Yogyakarta -- Pada malam yang dipenuhi sorotan lampu hangat dan sorak sorai penuh cinta, Festival Difabel 2025 kembali menyatukan langkah-langkah kecil yang bermakna menuju pendidikan tinggi yang inklusif dan adil. Bertempat di Aula Teatrikal Kampus, acara tahunan ini bukan sekadar perayaan. Ia adalah panggung keberanian, tempat suara-suara yang selama ini tersembunyi tampil dan bersinar.
Salah satu momen yang paling menyentuh malam itu adalah saat Gita Gifana tampil membawakan lagu menggunakan bahasa isyarat. Penampilannya menggugah dan berhasil menyampaikan lirik lagu bukan dengan suara, tetapi dengan ekspresi, gerakan tangan, dan ketulusan. Tepuk tangan panjang pun mengiringi akhir penampilannya, sebagai bentuk penghormatan atas seni yang menyatukan semua tanpa batas komunikasi.
"Dari awal, mimpi kami sederhana saja: menciptakan ruang untuk semua orang bisa merasa diterima, didengar, dan dihargai," ujar Diki, salah satu panitia pelaksana acara. Menurutnya, setiap detail dalam festival ini dirancang dengan hati, agar setiap orang, tanpa memandang latar belakang atau kemampuan fisik, dapat merasa terlibat dan menjadi bagian dari perubahan.
Sebagai bagian dari refleksi, Dr. Ro'fah, salah satu Tim Ahli dari Pusat Layanan Disabilitas (PLD), berbagi cerita tentang perjalanan panjang PLD sejak pertama kali berdiri. Ia mengingat kembali masa-masa awal, ketika PLD hanya bermula dari diskusi kecil di sudut ruang yang sempit. "Kami tidak punya banyak sumber daya waktu itu, hanya semangat dan keyakinan bahwa kampus harus bisa diakses oleh semua," ungkapnya.
Namun perjuangan PLD, kata Dr. Ro'fah, tidak hanya terhenti pada menyediakan akses fisik. Yang lebih krusial adalah mengubah cara pandang dalam dunia pendidikan tinggi. "Sering kali, sistem pendidikan kita mengasumsikan bahwa semua mahasiswa bisa mengikuti standar yang sama: harus cepat berpikir, kuat secara fisik, hafal banyak materi. Padahal, itu bukan keadilan. Itu hanya menyamaratakan, bukan memanusiakan," jelasnya.
Ia menekankan bahwa PLD bukanlah lembaga amal, melainkan ruang perjuangan. Tempat di mana universitas ditantang untuk tidak hanya membuka pintu, tapi juga memperbaiki fondasi rumahnya. "Kita harus berani membayangkan pendidikan tinggi yang mendengar suara dari mahasiswa tuli, netra, atau yang neurodivergent. Inklusi bukan berarti mengizinkan orang lain masuk ke dalam sistem kita, tapi menciptakan sistem bersama dengan mereka," tuturnya penuh semangat.
Festival tahun ini menampilkan beragam penampilan yang tak hanya menghibur, tapi juga menggugah kesadaran. Mulai dari musik akustik, drama bertema kehidupan mahasiswa difabel, hingga pertunjukan tari yang menampilkan gabungan peserta dengan dan tanpa disabilitas. Salah satu yang paling dinanti adalah lomba video kreatif yang menampilkan cover lagu dengan bahasa isyarat. Di sinilah kreativitas dan semangat inklusif benar-benar terlihat nyata.
Banyak dari penonton tampak tersentuh oleh semangat para peserta. "Saya tidak menyangka bisa merasakan lagu meski tidak ada suaranya. Bahasa isyarat dan ekspresi mereka sangat kuat," ujar Ayu, mahasiswa jurusan Psikologi yang hadir malam itu. Ia mengaku mendapatkan pandangan baru tentang pentingnya keberagaman cara komunikasi di ruang pendidikan.
Di sela acara, diumumkan pula pemenang lomba-lomba kreatif, termasuk video inklusi terbaik yang menceritakan kisah seorang pelajar tunanetra yang menginspirasi teman-temannya untuk lebih peka terhadap perbedaan. Tidak ada yang menang karena belas kasihan, semua menang karena karya dan makna yang mereka hadirkan.