Mohon tunggu...
Ni Ketut Eri Suryani
Ni Ketut Eri Suryani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi S1 Kimia Universitas Pendidikan Ganesha

Saya merupakan mahasiswa on goin di Universitas Pendidikan Ganesha.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Suplementasi Makanan Tinggi Protein Hewani Sebagai Upaya Pencegahan dan Penanganan Stunting Pada Anak

16 Mei 2024   20:31 Diperbarui: 16 Mei 2024   20:34 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

I. PENDAHULUAN

Stanting merupakan salah satu permasalahan gizi secara global yang dialami oleh balita di dunia saat ini, terutama di negara berkembang. Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan prioritas karena masalah gizi dapat berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (Yuwanti, et. Al., 2021). 

Stunting dapat menimbulkan dampak jangka panjang seperti terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, dan kognitif. Selain itu, stunting juga mempengaruhi keterampilan motorik dan perkembangan bahasa, serta meningkatkan kejadian penyakit degeneratif, penyakit, dan kematian. 

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa stunting mempengaruhi perkembangan kognitif dan keberhasilan belajar anak, yang dapat menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan di berbagai negara.

Permasalahan stunting dan kelebihan berat badan serta penyakit tidak menular (PTM) dimulai pada masa tumbuh kembang janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Bila ibu dan janin kekurangan gizi, maka proses tumbuh kembangnya terganggu sehingga mengakibatkan kelainan pertumbuhan tinggi, yang mana pada faktor genetik di dalam sel memungkinkan pertumbuhan normal. 

Stunting terjadi akibat kekurangan gizi kronis pada 1.000 hari pertama kehidupan. Kerusakan yang ditimbulkan berarti perkembangan anak bersifat irreversible (tidak dapat diubah) dan anak tidak mampu belajar dan memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya (Torihono, et.al., 2015).


Salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) adalah untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang kedua. Hal ini berarti mengakhiri kelaparan, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, serta mendukung pertanian berkelanjutan (Nirmalasari, 2020). Sasarannya adalah menurunkan angka stunting sebesar 40% pada tahun 2025 (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Menurut Kominfo (2022), Indonesia akan mengalami dividen demografi pada tahun 2030, dimana kelompok usia kerja merupakan mayoritas penduduk dan menjadi penyangga perekonomian. 

Namun, jika pertumbuhan sumber daya manusia terhambat maka potensi tersebut akan menjadi sia-sia. Permasalahan stunting merupakan salah satu target dari Sustainable Development Goals (SDGs) untuk mengakhiri kelaparan dan segala bentuk malnutrisi. Malnutrisi internal atau biasa disebut malnutrisi yang dialami anak kecil pada masa pertumbuhannya berdampak pada status kesehatan dan harapan hidup mereka, termasuk isu stunting (Liansyah, 2015).

Pada tahun 2018, Kementerian Kesehatan RI melaporkan bahwa sekitar 22,2% atau 150,2 juta balita di dunia mengalami stunting. Stunting ini ditandai dengan nilai Z-score (TB/U) tinggi badan berbanding usia kurang dari -2SD. Kategori pendek kurang dari -2SD dan kategori sangat pendek kurang dari -3SD (Kemenkes, 2016). Pada tahun 2019, satu dari tiga anak di bawah usia lima tahun, atau sekitar 149 juta anak di seluruh dunia, menderita stunting (UNICEF, 2020). 

Lebih dari separuh (55%) bayi dengan stunting di dunia berasal dari Asia, dan lebih dari sepertiganya tinggal di Afrika (39%) (Kementerian Kesehatan, 2018). Berdasarkan data Riskesdas, kejadian stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 3,2% menjadi 30,8% pada tahun 2013 hingga 2018 (Kementerian Kesehatan RI, 2018), pada tahun 2020 mengalami peningkatan akibat dampak pandemi Covid-19 yang meningkat (Utami, 2020). Jumlah tersebut diperkirakan meningkat sebesar 15% akibat menurunnya daya beli masyarakat akibat pandemi COVID-19 (UNICEF, 2020).

Protein merupakan zat makanan yang paling kompleks. Protein terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan fosfor. Karena protein merupakan zat pangan yang mengandung unsur nitrogen, maka protein kadang disebut sebagai zat pangan yang mengandung nitrogen (Vidiasari, 2022). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun