"Kenapa?"
"Ini ladang kakekku dulu." Dewa menunjuk tempat yang kini terlihat gersang."Kenapa harus bukit ini?"
"Aku juga tidak tahu."
Amara kemudian melangkah menaiki bukit. Menghirup napas dalam-dalam dan duduk di samping batu berukuran sedang yang tertancap pada tanah. "Kita istirahat dulu."
Dewa menyusulnya duduk sambil mengeluarkan sebotol air dan kotak makanan. "Ada banyak hal yang harus kita cari, Wa. Kita harus mulai dari hutan itu."
Selesai makan, mereka lantas berjalan ke arah hutan. Ada sebuah pohon besar yang tumbuh di antara pohon-pohon yang lain. Amara menarik lengan Dewa menuju ke sana, memintanya menggali tanah di bawah pohon itu. Tanahnya cukup mudah digali dan Dewa menggunakan ranting yang dipatahkannya dari salah satu pohon.Â
Hingga sudah cukup dalam, Dewa merasakan ujung rantingnya menabrak sesuatu yang keras. Amara bergegas mengorek tanah dengan jarinya. Sebuah kotak besi terlihat oleh mereka.Â
"Katakan apa?"
Untuk sekian lama, Amara menatap Dewa dalam. Seperti berusaha menjawab pertanyaan pemuda itu dengan tanpa suara. "Peninggalanku."
Bersamaan dengan itu, Amara membuka kotak dan menunjukkan isinya pada Dewa. Sebuah boneka dan baju anak-anak yang lusuh. Dewa merasa bingung, keistimewaan apa yang dimiliki sebuah boneka dan baju yang dikubur dalam kotak besi selama entah berapa lama yang membuatnya harus keluar pagi buta untuk berjalan kaki menuju bukit dan akhirnya sampai di sini.
"Gadis itu, yang menemanimu bermain sepanjang pagi."