Semarang - Di jantung Kota Atlas, terdapat sebuah kawasan yang menyimpan jejak sejarah sekaligus menjadi pusat kreativitas baru, yakni Kampung Batik Semarang yang berlokasi di Jl. Batik No.698A, Rejomulyo, Kec. Semarang Timur, Kota Semarang, Jawa Tengah. Tidak hanya dikenal sebagai tempat belanja kain tradisional, kawasan ini menawarkan pengalaman budaya lengkap bagi pengunjung, mulai dari menyaksikan proses membatik hingga memahami filosofi motif khas Semarang.
Kampung Batik Semarang sudah ada sejak masa penjajahan Jepang. Pada masa itu, kawasan ini telah menjadi sumber perekonomian utama bagi masyarakat setempat. Aktivitas membatik menjadi mata pencaharian turun-temurun yang tidak hanya menopang kebutuhan hidup, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan warga. Namun, masa kejayaan itu harus terhenti ketika tentara Jepang membakar kampung tersebut beserta wilayah di sekitarnya seperti Kampung Rigsari, Kampung Sukintan, dan Kampung Bujangan. Peristiwa itu menyebabkan banyak pengrajin kehilangan tempat tinggal, alat produksi, serta hasil karya mereka. Sejak saat itu, aktivitas membatik sempat terhenti, dan Kampung Batik mengalami masa vakum yang panjang.
Kampung Batik akhirnya kembali dihidupkan pada tahun 2010 melalui pendirian Central Batik Semarang. Kehadirannya menjadi titik balik penting bagi kebangkitan budaya lokal. Kini, Kampung Batik tidak hanya berfungsi sebagai sentra produksi kain tradisional, tetapi juga berkembang menjadi ruang edukasi, galeri seni, sekaligus destinasi wisata budaya. Melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan membatik dan pameran karya, kawasan ini menjadi simbol kebangkitan ekonomi kreatif berbasis warisan budaya di tengah modernisasi Kota Atlas.
Batik Semarang memiliki ciri khas yang berbeda dari daerah lain. Motif-motifnya terinspirasi dari ikon kota seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, lumpia, hingga Warak Ngendog. Menurut Ibu Oktaviana Ningrum, pemilik Toko Batik Temawon, motif Warak Ngendog menjadi salah satu yang paling diminati karena maknanya yang sarat nilai budaya
 "Warak Ngendog itu unik, karena kepala naga melambangkan budaya Tionghoa, tubuh unta mewakili budaya Arab, dan kaki kambing merepresentasikan budaya Jawa. Dari satu motif saja, kita bisa melihat bagaimana harmoni antar etnis yang sudah lama hidup di Semarang", ungkap Ibu Oktaviana.
Motif Tugu Muda menggambarkan semangat perjuangan rakyat Semarang dalam mempertahankan kemerdekaan. Bentuknya yang menjulang menjadi simbol keteguhan dan keberanian warga Kota Atlas menghadapi masa-masa sulit. Sementara itu, motif Lawang Sewu menampilkan keindahan arsitektur bersejarah yang menjadi kebanggaan masyarakat Semarang. Pola jendela dan lengkungannya diolah menjadi desain yang elegan, mencerminkan perpaduan antara keindahan seni dan nilai sejarah. Setiap helai batik pun seolah menjadi kisah visual tentang semangat, keindahan, dan jati diri Kota Atlas.
Selain belanja batik, pengunjung juga bisa mencoba pengalaman membatik langsung. Mulai dari mencanting, mewarnai, hingga menggambar motif, aktivitas ini menjadi daya tarik edukatif yang digemari wisatawan, terutama pelajar dan mahasiswa. Para pengrajin juga membagikan makna filosofis dibalik motif, sehingga pengunjung membawa pulang bukan hanya kain batik, tetapi juga pemahaman budaya.
Kampung Batik turut mendorong geliat UMKM dan ekonomi kreatif. Produk batik dalam bentuk kain menjadi komoditas utama karena fleksibel dijahit sesuai kebutuhan. Meski pemasaran masih terbatas di lingkup lokal dan domestik, inovasi motif terbukti meningkatkan daya saing dengan batik daerah lain. Namun, saat ini aktivitas produksi di Kampung Batik mulai berkurang karena keterbatasan sumber daya manusia. Banyak pengrajin lama yang sudah berhenti, sementara generasi muda belum banyak yang meneruskan. Akibatnya, sebagian besar toko kini lebih fokus pada penjualan produk jadi. Rata-rata pengusaha batik di kawasan ini mengambil stok atau kulakan dari Pekalongan, sehingga hanya sedikit yang masih memproduksi batik secara mandiri di Semarang.
Sejumlah tantangan pun masih dihadapi oleh para pelaku usaha di Kampung Batik. Selain keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur kawasan yang belum optimal juga menjadi kendala utama dalam menarik wisatawan. Minimnya regenerasi pengrajin turut mengancam keberlanjutan tradisi membatik di Semarang. "Harapan kami sederhana, ada dukungan lebih luas untuk promosi, fasilitas seperti lahan parkir, dan terutama keterlibatan generasi muda agar batik Semarang terus hidup dan bisa mendunia", tutur Ibu Oktaviana.