"Ketika Sejarah ditulis ulang, siapakah yang berwenang menentukan keadilan? Apakah mereka yang menjadi pemenang?"
Sejarah bukan sekadar kronologi peristiwa, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh siapa yang memiliki otoritas atas ingatan kolektif. Dalam banyak peradaban, sejarah yang kita kenal hari ini merupakan hasil seleksi narasi, dari sekian banyak kisah, hanya sebagian yang dipilih untuk diabadikan, sementara sisanya terpinggirkan atau terlupakan. Frasa "sejarah ditulis oleh para pemenang" tidak menunjuk pada manipulasi, melainkan menyoroti realitas bahwa dominasi naratif kerap berjalan seiring dengan dominasi politik, militer, atau budaya.
Dalam proses penulisan sejarah, terdapat aspek yang tidak bisa dihindari: subjektivitas. Setiap penulis sejarah membawa kerangka acuan tertentu, baik secara ideologis, metodologis, maupun sumber informasi yang tersedia. Ketika satu kelompok memperoleh legitimasi atas penafsiran sejarah, narasi yang dibentuk akan cenderung merefleksikan kepentingan, nilai, dan sudut pandang kelompok tersebut. Ini bukan bentuk penyimpangan, melainkan konsekuensi inheren dari praktik historiografi.
Situasi semacam ini menjadikan sejarah sebagai arena negosiasi makna. Bukan hanya soal "apa yang terjadi," tetapi juga tentang "versi mana yang dianggap sah." Pengetahuan historis yang kita konsumsi dalam buku teks, museum, atau peringatan kenegaraan, sering kali merepresentasikan hasil seleksi yang telah melalui berbagai penyaringan, baik yang bersifat ilmiah maupun politis. Atau bisa jadi, ia adalah narasi yang ditulis berdasarkan permintaan tertentu, eksplisit maupun implisit, untuk memenuhi kebutuhan simbolik, legitimasi, atau konsolidasi sosial dalam suatu masa.
Dalam banyak kasus, tokoh-tokoh yang diposisikan sebagai pahlawan atau tokoh sentral dalam sejarah adalah representasi dari nilai-nilai dominan pada masa penulisan narasi tersebut. Di sisi lain, individu atau kelompok yang tidak selaras dengan arus utama kerap tidak mendapatkan ruang naratif yang setara. Ini bukan semata soal siapa yang menang atau kalah dalam konflik, melainkan siapa yang diberi hak untuk mendefinisikan makna dari peristiwa sejarah itu sendiri.
Kritik terhadap narasi sejarah bukanlah bentuk penolakan terhadap masa lalu, melainkan upaya memperluas cakrawala pemahaman kita terhadap kompleksitasnya. Penulisan sejarah, jika dipahami sebagai proses yang terbuka, memungkinkan kita untuk melihat bahwa setiap peristiwa mengandung banyak perspektif, dan setiap jejak masa lalu berpotensi mengandung lapisan makna yang belum sepenuhnya tergali.
Dengan demikian, sejarah bukanlah teks yang final, melainkan teks yang terus bergerak. Ia dipengaruhi oleh penemuan baru, pendekatan metodologis yang berkembang, serta dinamika sosial yang berubah. Maka tak mengherankan jika satu peristiwa sejarah bisa mengalami re-interpretasi seiring dengan munculnya sumber baru atau perubahan dalam cara pandang akademik.
Sejarah yang ditulis oleh para pemenang bukan sejarah yang salah. Ia adalah sejarah yang terbentuk dalam kerangka tertentu. Atau mungkin, sejarah itu hadir karena diminta demikian. Tantangannya bukan pada validitas narasi tersebut, tetapi pada kesadaran bahwa ia bukan satu-satunya narasi yang mungkin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI