menjadi penasaran dan ingin sekali mengenali bapak tersebut.
“Boleh aku mengawasinya. “Norman melihat arlojinya. “Kebetulan jam kerjaku habis.”
“Silahkan. Asal jangan terlalu dekat. Dia suka teriak-teriak dan menyumpahi orang. Makanya tiap malam jum’at banyak pelanggan kita yang malas menginap di hotel ini.”
Norman mengacungkan jempolnya lalu mendekati bapak tadi yang masih menunggu.
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau bapak biasa kemari tiap kamis. Silahkan, Pak.” Dengan ramah Norman mempersilahkan bapak itu menjalankan ritual selanjutnya.
Tanpa senyum sedikitpun bapak itu membawa bungkusannya. Norman mengambil jarak dan mengiringi bapak itu dari belakang. Norman heran melihat hmpir semua pegawai hotel menyambut bapak itu dengan senyuman. Cleaning service menundukan badan saat berpapasan dengannya di lobby. Resepsionis menyapa ramah saat dia ingin menaiki tangga ke lantai dua. Begitu juga dengan pegawai yang lain. Semua mengembang senyum walau bapakitu seperti menatap mereka dengan pandangan dingin.
Yang membuat Norman kian heran melihat bapak itu menabur bunga sepanjang anak tangga yang dinaiki. Di lantai dua dia berdiri dan pandangannya memutari ruangan. Saat itu Norman merunduk hingga kehadirannya tidak diketahui. Selanjutnya ia melihat bapak itu kembali menabur bunga. Usai merapalkan mantera seperti orang berdoa, bapak itu kembali naik tangga sambil menabur yang membawanya ke lantai tiga. Hal yang sama dia lakukan. Memandang berkeliling, merapalkan mantera, terkadang menyemburkan air dan menabur bunga.
semua dilakukannya sampai kaki bapak itu sudah berada di lantai terakhir. Lantai 15 hotel yang kini beratapkan langit. Di lantai terakhir ini Norman melihat bapak itu lama mematung. Lalu ia terduduk sedih. Entah kenapa ia menangis dan kemudian bersujud. Otak Norman tak mampu mencernanya. Dia menduga bapak ini mungkin mengalami trauma berkepanjangan atau....
“Keluarlah! Tak perlu mengawasiku! Aku bukan orang gila! Keluar!” Bapak itu berteriak seperti memergoki kehadirannya dirinya. Norman berniat meninggalkannya, tetapi bentakan bapak tadi yang kembali menyuruhnya keluar membuat Norman penasaran. Ia keluar setelah sempat bersembunyi dibali tembok dan memberanikan diri menghampiri bapak tersebut yang tetap duduk sambil sesenggukan.
“Maaf, Saya tidak bermaksud...” Norman urung menjelaskan setelah bapak itu menoleh dan menatapnya dengan dingin. Buliran air matanya terlihat jelas. Norman tak ingin bicara lebih jauh khawatir bapak itu kembali menghardiknya. Memang dari segi fisik bisa saja ia meringkus bapak itu dengan mudah. Tetapi aura magis yang terpancar dimatanya menciutkan nyali Norman.
Untunglah bapak itu tidak mempermasalahkan kehadiran seseorang yang tak diinginkannya. Dia malah meneguk air dari teko lalu menyemburkannya ke seluruh penjuru. Norman hanya memperhatikan. Ritual bapak itu diakhiri dengan berdiri di tepi gedung sambil menenteng sekantong bunga. Ia berteriak-teriak tak jelas. Meracau.
Norman mendekat khawatir bapak itu jatuh ke bawah. Namun nampaknya ia telah terbiasa. Bapak itu terus berteriak-teriak dengan manteranya, berjalan di tepi dan terus menabur bunga sambil mengitari tepi gedung. Semnetara di bawah dilihatnya banyak orang-orang mengabadikan peristiwa tersebut. rupanya perilaku bapak itu sudah menjadi hiburan tersendiri bagi khalayak ramai.
Ritual bapak itu terhenti. Ia memandangi lekat pohon akasia di bawah gedung, tempat Norman pertama kali memperhatikan dirinya. Norman berdiri disampingnya. Hatinya semakin diliputi penasaran melihat bapak itu kembali menangis dengan memandang hampa ke bawah. Ia ingin bertanya, tetapi bapak itu sudah membuka pertanyaan dengan suara serak.
“Apakah kau masih punya orang tua, Den?” Norman menarik nafa panjang sebelum menjawab.
“Saya yatim piatu, Pak. Sejak tamat esdetinggal sama Nenek.”
“Berapa kali setahun kau menziarahi kuburan mereka?”
“Sering, Pak. Terakhir kelas tiga es-em-pe, tepatnya sebelum ujian. Dan sampai hari ini tak pernah lagi berziarah. Lebih kurang lima belas tahun tak ziarah”
“Kenapa?”
“Tempatnya jauh, Pak. Di ujung Sumatera, tak ada ongkos untuk biaya pulang,”
Bapak itu menangis sesenggukan. Setelah puas ia lalu duduk di tepi gedung dengan kaki berjuntai ke bawah. Norman was-was dan bersiap-siap saja dibelakangnya. Siapa tahu bapak itu terjatuh atau sengaja meloncat nanti.
“Beruntung kalau kau sering menziarahi orangtuamu, sedangkan aku...” Bapak itu mengusap matanya denga sehelai sapu tangan.
“Kau tahu, aku tidak pernah ziarah satu kalipun ke kubur mereka. Bukan aku tak mau, tapi karena aku tidak tahu mereka sudah meninggal. Mereka meninggal tahun tujuh puluh saat aku berusia dua puluh tahun. Waktu itu menghilang karena di tuduh terlibat komunis, padahal tidak sama sekali,”ujar bapak itu menahan tangis. Norman terdiam. Dia mulai menebak-nebak.
“Puluhan tahun menghilang, aku baru pulang sepuluh tahun lalu. Barulah aku tahu kedua orangtuaku sudah meninggal dari kerabatnya. Makanya aku selalu kemari tiap hari kamis untuk meminta maaf .” Bapak itu menyeka matanya.
“Jadi apa yang bapak lakukan ini bagian dari ziarah?”
“Ya, benar! Aku ingat betul! Di bawah hotel inilah terdapat kuburan orang tuaku dan orang-orang tua mereka!” Dan kini Bapak itu mulai bersuara keras.
“Lihat pohon Akasia di bawah sana, di samping pohon itu dulunya ada makan leluhur kami. Tapi kemana sekarang gundukan tanahnya? Siapa yang meindahkan? Kemana mereka memindahkannya? Tidak ada, entah kemana mereka membuang tulangnya. Begitu juga dengan makam orang tuaku, banyak saksi bilang, dibawah gedung inilah jasad orang tuaku terkubur. Tapi di mana, dimana kuburnya agar aku bisa menziarahi mereka! dimanaaa?!” teriak bapak itu lantang. Matanya mulai memerah.
“Tanah ini memang milik orangtuaku. Aku pernah menuntutnya, tapi aku selalu kalah dengan mereka,”ujar bapak itu menggigit bibirnya. “Akhirnya aku Cuma minta satu syarat dari pemilik gedung ini, jangan larang aku berziarah ke sini tiap hari kamis.”
“Dan mereka tidak keberatan?”
“Tidak. Karena aku memberi pilihan, biarkan aku ziarah... atau di santet!” kata bapak itu menatap Norman. “Mereka takut, padahal aku tak tahu santet itu seperti apa. Coba kau pikir kenapa mereka takut, kalau bukan karena mereka tahu tanah ini sebenarnya memang bukan milik mereka.” ujar bapak itu lalu tak lama berselang kembali sesenggukan. Setelah menyeka matanya, ia lalu berdiri di tepi gedung dan memandang lembut Norman. Angin kencang tak menggoyahkan tekadnya.
“Begitulah, Nak. Kalau kita terlalu menganggap remeh sebuah kematian dan lalai dengan jejaknya." dan ia kembali mengitari gedung dan menabur bunga sampai langit merangkak kelam.
Norman hanya mengamati tingkahnya sepanjang petang sampai menjelang isya sambil merenung dan memikirkan sesuatu. Mendadak hati kecilnya mengajaknya pulang. Dia takut makam kedua orangtuanya yang berada di pinggiran kota akan hilang juga ditelan derap pembangunan para penguasa. Ya, dia mendadak ingin pulang. Tak cukup baginya hanya sekedar ziarah batin saja seperti selama ini. Sesekali dia mesti pulang untuk memastikan tak terjadi apa-apa dengan pusara kedua orangtuanya, agar tak terjebak dalam penyesalan diri seperti bapak tadi, yang terus menabur bunga dengan merapalkan doa-doa dalam hatinya.
Lembah Dempo, Februari 2014
Cerpen Sebelumnya :
Pengakuan Chian Menjelang Imlek
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H