Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Filsuf Tergoda dengan Kritisisme

7 Februari 2024   13:43 Diperbarui: 26 Februari 2024   16:30 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah permukaan dan secara tidak langsung peristiwa yang semata-mata biasa saja atau senyap justeru sebagai titik tolak permasalahan yang diajukan oleh filsuf. Sesuatu yang lengang dan sepi dari kewaspadaan mengundang pertanyaan. Sehingga dalam kaitannya dengan cara berpikir yang perlu disalurkan adalah serangkaian kegilaan untuk menyingkap setiap celah yang dibangun oleh kuasa. 

Termasuk intrik-intrik, rekayasa hingga permainan politik yang membuat orang bisa terkecoh. Kuasa menjadi kebenaran yang mesti diwaspadai sejauh awal permainan baru dimulai tersingkap di akhir permainan itu sendiri.

Begitu dekat cara berpikir kritis tentang kuasa yang mengitari kita dengan bumbu lelucon politik tidak terlepas dari permainan tertentu. Ada pihak memang melihat tanda kuasa bukan permainan karena kuasa negara diyakininya sebagai tanggungjawab dan amanah. Bahwa kuasa negara menurutnya sebagai tanggungjawab dan amanah yang tidak bisa dipermainkan juga sah-sah saja dalam pemikiran kritis.

Upaya untuk melenyapkan unsur permainan dalam politik, sebutlah permainan yang mengiringi pemilihan umum atau pemilihan presiden itu juga sesuatu yang sulit dipahami. Bagaimana mungkin mengatur strategi dengan perhitungan cermat tanpa melibatkan permainan. Menciptakan strategi melalui permainan politik kuasa dengan pertimbangan akal (bisa juga istilah "banyak akal" dan akal bulus) dan dorongan hasrat untuk merahi kuasa mesti diikuti atau ditopang kembali oleh permainan yang lain.

Seorang sohib pernah berkata. 

“Kuasa ternyata layaknya hanya sekedipan mata. Baru saja seseorang berada di tampuk kuasa begitu gagah dan dikawal oleh petugas satuan polisi pamong praja kemana-mana selama kegiatan dinas. Akhirnya, kita sadar, saat kuasa sudah tidak dalam genggamannya, semua yang nampak senang dikelilingi oleh pernak-pernik fasilitas, maka yang dimilikinya tiba-tiba orang-orang membuang muka.” 


Dulu dia dihormati, sekarang dijauhi oleh mantan anak buahnya. Apa gerangan?

JADI, berkat kritik, kuasa bukan untuk dimiliki. Kuasa untuk dipergilirkan, titik dimana kuasa sebagai sesuatu yang produktif dan kreatif. Kuasa dipuji sekaligus disoroti atau dikritisi. 

Bagi orang pernah berkuasa jarang melihat dirinya akan tertawa terbahak-bahak saat bersama dengan orang-orang yang dulunya diberi pangkat dan jabatan mentereng ternyata belakang hari mereka meninggalkan. Kuasa akan datang dan pergi. Demi hiburan di tahun politik, filsuf sekali-sekali tergoda oleh tontonan pengkritik. Filsuf hanya menertawakan dirinya melalui tontonan dan panggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun