Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di utara kota Bandung, ketika saya memulai langkah santai menyusuri kawasan Ciumbuleuit. Udara segar khas perbukitan menyapa hangat, dan matahari belum sepenuhnya naik ketika saya tiba di sebuah pasar Minggu sederhana, ramai, hangat, dan penuh warna. Saya memang menyukai berjalan pagi ke arah utara Bandung, terutama Ciumbuleuit, karena tempat ini seperti menyimpan serpihan-serpihan kecil masa lalu: dari keramahan pedagang hingga makanan-makanan khas Sunda yang semakin sulit ditemukan.
Tepat di pojok jalan kecil, berdiri sebuah kedai gorengan sederhana. Tak ada nama mencolok, hanya wajan besar, aroma minyak panas, dan senyum ramah ibu penjual. Deretan gorengan biasa seperti bakwan, gehu, dan pisang goreng tersaji rapi. Namun mata saya tertuju pada satu jenis gorengan yang tampak berbeda: rarawuan.
Rarawuan adalah gorengan khas Sunda yang mulai jarang terlihat, bahkan di Bandung sendiri. Dibuat dari kacang kedelai tumbuk kasar, dicampur dengan parutan kelapa muda, tepung, dan bumbu sederhana seperti bawang putih, ketumbar, dan garam, lalu digoreng hingga keemasan. Hasilnya adalah gorengan berbentuk tidak beraturan, renyah di luar namun kaya tekstur di dalam, dengan rasa gurih yang membumi.
Ketika saya menggigit rarawuan itu, rasa nostalgia tiba-tiba menyeruak. Entah mengapa, rasanya seperti menggigit kenangan: tentang masa kecil saat mudik ke desa, bermain bersama sepupu, lalu duduk bersama keluarga besar di atas tikar, ditemani suguhan teh panas dan gorengan seperti ini. Obrolan mengalir hangat, tentang kabar kerabat, panen di sawah, hingga cerita lucu masa kecil. Rarawuan, rupanya, bukan sekadar makanan. Ia adalah pengantar kehangatan, penjaga memori, dan simbol silaturahmi.
Sayangnya, rasa-rasa seperti ini semakin langka, bukan hanya karena makanannya yang sulit ditemukan, tapi karena momennya yang kian jarang terjadi. Kini, semua orang sibuk. Duduk bersama jadi kemewahan. Mengobrol hangat terasa asing. Bahkan tradisi silaturahmi mulai terkikis, tergantikan oleh percakapan digital yang dingin dan cepat lupa.
Saya duduk di bangku kecil dekat kedai, menikmati rarawuan sambil menatap hamparan pepohonan dan atap rumah yang bertumpuk dari kejauhan. Bandung bagian utara memang memanjakan mata. Tapi pagi itu, yang terasa paling indah adalah kesempatan untuk diam sejenak, meresapi rasa, dan mengingat bahwa kehangatan bisa hadir dari hal-hal sederhana: seporsi gorengan, udara pagi, dan kenangan yang hidup kembali lewat rasa.
Di tengah riuhnya pasar dan dinginnya udara pegunungan, rarawuan jadi pengingat bahwa makanan tradisional tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga bisa menyambungkan kembali hati yang lama tak bertemu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI