Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Hati

10 Februari 2024   13:58 Diperbarui: 10 Februari 2024   21:09 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cuaca belakangan ini tidak bersahabat. Kadang hujan seharian kadang hanya mendung tidak berkesudahan. Kehangatan mentari rasanya enggan datang. Barangkali ia sedang malas dan tertidur pulas atau malah muak menyaksikan manusia yang memanfatkan sinarnya hanya untuk menjemur pakaian, termasuk celana dalam atau kutang. Entahlah. 

Dari kejauhan seorang muda melangkah pasti. Di genggam oleh jemari kirinya sebuah payung untuk sedia sebelum hujan mendarat. Aku melihatnya tersenyum. Langkahnya itu mulai mendekat ke rumahku. 

Sapanya," mohon maaf telat. Tadi ada keperluan sedikit." 

Aku tidak menimpali. Itu ungkapan basi yang biasa aku dengar darinya. Dan memang terjadi bukan sekali ini, tapi sudah berulang kali.

Di ruang tamu ia mulai buka buku yang aku pinjamkan. Aku mengoreksi tiap bacaan yang ia eja secara perlahan. Usai itu ia tuliskan di selembar kertas coklat polos miliknya yang ia biasa kantongi dan terlipat. Urutan kata dan kalimat ia biasa tulis dengan rapi. Aku sekali-kali saja memintanya menghapus huruf yang keliru. Semua ia lakukan dengan sabar dan teliti. Aku senang. 

Sampai saatnya kemudian ia sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. 

____________

Tahun 1950an ketika itu buta huruf masih merajalela seperti wabah. Orang-orang di desa jarang mengenal sekolah. Yang mereka tahu hanya bertani dan berkebun buah pengetahuan yang diwarisi secara turun temurun. Aku kebetulan diberi pendidikan oleh paman di suatu sekolah di kota hingga tuntas. Dan dimintanya untuk kembali ke desa mengajarkan apa yang sudah dimiliki. Aku tidak menolak dan turuti kemauannya itu. 

Orang tuaku pun sejalan, dan menjadikan rumah kami yang cukup luas sebagai tempat untuk menunaikan hal itu. Prinsipnya siapa yang mau turut bisa ikut. Beruntungnya anak-anak usia 10 hingga 15 tahun cukup ramai. Setidaknya tiga hari dalam seminggu, kecuali sabtu dan minggu.

Suatu pagi di hari Sabtu kala sedang memetik cabai yang tumbuh di halaman, seorang muda mendadak mendekati sebatang bambu kuning yang tampak miring dan tidak kuat menahan tarikan kawat yang mengelilingi halaman.  Aku perhatikan ia melakukannya dengan sekuat tenaga hingga bambu itu tegak kembali. Sekali-kali ia urug dengan tanah yang diraih kedua tangannya dan dipijak sekuat yang ia bisa. Aku mendekatinya.

Seraya tersenyum aku katakan terima kasih, dan ia membalas dengan anggukkan, lalu mengenalkan dirinya dengan malu dengan sedikit dusta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun