Mohon tunggu...
Er Pnambang
Er Pnambang Mohon Tunggu... -

"Sebab hidup tak semudah ketika anda bercerita, menulis atau berkomentar, mengecil diri kadang bisa mengisar setapak...". Tapi, kok serius sekali saya kayaknya ya? Di Kompasiana saya cuma pengen satu hal; ketawa; entah menertawakan atau ditertawakan...hahahahahahahahhhahahahahahahhhahahah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekuasaan, Hukum dan Kedekatan

18 September 2010   18:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:08 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

”Mereka yang berada di kelas lebih tinggi, mereka yang dipekerjakan di pengadilan atau mengurus kenyamanan atau kemewahan orang-orang terhormat, mereka yang mengumpulkan modal atau terlibat dalam pelayanan publik punya kebiasaan immoral dan korup” (Raffles, 1830 (1817) Vol I; 276)

Saya selalu teringat pada ‘kalimat mulia’ yang ditulis Sir Thomas Stanford Raffles pada 1817 di atas. History of Java yang monumental itu jelas mengatakan semua kalangan istana, semua yang terlibat dalam pengadilan, administrasi atau pelayanan publik di Jawa terbiasa bertindak immoral dan korup.

Rekan Raffles, John Crawfurd sama saja mengeluhkan kondisi hukum di Jawa yang ia temukan. Tulisnya “Semua naskah (hukum) menggambarkan ciri-ciri kekasaran dan barbarism yang gamblang. Institusi-institusinya tidak sempurna,…Dan bentuk-bentuk keputusan pengadilan, baik hukum kriminal maupun jurisprudensi sipil, derajat aturan moral tertinggi, ataupun peraturan komersial telah dicampur-adukkan dengan sangat aneh” (Crawfurd, 1845)

Demikianlah kedua orang itu menuliskan pengalaman mereka berjumpa dengan ‘orang-orang terdahulu’. Apakah Raffles dan Crawfurd semulia itu? Jangan-jangan mereka hanya seperti Julius Cesar dan orang-orang Romawi yang memberi label barbar kepada bangsa jajahannya? Jangan-jangan, orang dahulu tidak pernah mendefinisikan hal-hal seperti itu sebagai korupsi dan barbarisme hukum?

Hukum, Kekuasaan dan Politik Kedekatan
Hukum dijalankan dengan adanya pandangan terhadap kekuasaan. Masalahnya kemudian, bagaimana ‘orang dahulu’ menjalankan kekuasaan?

J.L (Hans) Bakker (1993) percaya bahwa Negara (dalam term Sanskrit dan bukan "state") di Jawa adalah sebuah bentuk pemerintahan Patrimonial-Prebendal Weberian dimana pemimpin adalah “pusat dari pusat” (the ruler is "the centre of the centre") dan tentu saja demokrasi liberal yang berasaskan negasi (dimana kritik adalah penyeimbang) tidak akan berlaku. Yang ada adalah politik harmoni, dimana terdapat ‘penyatuan’ antara pemimpin dan yang dipimpin.

Gusti adalah perwujudan dewa, oleh karenanya ia akan selalu menjadi dewa bagi hamba, kemanapun hamba itu pergi. Teritorial akhirnya tidak penting. Ong Hokham (2002; 235) menyatakan bahwa yang paling penting dalam monarki di Asia Tenggara adalah jumlah penduduk, cacah, atau jika di Sunda dikenal dengan somah. Soemarsaid Moertono (1985 (1968)) juga telah mengungkapkan hal ini.

Teks Sunda tahun 1518, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian (Atja, Drs & Danasasmita, Saleh Drs. 1981) memperlihatkan posisi raja di atas segalanya, bahkan mengalahkan posisi orang-orang yang berhubungan dengan darah. Kasih sayang kepada sahabat dan saudara yang mengakibatkan seseorang tidak patuh kepada raja akan dilarang dan dilihat sebagai darma cante; ”... artinya membantu pihak yang dibenci oleh raja kita, disuruh mengambil atau pergi membunuh yang mendurhaka raja, berubah jadi memberi hati, karena ragu-ragu, karena sahabat, karena saudara; hal itu jangan dilakukan, karena pemali, salah kasih sayang artinya.”

Ketika raja adalah pusat kekuasaan, maka ia menjadi pusat hukum. Maka, siapa yang dekat dengan raja, ia dekat dengan kekuasaan dan kemudian dapat mengatur hukum.

Karena logika ’kedekatan’ ini pula, banyak aturan lama di pulau Jawa dahulu fokus pada aturan yang mengelola ’kedekatan’ seorang hamba dengan raja. Banyak aturan yang ”menyulitkan” ketika menemui raja/gusti dan atau pembantunya.

Dalam naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian misalnya terdapat aturan tatacara hamba di depan raja; ”... Demikianlah kepada raja kita; kaki kita gunakan untuk bersila, tangan gunakan untuk menyembah. Bila kita berbicara dengan menak, dengan majikan pemilik tanah, dengan semua penegak hukum, dengan wanita larangan, demikian pula dengan raja kita; bila kita dipercaya, jangan culas dalam kesetiaan kita, demikian pula salah jawab kelihatan air muka tidak senang raja kita”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun