Mohon tunggu...
Erlangga Satriadji Tj
Erlangga Satriadji Tj Mohon Tunggu... Mahasiswa - Erlangga

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Optimalisasi Dana Desa untuk Pencegahan Stunting pada Desa di Provinsi Lampung

31 Januari 2022   15:00 Diperbarui: 31 Januari 2022   15:01 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dan membangun Indonesia mulai dari daerah  pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan merupakan jabaran dari nawacita ke-5 dan ke-3. Upaya menghadirkan generasi emas Indonesia ini dibayangi kehadiran stunting yang masih mengancam.

Penanggulangan stunting di desa merupakan salah satu program prioritas nasional dan juga masuk ke dalam program prioritas pembangunan desa. Secara umum stunting dapat diartikan sebagai kondisi dimana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan dengan orang lain pada seusianya. 

Secara ilmiah stunting merupakan kondisi gagalnya tumbuh pada anak balita yang diakibatkan dari kekurangan gizi yang kronis yang menyebabkan seorang anak terlalu pendek untuk seusianya. 

Menurut Kementerian Kesehatan stunting adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted).

Kekurangan gizi bisa terjadi sejak dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, tetapi kasus stunting akan terlihat setelah bayi berusia dua tahun.

Stunting terjadi karena faktor multidimensi yang mana tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting sebagai berikut:

  • Pengasuhan yang kurang baik, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah melahirkan. Beberapa fakta dan informasi menunjukkan 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI secara ekslusif, dan dua dari tiga anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping ASI. Makanan Pendamping ASI diperkenalkan ketika balita berusia diatas enam bulan.
  • Masih terbatasnya layanan kesehatan. Informasi dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.
  • Masih kurangnya akses rumah tangga terhadap makanan bergizi, dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia yang masih mahal. Menurut (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% jauh lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia jauh lebih mahal dari pada di Singapura.
  • Kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Menurut data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa satu dari lima rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta satu dari tiga rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

Di Provinsi Lampung sendiri prevalensi stunting di Lampung di angka 18,5 persen, hal ini menjadi sebuah pertanda baik dimana terjadinya penurunan angka prevalensi stunting yang sebelumnya di angka 26,26 persen.  

Sepanjang tahun 2021 menurut data oleh BKKBN Lampung kasus stunting di Lampung terjadi sejumlah 37.818 ribu anak yang tesebar di beberapa kota/kabupaten di Lampung. 

Menurut data yang diperoleh pada dashboard stunting Kementerian Sekretariat Negara 5 dari 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung menjadi wilayah prioritas intervensi untuk stunting diantaranya:

  • Kabupaten Lampung Barat dengan jumlah 131 desa dengan prevalensi stunting 33,0% dengan kategori tinggi.
  • Kabupaten Pesisir Barat dengan jumlah 116 desa dengan prevalensi stunting  24,4% dengan kategori medium.
  • Kabupaten Tulang Bawang Barat dengan jumlah 93 desa dengan prevalensi stunting 27,2% dengan kategori medium.
  • Kabupaten Mesuji dengan jumlah 105 desa dengan prevalensi stunting 28, dengan kategori medium.
  • Kota Metro dengan jumlah desa yang belum diketahui dengan prevalensi stunting 14,8% dengan kategori rendah.

Pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 terkait dengan Desa dijelaskan di dalamnya bahwa pada tahun 2015 Desa akan mendapatkan dana sebanyak 10% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa disegala aspek. 

Hal ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN di dalamnya disebutkan Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukan untuk desa yang ditransfer melalui APBD dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. 

Dimulai tahun 2015, Pemerintah Republik Indonesia menganggarkan dana desa dalam kelompok mata anggaran belanja transfer ke daerah. Dana desa yang berasal dari pemerintah pusat akan ditransfer ke pemerintah daerah kabupaten yang kemudian diterukan ke kecamatan yang selanjutnya dibagi kepada setiap desa sesuai dengan RAPBDes yang telah disetujui. 

Dengan adanya dana desa, dapat memberikan hak otonomi kepada desa untuk mengelola dana desa tersebut secara mandiri untuk membangun desa tersebut dan mensejahterakan masyarakat di dalamnya. 

Di tahun 2022 ini anggaran dana desa mencapai Rp 68 triliun yang dibagi kepada 74 ribu desa di seluruh Indonesia. Untuk Dana Desa di Provinsi Lampung sendiri mencapai 2,197 triliun.

Maka dari itu untuk mendukung komitmen pemerintah dalam mencegah dan menangani stunting adalah dengan pemanfaatan dana desa sebagai salah satu instrumen untuk penanggulangannya. 

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk penanggulanagan stunting dengan dana desa adalah dengan meningkatkan fasilitas kesehatan tingkat desa, kegiatan yang dapat dilakukan adalah:

  • Pembangunan/rehabilitasi poskesdes, polindes, dan posyandu.
  • Penyediaan makanan empat sehat lima sempurna untuk peningkatan gizi balita dan anak.
  • Perawatan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
  • Pembangunan sanitasi dan air bersih.
  • Pembangunan MCK.
  • Insentif kader kesehatan masyarakat.
  • Pembangunan rumah singgah.
  • Pengelolaan balai pengobatan desa.
  • Pengadaan alat-alat kesehatan.
  • Pengadaan kebutuhan medis.
  • Sosialisasi dan edukasi gerakan hidup sehat.
  • Pengadaan ambulance desa.

Untuk perbandingan ada sebuah desa di Provinsi Gorontalo yang melakukan pemanfaatan dana desa untuk penanganan gizi buruk dan pencegahahan stunting yang telah sukses dalam pencegahan stunting, yaitu dengan melakukan kegiatan seperti berikut:

  • Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Balita Gizi Kurang
  • Biaya persalinan
  • Transport balita menuju tempat penimbangan
  • Penyuluhan kelas ibu hamil
  • Pemberian Makanan Tambahan dan Vitamin Ibu Hamil yang Kekurangan Energi Kronis
  • Penyuluhan Ibu Balita
  • Penyuluhan kelas tumbuh kembang
  • Pembangunan polindes
  • Pembangunan sarana WC di Poskesdes

Sebagai penutup, dibutuhkan dukungan, partisipasi dan komitmen ekstra baik dari pemerintah, perangkat desa, dan masyarakat dalam pengentasan dan pencegahan stunting dengan mengoptimalkan instrumen keuangan yang berasal dari dana desa oleh tiap-tiap desa. 

Dengan demikian apabila dapat mengentaskan permasalahan stunting dari level terendah setingkat desa maka, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita bangsa untuk membangun sumber daya manusia yang kuat, yang akan mendukung suksesnya Indonesia dalam menghadapi bonus demografi nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun