Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gagal Mendua

14 Januari 2021   14:09 Diperbarui: 15 Januari 2021   04:46 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

14 Januari tahun lampau, warung-warung 24 jam di sepanjang pantura tutup total. Tiada satu pun yang tersisa kecuali sedikit warung klontong milik pribadi yang masih buka di sekitar situ.

Jalur lintas antarkota bagi kendaraan tidak seramai dulu, sebab jalan tol Cipali sudah menjadi pilihan pengemudi. Termasuk para pengemudi truk, maupun bus.

Bagi si Gar yang sebelumnya rutin melalui jalur pantura otomatis tidak lagi. Sebagai pengemudi truk tentu diuntungkan dengan adanya jalan tol. Selain cepat juga tidak lagi ada pungutan liar yang acapkali ia di tengah jalan dihentikan oleh oknum berseragam.

Dan, bungkus pentol korek api yang dulu rutin disediakan kini tidak diperlukan lagi.

Namun di pihak lain, Gar menjadi tersiksa. Sebab ia tidak bisa lagi singgah di warung milik Sumi, di dekat jembatan timbang. Di warung ini ia biasa habiskan waktunya untuk sekadar makan, atau istirahat memulihkan tenaganya.

Kala di jalan tol, bersama Jime, knek yang menemani selama ini ia tumpahkan kegelisahan hatinya. Ia katakan sudah satu tahun tidak berjumpa Sumi, dan komunikasi hanya dilakukan lewat gawai. Padahal mestinya selama waktu satu tahun ini, ia sudah bisa mengawininya.

"Apa perlu sekali waktu kita tengok dia, Me?"

"Saya mah terserah abang aja,"begitu balas Jime enteng.

Si Gar pun kemudian menimbang-nimbang agar sekali waktu bisa melewati jalur pantura lagi supaya ia dapat menjumpai Sumi. Atau mensiasati arah perjalanan kiriman barang ke jalur ini lagi dengan tepat waktu.

Entah kenapa pula Gar hari ini merasakan jalan di hadapannya seperti bergelombang, padahal bagi orang normal, datar serta mulus. Mengapa juga Jime di sampingnya dilihatnya seperti berambut gondrong, padahal Jime gundul plontos, dan ada pitaknya.

Gar pun menerawang kali pertama ia berjumpa Sumi yang semula dianggapnya sebagai pemilik warung biasa yang melayani, lama kelamaan muncul perasaan lain padanya.  Namun semua itu ia tidak ungkapkan terus terang, sebab ia sudah punya tiga anak, dan satu istri. Pendek kata Gar ragu.  Sementara Sumi tetap begitu adanya. Memberi harapan tidak, menolak juga tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun