Mohon tunggu...
Erni Marwati
Erni Marwati Mohon Tunggu... Administrasi - -

Go Up and Never Stop

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melukis Senyum di Tanah Suci

28 Desember 2020   21:21 Diperbarui: 28 Desember 2020   21:34 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makkah, Februari 2020 - Kebahagiaan tersendiri bisa membawa kedua orang tua ke tempat ini (dokpri)

"Puncak kebahagiaan tertinggi adalah ketika kita bisa berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekeliling kita"

Apa impian terbesar dalam hidupmu?

Sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh sang motivator beberapa tahun silam dalam sebuah seminar dalam rangka menyambut pergantian tahun di perusahaan tempatku bekerja. Pertanyaan sederhana, namun sarat makna.

Gerimis hati ini saat kutulis di secarik kertas kecil yang diberikan oleh panitia dengan kalimat  "mewujudkan kebahagiaan terbesar kedua orang tuaku untuk bisa pergi ke Mekkah", sebuah impian yang tertanam sejak SMA, yang merupakan sebuah ketidakmungkinan yang selalu kusemogakan.

Perlahan kugulung  kertas kecil itu dan meletakkannya di sebuah toples kaca yang dinamakan "kotak harapan" oleh pihak panitia acara pada saat itu. Sebuah nama yang tepat tentunya, mengingat ratusan kalimat yang tertulis di sana masih sebatas proposal yang menunggu approval dari Tuhan. 

Acara seminar motivasi hari itu membawaku menoleh ke belakang, mengulik perjalanan hidup keluargaku yang tak mudah kami lalui.  

Keterbatasan ekonomi keluargaku memberikan pelajaran tentang kerasnya hidup. Sejak masih duduk di bangku SD, sepulang sekolah ataupun pada saat hari libur, aku dan kakakku membantu kedua orang tuaku bekerja di sawah.

Sengatan matahari tak kami hiraukan, derasnya hujan tak kami indahkan. Lumpur, bau pupuk kandang dan cacing tanah sudah bukan lagi menjadi hal yang menjijikkan. Disaat anak-anak yang lain sibuk menikmati masa kecilnya, kami sudah diajari berjuang melawan kerasnya hidup. 

Saat malam tiba, kami pun berjuang melawan rasa kantuk dan lelah untuk bisa tetap belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Selain menjadi petani, ayahku bekerja sebagai buruh penyadap air nira dengan sistem bagi hasil.

Aku kadang ikut ambil bagian untuk mencari daun-daun kering di kebun, ataupun mencari kayu bakar di gunung yang digunakan untuk memasak air nira menjadi gula jawa. Dengan segala keterbatasan yang ada, orang tuaku bertekad untuk bisa melihat kedua anaknya bisa mengenyam bangku perguruan tinggi. Tak jarang gali lubang tutup lubang pun terpaksa dilakukan demi bisa melanjutkan kuliah. 

"Orangtua akan selalu memastikan bahwa kita mendapatkan yang terbaik, walaupun mereka harus memperoleh yang terburuk"

Tiga setengah tahun berlalu, Tuhan memperkenankan seorang anak petani ini lulus lebih cepat dari waktu normal dengan predikat cumlaude. Kebahagiaan terpancar dari bola mata kedua orang tuaku saat menghadiri acara wisuda hari itu. Hiruk pikuk rasa hati ini bisa membuat kedua oran tua bangga dengan prestasi anak perempuannya. 

Perjuanganku di bangku kuliah telah usai, namun sejarah baru kembali dimulai. Berbekal ilmu dan kompetensi yang kumiliki, sebulan setelah wisuda aku berhasil diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Sudah saatnya aku membalas pengorbanan orang tuaku, meskipun sebanyak apapun yang kuberikan tak kan bisa membalas ketulusan yang selama ini mereka lakukan.

Gaji yang kuterima tiap bulan kusisihkan sebagian untuk mengangsur hutang-hutang bapakku, sisanya baru kupakai untuk biaya kost dan biaya hidup. Maklum, saat aku dan kakakku masih kuliah, bapakku terpaksa berhutang di beberapa bank dan koperasi dengan total hutang yang lumayan tinggi, hingga makan waktu satu setengah tahun lamanya hutang beserta bunganya itu baru berhasil kulunasi.

Bahagia sekali rasanya saat itu, setidaknya aku bisa sedikit membuat kedua orang tuaku tersenyum, karena rasa-rasanya baru kali itu mereka merasakan hidup tanpa jeratan hutang yang bunganya cukup mencekik leher.

Setelah semua hutang lunas, aku melanjutkan mimpi berikutnya yakni renovasi rumah. Selama ini kami bertahan dengan kondisi rumah yang belum bisa dibilang layak. Kembali aku menyisihkan gajiku untuk membangun kamar mandi, toilet, renovasi lantai dan eternit. Segala upaya kulakukan demi bisa mewujudkan senyum mereka, punya tempat tinggal yang layak. Mereka tak perlu tahu apapun problematika yang kualami selama aku di perantauan.

Dengan ijin Tuhan, baktiku kepada keluarga satu per satu bisa tercapai. Namun pikiranku selalu terusik dengan keinginan kedua orang tuaku yang belum sempat kuwujudkan, sebuah kebahagiaan terbesar mereka yakni bisa menjalakan ibadah haji.

Memang, mereka tak pernah sekalipun memintaku untuk bisa mewujudkannya, namun aku bertekad untuk berusaha semaksimal mungkin agar mimpi itu bisa terwujud. Itulah alasan terkuatku untuk memutuskan untuk pindah bekerja di perusahaan lain agar salary yang kudapat lebih besar sehingga bisa menabung lebih banyak lagi.

Tak mudah memang untuk beradaptasi di tempat kerjaku yang baru, mulai dari jam kerja yang tak tentu (lebih sering pulang diatas jam 11 malam), turnover karyawan yang sangat tinggi sehingga berdampak pada kekompakan team, sampai dengan karakter atasan yang sering membuatku makin menggebu-gebu untuk memutuskan resign.

Saat pikiran ini dipenuhi dengan keinginan untuk menyerah, sekuat tenaga aku menguatkan dan meyakinkan diri bahwa aku bisa melewati semua ketidaknyamanan ini, demi bisa mewujudkan impian orang tuaku. Berat memang, tapi semua tetap harus dijalani. 

Menginjak bulan kedelapan, Tuhan ternyata memberikan jalan lain. Jam kerja melebihi batas normal setiap hari membuat kondisi fisikku tak mendukung. Aku kena typus sehingga membuatku opname di Rumah Sakit dan menjalani masa recovery yang cukup lama.

Karena kondisiku yang sudah tidak memungkinkan lagi, akhirnya aku putuskan untuk resign, pulang ke kampung halaman dan bekerja di perusahaan yang memang saat itu sedang membutuhkan tenaga kerja, meskipun dengan konsekuensi salary yang jauh dari yang kudapat selama bekerja di Jakarta.

Di tempat kerja baru, kulanjutkan mimpiku yang sempat terhenti. Dengan pendapatan yang jauh lebih kecil, tentunya dibutuhkan kedisplinan untuk menabung dan menekan pengeluaran-pengeluaran yang sekiranya belum begitu penting.

Menahan diri dari kegemaranku berburu buku atau novel, tidak terbujuk dengan ajakan teman untuk hang out selepas pulang kerja atau makan siang di luar kantor dan tidak tergiur dengan discount tas/sepatu/baju yang kadang membuat hati goyah. "Ngirit" kalau dalam Bahasa Jawa, yang berarti hemat.

Gaji kupakai hanya untuk pengeluaran primer, seperti membayar tagihan listrik, zakat, belanja kebutuhan sehari-hari, maupun pengeluaran yang bersifat unpredictible. Cibiran teman kerja tentang baju atau sepatu yang tak bermerk pun kuanggap angin lalu.

Bagiku, performance bukanlah dinilai dari aksesoris yang tertempel di tubuhnya, namun dari kinerja yang bisa kita tunjukkan ke perusahaan. Penampilan yang bersih, rapi, sopan, itu sudah lebih dari cukup.

Setelah sekian purnama, akhirnya, Tuhan memperkenankan semua doa dan upaya hamba kecilnya ini. Desember 2015 lalu, akhirnya kuota haji untuk kedua orang tuaku berhasil kudapatkan, meskipun sampai saat ini masih menunggu jatah pemberangkatan.

Bersyukur, haru dan bahagia sekali rasanya saat bisa memandang air mata ibuku yang sempat menitik saat memandangi form pendaftaran haji.  Akhirnya, aku bisa mewujudkan kebahagiaan terbesar mereka yang sejak dulu mereka impikan.

Namun, hidup memang tak selamanya mulus. Juni 2016 lalu ayahku kena penyumbatan di otak yang sempat kritis dan menyebabkan pengucapan yang kurang jelas, mudah emosi dan daya ingat yang sangat parah. Masih segar dalam ingatan, saat itu ayahku hanya bisa terbaring dengan banyak peralatan medis yang menempel di tubuhnya.

Saat itu, aku selalu memberi semangat sembuh dengan bilang "Bapak yang kuat ya Pak, ayo Pak...semangat sembuh ya Pak, sebentar lagi kita ke Mekkah, engga lama lagi Pak...". Kalimat itu yang sering kuucapkan, entah berapa kali dalam sehari, padahal saat itu tabunganku belum seberapa banyak. Senjata terbesarku hanyalah doa.

Kulangitkan mimpiku untuk diberi kesempatan untuk membawa kedua orang tuaku mewujudkan mimpinya lebih cepat. Sedih rasanya saat itu mengingat aku hanya mampu mendaftarkan mereka ke haji regular, yang notabene masa tunggunya hingga 15 tahun.

Kejadian itu membuatku berpikir lebih keras agar bisa secepatnya membawa mereka memandang Ka'bah secara langsung. Satu-satunya cara adalah dengan ibadah umroh terlebih dahulu. 

Kebiasaan hidup hemat membuatku tak kesulitan untuk lebih banyak menabung. Selain itu, aku menambah penghasilan dengan mencari side job di luar jam kerja.

Akhirnya, kerja kerasku membuahkan hasil. Tepat di bulan Februari 2020 kemarin, mereka datang untuk memenuhi panggilanNya, bahkan Tuhan mengijikanku untuk mendampingi mereka.

Air mata tak terbendung saat melantunkan talbiyah sepanjang perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Puncak kebahagiaan yang tak ternilai harganya ialah saat melihat mereka takjub dan berucap syukur saat bisa memandang Ka'bah langsung, sebuah tempat yang teramat sangat dirindukan bertahun-tahun lamanya.

Sebuah ketidakmungkinan yang selalu kusemogakan, yang tak lupa selalu kubawa dalam setiap doa, kulangitkan semua mimpi itu hingga Tuhan mewujudkannya menjadi kenyataan. Bahkan, beberapa saat setelah menginjakkan kaki di tanah air, tersiar berita pemerintah Arab Saudi menutup sementara ibadah umroh dan haji karena makin merebaknya COVID. Gerimis hati ini berucap syukur yang begitu besar, Dia kabulkan semua doaku di saat yang sungguh tepat.

Begitulah, perjalanan hidup yang indah adalah saat kita mempu berbagi, bukan menikmatinya sendiri. Berbagi kebahagiaan dengan kedua orang tua, keluarga, orang-orang di sekitar kita dan bahkan dengan binatang.

Tak perlu muluk-muluk, melihat kucing liar makan dengan sangat lahap atas makanan yang kita berikan, senyum sumringah dari bapak-bapak tukang becak saat kita berbagi nasi bungkus di sepanjang jalan yang ditemui, atau senyuman tulus dari anak-anak yatim saat menyambut kedatangan kita memberikan kita umpan balik berupa sebuah rasa bahagia yang luar biasa. Memang benar, kebahagiaan akan bertambah kita kita bersedia untuk berbagi.

Seperti halnya dengan customer service JNE, yang selalu tersenyum ramah melayani customernya. Kewajiban untuk selalu mengirimkan dokumen ke kantor pusat minimal setiap satu minggu membuatku memilih JNE sebagai satu-satunya ekspedisi yang paling bisa kupercaya. Dari pelayanan sampai dengan ketepatan waktu sangat membantuku memperoleh Key Performance Indicator (KPI) lebih tinggi dari target yang telah ditentukan.

Selamat Ulang Tahun JNE. Selamat menebar kebahagiaan kepada semua customermu dengan memberikan pelayanan terbaikmu. Semoga JNE semakin maju dan berkembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun