Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketidakstabilan Makna Bajingan

5 Agustus 2023   07:59 Diperbarui: 31 Agustus 2023   18:21 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan Rocky Gerung dalam satu kesempatan (Sumber gambar: detik.com)

Setelah berhasil tahun-tahun sebelumnya, Rocky Gerung nampak kembali melihat masa kini yang nyata. Berisik tetapi asyik bagi yang lain. Tuan Gerung yang nyentrik sekaligus menyebalkan hanya sekadar memainkan logika yang tangkas. Tetapi, ia bukan logika kalengan. Kritik tetaplah kritik. Sepedas apapun kritik darinya, tidak semua muatan logika dan bahasa dapat diterima oleh semua kalangan. Usai diksi 'dungu' apalagi? 

Diksi ‘bajingan’ yang diakronimkan sebetulnya tidak begitu gila dari Tuan Gerung menjadi ujaran tanpa hirarki yang membosankan. Buktinya, sudah menyembul sebagian pihak yang dongkol hingga protes atas ujaran bombastiknya.

Hubungan antara simbol kuasa dan kritik selalu tidak nyaman. Kata bajingan dan sejenisnya tidak akrab di telinga para penganut politik kuasa negara. 

Tetapi senang jika kata bajingan dan maknanya dikembangkan untuk menjastifikasi sang pengoceh alias sang pengkritik kemapanan telah melanggar batas-batas ujaran di depan publik. Selentingan suara juga mengarah pada ujaran kebencian dari Tuan Gerung. Kritik terhadap simbol kuasa negara layaknya presiden sedang hit

Lawan rezim kuasa negara kerap nyinyir dan menghujat di medsos dan grup Whatsapp. Di grup WA agak "kedap suara" karena "tersembunyi" dari pantauan. Saya kira itu lumrah di era keterbukaan. Kritik acapkali reborn di tengah sengkarut 'kebebasan berpendapat' dan 'berekspresi'. Pembela dan pendukung kuasa negara tidak pernah mati. 

Lebih lagi, kata-kata kasar dan menjelek-jelekkan sangat asing dalam tatanan sosial yang menjaga kesantunan politik. Jokowi saat dirinya dicemoohi nampaknya menjadi kisah nyata yang tidak sudi mengekor pada kata "mengadu" atau "aduan" secara hukum. 


Menko Hukum dan HAM, Mahfud MD sudah berbicara tentang hal tersebut. Sementara, kata bajingan disusun menjelang pemilu. 

Suatu abad dimana gen Z yang akan mengisahkan jejak-jejak sejarah agraris dalam kacamata permainan politik. Tuan Gerung memainkan permainan kata, bajingan. Dia melibatkan kata "sensi" di balik hak politiknya. Presiden Jokowi mengelola permainan politik yang "syahdu" dan "memikat." 

Mengapa syahdu dan memikat? Jokowi lebih memilih tidak ambil pusing. Kita sudah tahu, berita itu sudah ramai di media.

Kata bajingan tidak membuat Jokowi terkejut tatkala ketegangan mulai memuncak. Presiden Jokowi menganggap ibarat menonton acara komedian. Dia menirukan dirinya sebagai pembaca novel dan penikmat musik rock. Dia melupakan suara ingar bingar di luar dalam masa yang belum ditentukan kapan berakhirnya. Jokowi ingin fokus, kerja. "Itu hal-hal kecillah. Saya kerja saja," katanya. Di benak saya bergelayutan. Sampai kapan Jokowi bertahan dengan hinaan? Bajingan. Dia rupanya punya mekanisme pertahanan diri dari umpatan dan hinaan. Dia dahsyat. 

Ataukah ada sesuatu di balik itu? Itu pertanyaan yang mengusikku.

Tuan Gerung berhasil melakukan pemisahan antara aduan dan ogahan, laporan dan acuh tak acuh. Namun, serempak dari beberapa pihak telah melaporkan dugaan penghinaan presiden ke kepolisian. Nyatanya, Presiden Jokowi lebih enggan mengubris ocehan 'sang penyocoklogi'. Pada rangkaian yang sama, pihak pembela Jokowi bisa menggemari pengaduan sang penceloteh yang menggelikan pada pihak berwajib. Dalam cara yang jelas, para pendukung Jokowi melebihi kekesalan untuk memainkan peran politik.

***

Jangan khawatir. Saya tidak akan menyerobot pemikiran dari ahli bahasa. Tokoh linguistik yang berbicara. Lagi pula, saya bukan ahli bahasa. Itulah makanya, saya tidak begitu doyan membahas secara mendalam tentang bahasa. Kendatipun saat orang menulis tidak terlepas dari bahasa. Bahasa tulisan lebih pasnya.

Tetapi, saya senang untuk menggunakan bahasa tertentu, terutama menyoroti ujaran yang kebangetan. Kata-kata yang terlalu menohok membuatku geleng-geleng kepala. 

Kata bajingan bisa sesenti lagi wajah merah padam dibuatnya. Ujaran kebencian atau ujaran yang kasar dan menjelek-jelekan individu dan kelompok. Dari istilah orang disebut kurang piknik bagi penghina. Cuma orang bertanya. Siapa yang menghina? Siapa yang dihina? Betul apa betul? Betulkah terjadi penghinaan pada presiden? Di situlah pakar bahasa mengkajinya. 

Agar terhindar dari prasangka, mungkin juga ujarannya semacam julid, judes lidah. Sebenci-benci dan seanti-antinya seseorang terhadap yang lain, maka usahakan hindari kata-kata kasar apalagi hinaan dan fitnah seenak perutnya. Kita secara pribadi tidak pernah menjelek-jelekkan seseorang hanya karena beda pilihan dan rezim penguasa. Termasuk beda pilihan politik tidak lantas kita seperti "jurus mabuk." Kita bukan sok santun, sok beradab, dan gila tata krama dalam berbicara. Umpamanya, jika Anda dijuluki bajingan tengik. Demi langit dan bumi! Anda tidak terima karena tidak berprilaku demikian. Anda tidak hidup di zaman besi.

Nyaris setiap diskusi, istilah dan ungkapan cukup santai menghiasi obrolan. Selebihnya, ada saja orang tidak tahan nyicil dan kontan dalam kritik dan ujaran yang kasar tak terhindarkan.

Jika demikian, baiklah. Profesor ilmu linguistik, I Dewa Putu Wijana membuka ruang diskusi tentang kata 'bajingan'. Dimulai dari tinjauan etimologis. Kata 'bajingan' berasal dari bahasa Jawa, yang bermakna kusir alias sais gerobak. Betul, pedati yang ditarik oleh sapi. Bajingan merupakan kata benda. Subyek. "Bajingan membawa jerami padi ke kampung kemarin." Pokoknya, bajingan itu membantu petani. Keberadaan bajingan ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Penduduk di luar pulau Jawa sudah mulai tahu. Paling tidak kata bajingan belum lahir satu frasa "bajingan tengik" di tempoe doeloe. Akhirnya, kata bajingan sudah terjadi perubahan makna di zaman milenial. Dari kata bajingan berbarengan bermakna positif ke negatif. Dari makna yang enak-enak saja menjadi makna yang buruk.

Pertanyaannya, jika kata bajingan bermakna negatif akibat pengaruh tokoh-tokoh jahat di film barat, mengapa bahasa lokal bermakna ‘negatif’ begitu banyak tidak terkontaminasi menjadi makna ‘negatif’? Contoh, diantaranya kata ’bangsat’. Mungkinkah kata bajingan paling familiar dan hanya satu-satunya yang bisa diakronimkan? Pertanyaan itu tidak untuk dijawab. Pertanyaan tersebut sekadar perbandingan.

Apa boleh buat, kita menengok sekilas sejarah kata bajingan. Cobalah membandingkan kata bajingan dengan maknanya yang paling mutakhir! Kata bajingan yang kekinian.

Andaikan kata bajingan dilihat dari sisi kepluralan makna bajingan. Nah, kepluralan makna bajingan menurut profesor bahasa tersebut seiring perubahan zaman. Kenetralan makna bajingan lebih menonjol dan enyah dari penggunaan kata bajingan yang bersifat negatif. Jadi, ada semacam negativitas makna yang bersaling silang dengan kepluralan makna bajingan. Klaim semacam kemajemukan makna bajingan dipengaruhi oleh tanda komunikasi lewat film. Dugaan seperti kata bajingan yang terjerumus dalam sifat negatif menjadi sumber pergeseran sekaligus kepluralan makna bajingan.

Berkenaan kata bajingan berdasarkan pernyataan dari Tuan Gerung yang menggiring pada akronim bagusing jiwo angen-angening pangeran. Oleh Profesor ahli bahasa mengatakan sebagai kata-kata yang hanya othak-athik alias rekaan yang dihubung-hubungkan. 

Kata bajingan menurut Tuan Gerung bisa diimprovisasi. Kata bajingan diseret dalam makna yang 'belum jelas' sebagai makna negatif, seperti penggunaan saat sekarang. 

Profesor ahli bahasa belum berbicara deep structure dari kata bajingan. Makna asli yang positif dari kata bajingan ‘belum jelas’ untuk menyamarkan makna negatif. Kata bajingan memiliki makna yang bisa diteka-tekikan. Tidak heran, kata bajingan menyandang makna asal (arche meaning), yaitu ‘sais’ atau ‘kusir’ gerobak daripada makna yang jelek. Perkaranya, masyarakat Jawa saat ini sudah tidak menggunakan kata bajingan sesuai makna asal atau aslinya.

Hal yang menarik. Satu sisi, kepluralan makna bajingan terbuka bagi penafsiran. Ia berubah menjadi makna yang vulgar dan jelek. 

Sisi lain, Tuan Gerung akan terjebak dengan penggunaan kata bajingan menurut makna aslinya. Meskipun Tuan Gerung mempertahankan kata bajingan menurut makna aslinya sekaligus diperhadapkan dengan makna 'yang pasti' sebagai makna negatif dan kasar dalam kekinian.

Huruf-huruf vokal lenyap dalam kata bajingan. Yang ada menurut profesor ahli bahasa, Sahid Teguh Widodo, yakni huruf-huruf konsonan B,J,G. Sama sebelumnya. Kata bajingan hanya direka-reka dan dihubung-hubungkan agar tidak terkesan norak. "Ba bisa Bagus, Ji diambil Jiwo, Ng, angen-angen, An Pangeran." Makna dari kata bajingan dianggap sebagai makna yang belum pasti sebagai makna positif. Teksnya tidak keliru. Tetapi, tataran konteks dari kata bajingan berdasarkan makna yang plural menjadi masalah. Akronim Ng, angen-angen bisa juga bermakna 'kangen' atau rindu. Pangeran secara makna yang sempit berubah dari putra dari raja menjadi makna yang luas, diantaranya yang 'tinggi'.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bajingan bermakna penjahat, pencopet atau makian untuk orang yang kurang ajar. Makna positif dari kata bajingan samar atau belum jelas dan lenyap dalam konteks kekinian. Maknanya justeru sudah 'pasti' dan 'jelas' sebagai makna negatif dalam konteks yang sama. Makna yang 'lalu' direbut oleh makna saat 'sekarang' sebagai makna yang tidak mengenakkan.

Pada fase berikutnya, Tuan Gerung mencoba memainkan sebuah ‘permainan kata’ bajingan. Jika banyak orang yang menilai bahwa makna dari kata bajingan sebagai makna negatif dan kasar, sudah tentu hal tersebut sebagai sesuatu yang lucu dan keliru. Maksudnya?

Logika Tuan Gerung tentang makna bajingan berbeda dari pikiran pembaca atau pemirsa tercebur dalam ‘titik buta’. Oke! Usai sindiran ‘bajingan’, muncul teks tertulis itulah titik buta.

Makna dari kata bajingan lumayan plural dibiarkan berada dalam teks, yang mengandung ‘titik buta’. Suatu teks yang dimainkan kata-katanya melalui akronim bajingan. Dia membiarkan pihak lainnya terserap dalam permainan katanya. Nanti, makna bajingan yang plural mengalami jalan buntu, di situlah dia memainkan sebuah permainan kata berdasarkan isi kepalanya. Dia khatam makna dari kata bajingan. 

Tetapi, dari pihak lainnya dibiarkan sibuk ria untuk menyoroti kata bajingan. Kata bajingan dengan maknanya yang plural diarahkan pada suatu ketidakstabilan makna. Terdapat dua taraf dalam ketidakstabilan makna dari kata bajingan, yaitu ‘tanda’ dan ‘penafsiran’. Tuan Gerung dan pihak yang menentangnya gara-gara kata bajingan menimbulkan efek berupa ‘ekspresi’. Tanda terletak pada ekspresi. Kata bajingan sebagai tanda ekspresi. Sang penyentil kata bajingan, Tuan Gerung “ngeles.” Pihak penentang nampak kesal hingga geram. Mereka menafsirkan kata bajingan berdasarkan masing-masing sudut pandangnya bakal terjatuh dalam ketidakstabilan makna. Makna dari kata bajingan bisa ditafsirkan secara majemuk di tahun politik. Menjelang Pemilu 2024 begitu merangsang. Selamat menikmati ketidakstabilan makna dari kata bajingan! Daripada bawel baget, mending kita menunggu akhir episodenya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun