Dalam dunia sastra, keindahan bahasa bukan hanya terletak pada makna kata, tetapi juga pada bunyinya. Itulah mengapa stilistika ilmu yang mengkaji gaya bahasa dan estetikanya sering menyoroti unsur-unsur bunyi seperti aliterasi, asonansi, dan rima. Ketiganya kerap dianggap sama karena sama-sama berhubungan dengan pengulangan bunyi. Namun, sebenarnya ada perbedaan mendasar yang membuat masing-masing memiliki fungsi estetikanya sendiri.
1. Aliterasi
Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan pada awal kata yang berdekatan. Unsur ini menciptakan efek musikal dan memperkuat kesan tertentu dalam teks.
Contoh:
"Bibir biru bergetar dalam bisu."
Huruf b yang diulang memberikan tekanan ritmis sekaligus nuansa dramatis. Dalam puisi, aliterasi sering dipakai untuk menciptakan kesan magis, kuat, atau menegaskan emosi tertentu.
2. Asonansi
Berbeda dengan aliterasi, asonansi adalah pengulangan bunyi vokal dalam rangkaian kata. Efeknya lebih lembut, seringkali menimbulkan kesan musikal yang mengalun.
Contoh:
"Lelaki sepi menepi di tepi pagi."
Bunyi vokal i yang diulang menimbulkan alunan suara yang puitis, seakan mengalir. Asonansi sering digunakan untuk memperindah sajak atau memberi nuansa emosional yang mendalam.