Mungkin kita sering mendengar kalimat ini entah dalam sebuah ceramah ataupun dalam khutbah yang berbunyi "Makan Sebelum Lapar, Berhenti Sebelum Kenyang". Bahkan, ada sebagian orang yang dengan percaya diri mengatakan ini adalah sunnah nabi. Malah kalimat ini begitu populer di masyarakat. Benarkah kalimat ini berasal dari hadits nabi?
Sebagai seorang yang sedang belajar Ilmu Hadits, penulis merasa tergelitik untuk mencari asal muasal kalimat ini. Rupanya setelah penulis cari, kalimat ini terdapat dalam kitab karya Imam Jalaludin As-Suyuthi berjudul Ar-Rahmah fi Thib wa Al-Hikmah. Kalimat ini ternyata bukanlah sebuah hadits.
Kalimat ini berasal dari kisah yang ditulis oleh Jalaludin As-Suyuthi tentang seorang raja Kisra, Persia yang meminta resep obat yang tidak ada efek sampingnya kepada empat hukamak (dalam kitab ini yang dimaksud hukamak ialah dokter) bagi raja itu dari empat negeri yang berbeda, yakni Irak, Romawi, India, dan Sudan.
Maka tiga dokter itu memberikan resep obat yang tidak ada efek sampingnya kepada raja Kisra. Dokter dari Irak berkata agar minum setiap pagi tiga teguk air hangat saat bangun tidur. Dokter Romawi berkata agar setiap hari menelan sedikit biji rasyad (sejenis sayuran). Sedangkan dokter dari India mengatakan agar makan tiga biji ihlilaj (sejenis gandum yang tumbuh di Afghanistan, India, dan Cina) hitam setiap hari.
Dokter dari Sudan rupanya paling cerdas diantara yang lain. Bertanyalah raja kepada dokter dari Sudan itu, "Mengapa kamu tidak berbicara?" Dokter Sudan itu menjawab, "Wahai Tuanku, air hangat dapat menghilangkan lemak ginjal dan melonggarkan lambung. Dan biji rasyad dapat mengeringkan shafra' (jaringan tubuh), dan ihlilaj dapat mengeringkan jaringan tubuh lain.
Lalu raja bertanya kepada dokter dari Sudan, "Lalu, apa yang ingin kamu katakan?" Dokter Sudan itu berkata, "Wahai Tuan kami, obat yang tidak ada efek sampingnya adalah makan setelah lapar. Ketika anda makan, angkatlah tangan anda sebelum kenyang. Maka anda tidak akan terkena penyakit kecuali penyakit mati." Kemudian, ketiga dokter tadi membenarkan perkataan dokter Sudan itu.[1]
Kisah tadi sudah cukup bagi kita bahwa kisah itu bukanlah berasal dari hadits nabi. Apalagi, kisah tersebut ditulis oleh Imam Jalaludin As-Suyuthi yang notabene seorang Al-Hafidz. Sebuah gelar yang menempati kedudukan tertinggi di atas ahli hadits. Bahkan seorang yang memiliki gelar Al-Hafidz adalah orang yang memiliki kemampuan menghafal 100.000 hadits baik dari sisi sanad maupun matannya.
Padahal dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih Muslim di nomor hadits 3 dengan bunyi sebagai berikut:
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغَبَارِيٌّ : حَدَّثَنَا أبُوْ عَوَانَةَ, عَنْ أبِيْ حَصِيْنٍ, عَنْ أبِيْ صَالِحٍ, عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid al-Ghobariyyu, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah, dari Abu Hashin, dari Abu Sholihin, dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda, "Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka".[2]
Hadits ini menjadi ancaman bagi kita agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan hadits nabi kepada orang lain sebelum memastikan apakah hadits itu benar berasal dari nabi atau bukan. Bahkan ancaman dalam hadits ini juga berlaku bagi orang yang sengaja memalsukan hadits nabi setelah ia mengetahui bahwa itu hadits palsu.
Dalam suatu riwayat, ada seorang bernama Abdul Karim bin Auja' tatkala ia hendak dihukum mati oleh penguasa Bashrah masa pemerintahan Al-Mahdi tahun 160 H, ia berkata sudah menyebarkan 4000 hadits palsu. Luar biasa bukan?