Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Ketika Anakku Mendapat Cap "Bodoh"

5 November 2011   00:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:03 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_146779" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Bagi orang tua yang rajin mendapatkan pujian anaknya pandai pasti akanmerasa bangga dibandingkan dengan orang tua yangkerap di panggil wali kelas karena anaknya “bodoh”, dan orang tua yang sering dipanggil wali kelas karena di cap anaknya “bodoh” adalah saya.

Saya masih ingat, ketika itu putra ke-dua saya Irsyad masih duduk di Taman Kanak-Kanak dan saya akan menjemputnya pulang, dengan senyum ramah khas guru TK, bu Z menghampiri saya. Setelah berbincangkesana-kemari soal putra saya, bu Z memberikan kalimat yang sungguh menohok, “ Bu, maaf..sepertinyaputra ibu tidak cerdas, ya..”Sayaterkejut dengan kalimatnya. Tidak cerdas=bodoh.  Semudah itu menyimpulkan tentang putra saya ?

Ketika Irsyad masuk ke Sekolah Dasar, di bilanganDago-Bandung Utara, putra saya mendapatkan kesimpulan yang serupa dari guru-guru kelas, hampir di setiap level. Karena itu putra saya lebih sering masuk rangking 5 besar dari belakang.Bahkan ia nyaris tak naik kelas. Sungguh saya tidak percaya dengan apa yang terjadi, Irsyad di mata saya anak yang bisa mengikuti pelajaran, walau pun tak hebat-hebat amat.   Hanya saja, Irsyad cenderung pendiam dan tak suka menonjolkan diri.

Merasa tak percaya atas kesimpulan semuanya, akhirnya saya membawa Irsyad ke psikolog. Irsyad didampingi oleh dua orang psikolog. Satu orang psikolog saya kunjungi ke tempat prakteknya, dan satu orang psikolog pendidikan (guru BP), saya panggil ke rumah.Di ruang praktek sangpsikolog saya dinasihati, bla-bla-bla. Intinya, “Lebih sabar lagi, ya..bu..membimbing Irsyad. Akhirnya Irsyad dirujuk untuk di periksa dokter spesialis syaraf.Namun saya menghentikan konsultasi dengan psikolog itu, saya merasa tidak nyaman.Dengan sok tahu, saya katakan kepada diri sendiri, “ Aku ibunya..lebih tahu Irsyad dari pada psikolog…Halaaah..siapa lagi yang nyuruh ke psikolog..hehehe..”

Sementara oleh psikolog pendidikan yang turut mengobservasiperkembangan Irsyad di rumah, ia memberikan hasil yang mengejutkan, “ Ibu..,Sayamenemukan keanehandari Irsyad. Analoginya, ketika kebanyakan orang dari luar hanya melihat bangunan supermarket, maka Irsyad tidak hanya melihat bangunannya saja akan tetapi sekaligus isinya.” Saya terlonjak dengan kesimpulan itu. Benarkah ?

Disisi yang lain, saya juga menghadapi putra saya yang ke-tiga, Fai.Fai pun sama, bahkan lebih parah, kadang tidur dan sering tiduran di kelas dan tak mengindahkan guru. Guru-guru di SD-nya sering mengeluh, disangkanya anak saya kurang tidur semalaman, padahal tidak.Saya tanya pada anak saya, mengapa ia tidur di kelas. Jawabannya mencengangkan, “ Habis bosan sih..” Tak heran, rangkingnya pun di angka yang tak diperhitungkan. Tetapi saya sudah lebih rileks, dan Fai  tak saya bawa ke psikolog.Yang utama putra saya bisa mengikuti pelajaran.

Ketika di SMP, Fai semakin menjadi-jadi tidurannya di kelas… dansaya sempat di panggil wali kelas, perihal Fai. Lagi-lagi, Fai bilang..”Di kelas….bosaaaannn!” Ada guru matematika yangsempat marah kepada Fai, juga guru fisika yangmemberi tanda tanya pada jawabansoal Fisikanya, padahal benar.Anak saya sering menggunakan rumus sendiri yang tak sesuai dengan buku.Kadang langsung ada angka, tanpaada penjelasan. Dengan ringan Fai berkata, “ Dikasih tau otak.” Seperti biasa, di SMP punprestasi Fai , tak diperhitungkan.

Saya tidak ingin mengatakan putra saya cerdas. Putra saya biasa saja, namun tidak “bodoh” sepertivonis beberapa guru kepada putra saya, terutama Irsyad. Saya sangat menyayangkan “vonis kepagian” dan memberi kesimpulan untuk dilekatkan kepada anak.Danstigma ini sangat berbahaya karena akan membentuk konsep diri anak. Saya hanya selalu berusaha meyakinkan anak-anak saya, “Siapa bilang kamu bodoh..mereka saja yang tidak mengenalmu. Buat mama, kamuanak hebat.”

Namun anak saya, Irsyad yang dulu di cap “bodoh” dan beberapa kali terancam tak naik kelas, sekarang kuliah di jurusan Geofisika, Universitas Gadjah Madavia SMNPTN, lulus juga di Universitas Padjadjaran, Bandung, namun tak diambil karena jurusannya kurang ia minati.Dulu, Irsyad sempat mengikuti lomba fisika dalam bahasa Inggris ketika di SMA se-Bandung, dari peserta 300-an, ia masukrangking 20-an.Tidak jadi juara memang, tapi tak apa, yang penting pernah “mengalami gagal”.

Dan Fai, walaupun tidak pernah jadi juara di kelas, karena prestasi “hebatnya” adalah juara tiduran di kelas. Namun Faitak pernah merepotkan saya soal biaya bimbingan belajar yangnilainya ada juta rupiahnya itu. Ia selalu menjadi juara 1 try out dan memenangkan hadiah voucherbimbingan belajar.Fai sempatmengikuti olympiade matematika, sayang tak terbimbing dengan baik, hanya mengikuti bakat alamnya saja, jadi tak pernah masuk di rangking 3 besar.Sekarang Fai  masuk di SMA Negeri 3Bandungmelalui jalur test. Fai rangking ke-108 dari 1176 orang peserta tes, dan yangditerima lewat jalur tes ada 256 orang. Tidak spektakuler, tetapi paling tidak ia pernah merasakan rasanya bersaing. Agustus yang lalu diapulang sekolah membawa berita dengan tertawa, “ Mamaaaa..ulangan Bahasa Inggris dapat nilai NOL,”saya menyambutnya dengan tertawa pula…” hahahaha…haaaa..! “

______

Catatan : Putra saya 4 : Si Sulung, Hanif, kuliah di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang.Dan yang bungsu, Firdaus masih duduk di SMP.

Sumber gambar : www.dreamstime.com(foto anak-anakku diganti gambar kartun saja,yaa..)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun