Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jokowi Memenuhi Keadilan Sosial Hutan Indonesia

9 Februari 2019   19:02 Diperbarui: 9 Februari 2019   19:40 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang mengamanatkan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", mengandung 3 konsep kunci yaitu, penguasaan negara, sumber daya alam, dan kemakmuran rakyatnya (Magnar et al., 2010)[1]. Namun disisi lain, sumber daya alam juga memiliki manfaat ekonomi, sosial dan budaya yang pemanfaatannya pada setiap wilayah berbeda, namun dengan kata kunci yang sama; kelestarian dan kemakmuran rakyat.  Harus diakui, Pemerintahan sebelum periode Jokowi-JK, kehadiran negara atas sumber daya alam bagi masyarakat luas masih sangat lemah yang menimbulkan penguasaan sangat timpang oleh pemilik modal yang membentuk jaring kolusi dengan pejabat negara. Hasilnya, hingga tahun 2014, sebanyak 98,9% hutan dikuasai oleh konglomerat, dan hanya 1,1% kawasan hutan yang dikuasai masyarakat. Harus diakui, Negara tidak bisa hadir atas sumber daya alam yang memakmurkan rakyatnya. 

Banyak kritikan ditujukan kepada Pemerintah pada masa lalu terhadap 2 arah kebijakan politik atas sumber daya alam, termasuk hutan, yaitu memenuhi rasa keadilan masyarakat dan menegakkan aturan hukum. Sebagaimana disampaikan Menteri LHK, pemenuhan rasa keadilan masyarakat, termasuk masyarakat adat, akan mendorong perbaikan citizenship dan demokratisasi dalam tata kelola hutan, melalui 3 langkah kebijakan yaitu (1) mempertegas perluasan kesempatan kerja perdesaan yang mendapatkan SK hutan sosial, (2) menddorong sentra produksi rakyat yang mengayunkan pendulum pertumbuhan ekonomi baru di desa-desa, (3) mengintegrasikan ekonomi hutan sosial ke dalam sektor formal ekonomi indonesia.

 Di sisi aturan perundang-undangan, ketimpangan ini dikoreksi dengan kebijakan afirmatif Pemerintahan Jokowi-JK dengan program Perhutanan Sosial (PS), melalui Peraturan Menteri LHK No P.83 Tahun 2016 dan No P.39 Tahun 2017, yang memberi kuasa kepada masyarakat untuk mengelola hutan selama 35 tahun, baik secara individu maupun berkelompok. Tidak hanya diberikan ijin saja, Pemerintah melalui Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, membuka peluang pinjaman dan permodalan super lunak untuk memulai usaha, dengan beragam mekanisme. 

Capaiannya kebijakan tersebut, bila pada periode 2007-2014 ijin PS hanya mencapai seluas 450 ribu hektar, pada Pemerintahan Jokowi-JK, luas ijin PS hingga akhir 2018 mencapai > 2,5 juta hektar, atau naik > 553%. Ketimpangan penguasaan lahan pun berkurang menjadi 7,9% dikuasai masyarakat, berbanding 92,1% dikuasai konglomerat.

Capaian kinerja tersebut dapat dimaknai sebagai perwujudan Sila ke-5 Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep keadilan benar-benar diwujudkan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang mendukungnya pada Pilpres 2014 maupun yang tidak mendukungnya.


Data yang dirilis Kementerian LHK, jumlah keluarga penerima ijin PS terbanyak justru terjadi di Provinsi Sumatera Barat, dimana pada Pilpres 2014, Jokowi hanya memperoleh 23,08% suara, dibandingkan perolehan suara Prabowo sebanyak 76,92%.

Hal senada berlaku juga di Provinsi Sulawesi Tengah sebagai penerima ijin PS terbanyak. Padahal, perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014 hanya unggul tipis (54,83%) dari Prabowo (45,17%). Hal ini membuktikan sikap kenegarawanan Jokowi yang adil meskipun perolehan suaranya kalah telak di Provinsi Sumbar, atau hanya menang tipis di Provinsi Sulteng. 

Diberikannya ijin PS memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan, yang selama ini terpinggirkan atau bahkan menimbulkan konflik dengan perusahaan. Hal ini disampaikan oleh Jokowi pada penyerahan ijin PS di Sumatera Selatan (25/11), "Ini jelas sekali. Kita ingin memperjelas hak hukum bapak, ibu sekalian dalam mengelola hutan sosial yang kita berikan," ujarnya.

Kepastian hukum penting karena banyak masyarakat justru dikalahkan kolusi antara perusahaan dengan aparat Pemerintah, baik di daerah maupun pusat. 


Catatan Kementerian LHK atas konflik lahan di kawasan hutan selama periode 2016-2018, sebanyak 222 laporan. Dari jumlah tersebut, 77 kasus telah di selesaikan, 107 kasus masih dalam proses, dan 38 kasus dikembalikan pada para pihak yang berkonflik karena kurangnya dokumen, atau karena konflik terjadi di luar kawasan hutan.

 Dengan semakin berkurangnya konflik, terbuka ruang pengusahaan lebih luas bagi masyarakat, yang dapat dilakukan dalam 5 skema, yaitu hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, kemitraan kehutanan dan hutan adat. Masing-masing tipe PS memiliki tujuan dan manfaat berbeda. Hutan desa misalnya, memberi wewenang kepada Pemerintah Desa untuk mengelola, sehingga hasilnya dapat menjadi pemasukan bagi kas desa. Adapun kemitraan kehutanan membuka peluang masyarakat ikut mengelola kawasan konservasi dalam bentuk pariwisata alam. Pola yang selama ini seolah-olah tertutup bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi seperti taman nasional atau taman wisata alam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun