Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Silaturahmi

28 April 2022   11:46 Diperbarui: 28 April 2022   14:06 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

10 hari lagi mau lebaran Tukut terasa pening. Ia kesulitan untuk penuhi kebutuhan sandang anak istrinya. Kalau soal pangan dirasa cukup juga papan yang bulan ini sudah ia lunasi kontrakannya. Dua anaknya masih merengek minta dibelikan baju, celana, dan sepatu.

Anak pertamanya masih kelas VI SD, sementara anak kedua kelas I. Keduanya laki-laki. Permintaan kedua anaknya bukan semata mau lebaran saja, tetapi juga bakal digunakan untuk sekolah, dan kelak perpisahan kelas VI ketika waktu ujian usai bagi anak pertamanya.

Sedangkan kebutuhan istrinya, Mumut hanya sandang. Utamanya kutang, dan celana dalam. Yang lain, kata Mumut masih bagus dan bisa digunakan untuk lebaran nanti. Ya kerudung maupun baju Muslimah lainnya.

Padahal jika disimak kebutuhan sandang untuk lebaran mereka itu tidak terlalu menguras isi kantongnya Tukut. Tahun kemarin saja meski di masa pandemi korona, ia masih bisa antisipasi. Itu pun ia lakukan dengan tanpa usaha rutin yang jadi giatnya sehari-hari, tapi toh berhasil juga. Kali ini ia seperti mentok jalan pikirannya.

Seharusnya Tukut bisa dapat THR atau gaji secara bersamaan sebagaimana tiga tahun lalu sebelum wabah melanda. Di tempat ia giat kala itu ramai pengunjung, sekalipun di bulan Ramadhan.

Banyak pengunjung yang datang sekadar melepas penat untuk menikmati hiburan malam. Di night club suatu hotel tak berbintang itu ia bekerja sebagai teknisi, juga lighting.Hari-hari masih bisa ia nikmati ketika itu.

Kali ini Tukut pusing. Ia coba memainkan handphone miliknya. Bukan soal isi WA atau sekadar main game. Tapi ia schroll naik turun daftar nama yang ada di handphonenya itu. Dipikirannya barangkali masih ada yang belum dijajal untuk dimintai tolong. Satu. Dua sampai 30 puluh nama ia telusuri. Kembali naik ke atas, dan akhirnya ia putuskan pada nama yang paling atas yang selama ini ia sama sekali belum pernah menghubunginya via telpon. Walaupun sempat sekali bersua ketika reuni sekolah di suatu tempat yang sejuk di luar Jakarta.

Pada nama itu ia tekan, dan tak lama ada sahutan. Basa basi mengalir dengan baik. Dan di penghujung bicara ada kesepakatan, pada hari dan jam tertentu Tukut sengaja diundang untuk silaturahmi ke kediaman kawannya itu.

"Ya sudah lama tidak bertemu sejak reuni dulu. Ayo silakan main ke sini,"suara dari ujung telpon gembira menyambut niat Tukut.

Tukut menutup telpon dengan senyum puas.

Dua hari kemudian, ia anak dan istrinya di hari kerja yang panas juga di bulan puasa datang mengunjungi kawannya ini. Kawan Tukut sudah diketahui olehnya telah pensiun lebih awal dari masa kerjanya yang belum tuntas. Sebagai bankir tentu pesangon yang diterima sangat besar jumlahnya. Tukut menghitung-hitung hal itu. Istrinya diam-diam juga tersenyum seolah menyetujui upaya suaminya ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun