Mohon tunggu...
Eva Purba
Eva Purba Mohon Tunggu... PEGAWAI SWASTA -

ingin berbagi melalui tulisan, karena terkadang apa yang ada di fikiran tidak dapat di ungkapkan dengan lisan :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Laki laki dan Cinta

22 Maret 2014   21:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dia, laki laki yang membuat kehidupanku dalam sesaat luluh lantak! Membuat kehidupanku hampir meregang nyawa! Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam benakku kalau dia, laki laki yang kukenal sangat dekat selama 7 tahun ini mampu menghancurkan segala impian dan harapanku dalam sekejap. Dia, laki laki yang membuatku setiap malam harus berjuang menahan perasaan rindu, setiap malam menangis dalam doa, dan ketika pagi datang harus berjuang menyemangati diri sendiri kalau aku sanggup menjalani hari tanpa dirinya. Dunia ku seperti jungkir balik, sesaat aku seperti mampu melewati semuanya, tapi dalam sekejap kemudian aku jatuh lagi dengan bayangannya, bayangan kenangan selama hidup bersamanya, bayangan hari hari bahagia saat bersamanya, bayangan ketika aku bisa menangis dan berlari kepelukannya, ketika aku butuh seseorang yang menenangkanku. Dan ingatan ketika dia mengatakan kalau dia telah bersama wanita lain! Ingatan itu seperti gelembung bola bola sabun yang setiap saat berterbangan diatas kepalaku. Aku ingin meniup bola bola kenangan itu dan bola bola bayangan ketika dia bersama kekasihnya agar pecah dan hilang, tapi aku seperti tidak punya kekuatan sama sekali. Aku justru membiarkan bola bola itu kian banyak, membiarkan gelembung itu memenuhi ruang kehidupanku, dan membuatku kembali jatuh dalam keputus asaan. Membuatku kembali menangis dan hampir seperti pesakitan! “Must be strong Han, aku tau kamu pasti bisa melewati semua ini, jangan biarkan dia membuatmu semakin hancur!”Suara Yuka di seberang sana hanya bagaikan angin lalu di benakku. Aku terisak, dan ini ntah untuk keberapa kali nya. “Dia bukan apa apa Han, ingat! Kamu juga berhak untuk bahagia. Dia sudah menentukan pilihannya dan yakinlah ini yang terbaik untuk kamu dan dia.” Aku menggeleng lemah, walau Yuka tidak akan pernah bisa melihatnya. “ Aku tidak akan pernah sanggup Ka…” Rintihku. Kudengar Yuka menghela nafas. “Semua butuh proses Han, sekarang memang belum bisa, tapi nanti! Semua pasti terobati. Jangan jadi wanita cengeng, aku tau kamu bukan orang seperti itu! Ayolah Han… wake up! Dunia ngga cuma untuk seorang Raymond!” Aku menangis lagi. Aku memeluk lututku, bergetar. Masih terasa jelas semua perkataan laki laki itu di telingaku dua minggu yang lalu. Dan masih mampu meruntuhkan semua jerih payahku untuk segera bangkit dari rasa sakit ini. Aku sudah tidak mampu untuk mendengar suara Yuka yang aku tahu tidak akan pernah bosan memberiku semangat, memberiku dukungan, dan yang aku tahu sangat menyayangiku, namun yang kubutuhkan saat ini hanya lah laki laki itu! Raymond Satya Negara!

******

“Kurang tidur lagi?” Diaz menatapku setelah meletakkan majalah yang sedari tadi di bacanya. Aku menghempaskan badan yang terus terang mulai terasa sakit beberapa hari ini. Aku tidak menyahuti perkataannya, ntah lah aku seperti orang yang sama sekali tidak ingin berbicara dengan siapapun saat ini. Aku seperti kehilangan kalimat untuk berkata kata seperti kehidupanku beberapa minggu lalu, sebelum kejadian ‘naas’ yang menimpa hatiku. Aku memanggil pelayan café, dan memesan capucino panas. Sekilas pandanganku berbentur dengan Diaz yang menatapku tajam. Aku mengalihkan pandangan keluar café, menatapi orang orang yang lalu lalang. Gerimis mulai turun. Beberapa orang mulai berlari mencari tempat berteduh, dan beberapa pengendara sepeda motor menghentikan kendaraan mereka di teras café untuk menghindari hujan yang sepertinya tidak akan hanya gerimis. Dan lagi, aku merasakan perih itu di dadaku, nafasku mulai terasa berat. Bayangan bayangan itu muncul lagi tanpa permisi, kembali menggerogoti relung jiwa ku yang sudah lebur. Suasana melankolis ini benar benar bisa membunuhku, aku mungkin bisa mati berdiri dengan semua alur cerita yang seakan akan mentertawai kelukaanku. Aku bangkit dari dudukku, dan tanpa sengaja bertabrakan dengan pelayan café yang sedang ingin meletakkan pesananku di atas meja. Cangkir dan isinya itu pun terberai di lantai. Sontak aku memandang pelayan café yang juga memandangku. “Maaf..aku akan ganti kerugiannya.” Aku mengeluarkan dompet dan menyodorkan selembar uang seratus ribuan. Dan segera berlalu. “Han!” Diaz berteriak, tapi aku sedang tidak ingin bersama siapapun, aku bahkan merasa tidak sanggup berhadapan dengan siapapun saat ini, aku cuma butuh mengeluarkan rasa sakit ini, aku butuh melepaskan rasa sesak yang seakan akan membungkam mulutku untuk berteriak, bahwa INI SANGAT TIDAK ADIL! Aku mencintainya, sangat mencintainya melebihi apapun yang ada dalam kehidupanku, dan aku tahu dia juga merasakan hal yang sama. Dia adalah sayap dalam kehidupanku, dia adalah laki laki yang mampu membuatku merasa lengkap, membuatku selalu bersyukur karena telah memiliki cinta yang sangat indah dari dirinya. “Aku tidak tahu bagaimana harus hidup kalau kamu tidak ada bersamaku..” Masih terngiang jelas kata kata indahnya, yang meluruhkan semua keegoisanku, meluruhkan semua sikap keras kepalaku.

“Kita harus yakin bisa menjalani kehidupan ini bersama sama Han, kita tahu kita berdua punya cinta yang kuat. Kalau kamu ragu, itu sudah mengurangi kekuatan doa doa kita.” Aku masih ingat tatapannya saat itu, saat aku dan dirinya di ambang putus asa, untuk mempertahankan cinta milik kami dari keegoisan orang orang sekitar, dari cemoohan orang orang dekat, yang menganggap cinta kami hanyalah cerita sesaat yang tidak layak untuk di perjuangkan. Aku juga masih bisa merasakan hangat hembusan nafasnya di wajahku, masih merasakan aroma tubuhnya saat memelukku. Aku masih bisa merasakan itu semua. Bagaimana mungkin dia bisa melepaskan semuanya begitu saja? Bagaimana bisa dia bilang kalau perpisahan ini jalan terbaik untuk ku, untuk kebahagiaanku, sementara dia tahu kebahagiaanku itu adalah bersama dirinya. Hidup bersama dengannya! Dengan Raymond Satya Negara! Dan aku tidak butuh apapun lagi selain dirinya!

Dengan seluruh badan yang basah oleh air hujan, aku membenamkan tubuhku di tempat tidur, dan kembali tersedu. Aku tidak perduli dengan kasur yang basah dan yang pasti akan susah kering di musim penghujan ini, aku tidak perduli dengan deringan ponsel yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi. Aku bahkan tidak ingin tahu siapa yang berulang kali menelefonku. Mungkin itu adalah sahabat sahabatku yang mungkin saat ini merasa perihatin dengan kisah cinta ku yang kandas begitu saja, setelah mati matian berusaha mempertahankannya. Tiba tiba aku sangat benci mengingat tatapan beberapa orang teman yang sempat kutemui dan yang tahu tentang kisah cintaku, yang aku tidak tahu dari mana mereka bisa mendengarnya. Tatapan iba, seakan akan mereka berkata

“Malangnya nasib kamu Han, di campakkan begitu saja” Atau..

“Setelah sekian lama, ini yang terjadi? Apa yang sudah kamu lakukan sampai Raymond rela berpaling?” Atau…

“Ah! Kamu memang tidak pantas bersama Raymond, dia berhak dapat yang lebih baik dari kamu!” Aku memukul bantal berkali kali, berusaha mengusir semua ilusi itu. Tangisanku terasa tidak bisa berhenti. Rasa sakit di dada,rasa mual dan kepala serasa mau pecah bersatu didalam tubuhku. Aku mengeram memeluk perutku, aku benar benar sakit! Laki laki itu benar benar mampu membunuhku secara perlahan! “Han! Hanny….!!” Suara gedoran di pintu, membuatku menggeliat. Suara Diaz. Dia pasti mengikutiku sampai kerumah. “Han, buka pintunya..!” Aku beringsut, menutup wajahku lalu kemudian mengusapnya begitu saja. Aku tidak bisa pura pura kuat di hadapan semua orang, aku akan tunjukkan betapa aku hancur di tinggalkan laki laki itu, agar dia tahu dan mungkin akan berfikir untuk kambali padaku. “Masuklah…” Aku membuka pintu dan meninggalkan Diaz begitu saja di depan. Aku kembali kekasurku dan meringkuk. Diaz mengikutiku, terdengar helaan nafasnya. “Han..” Di sentuhnya pergelangan tanganku, aku gemetar. Aku membayangkan kalau laki laki itu yang menyentuhku, lalu memelukku eratdan berkata, “Ini hanya mimpi buruk sayang, bangunlah! Aku masih tetap di sini bersamamu. Masih milikmu.” Aku menangis lagi. “Han! Jangan menyiksa dirimu seperti ini. Semua sudah terjadi, dan mungkin ini memang sudah seharusnya terjadi! Kamu tidak bisa terus menerus seperti ini Han, kamu punya hidup yang harus kamu lanjutkan.”Diaz memutar tubuhku, menatap ku tajam. Di mata itu aku melihat ada rasa geram, mungkin dia sudah mulai lelah menghadapi diriku yang semakin kacau ini. Aku menepis tangannya dari bahuku. “Pergilah Yaz, aku bisa sendiri menghadapi ini semua…” Suaraku serak, kerongkonganku terasa sakit ketika aku mengeluarkan suara. Mungkin ini efek dari kegiatan menangisku beberapa minggu ini. Diaz menarik nafas lagi, aku memandangnya. “Maaf, aku sudah membuatmu repot beberapa minggu ini, helaan nafasmu baru saja membuatku sadar kalau kamu pasti sangat lelah memberiku pertolongan.” Kening Diaz mengernyit. “Aku tahu, aku sudah membuat semua orang merasa terbebani dengan kisahku, aku terlalu cengeng menghadapi semua ini. Tapi aku bisa menjalani semuanya, pasti bisa…” Air mataku menetes lagi. Aahh…..aku memang benar benar lemah karena laki laki itu. Diaz mengulurkan tangannya menyentuh rambut di keningku. Dan dalam sekejap aku memeluk tubuhnya, aku menangis lagi , kali ini kurasakan seluruh tubuhku terguncang, aku menangis sejadi jadinya. “Sudahlah Han…” Diaz membenamkan kepalaku di dadanya. Aku bisa merasakan pelukannya teramat erat. Dan.. aku berharap Diaz adalah laki laki itu….

******

“Tumben?” Pak Bim memandangku setelah membaca surat permohonan cutiku. “Iya Pak, saya sedang butuh liburan kali ini.” Lelaki setengah baya itu tersenyum bijak. “Ada masalah?” Aku menggeleng, berusaha mengukir seulas senyum manis. “Lagi pula cuti tahunan saya belum diambil pak, jadi sayang kalau nanti hangus.” Selorohku. Dikantor tempatku mengais rejeki ini memang di berlakukan cuti tahunan untuk setiap pekerjanya, dan apa bila dalam tahun itu tidak di ambil, maka tidak bisa di gabung di tahun berikutnya. “Mau kemana?” Aku menarik nafas. Selama ini aku selalu suka ngobrol dengan atasanku ini, karena beliau memang orang yang sangat enak untuk diajak bertukar fikiran, tapi kali ini aku merasa tidak nyaman dengan pertanyaan pertanyaannya yang membuatku seperti tertahan di ruangan kosong yang hampa. “Belum tahu pak, mungkin saya akan pulang kampung.” Aku melihat tatapan Pak Bim penuh tanda tanya. Ah! Biar saja semua orang bingung dengan sikapku, karena aku juga sedang tidak tahu harus bersikap bagaimana saat ini. “Okeh.” Pak Bim menandatangani surat permohonan cutiku, lalu menyerahkannya kembali padaku. Aku tersenyum dan bangkit dari duduk. “Hanny…” Pak Bim memanggilku sebelum aku keluar dari ruangannya. “Ya Pak?”

“Setiap masalah pasti ada penyelesaiannya.” Ujar nya sambil tersenyum

“Terlepas seberat apapun masalah itu, yakinlah kalau sesudahnya pasti semua terasa lebih indah.” Aku mengangguk. Lalu keluar dari ruangan full ac itu dengan perasaan gamang. Sekacau apakah aku, sampai sampai setiap orang yang kutemui pasti bisa menduga kalau aku sedang di rudung kesedihan mendalam? Ku gigit bibirku, untuk membantuku agar tidak menangis lagi, ini adalah cara paling ampuh yang sudah kurasakan selama berminggu minggu masa patah hatiku.

“Bagaimana?” Lucy menghampiriku di meja kerja. Aku cuma mengangkat sekilas surat cuti ku yang baru saja di approve. Lucy bertepuk tangan kecil. Senyum nya yang ceria membuatku meringis. Aku merasa sudah lama tidak bisa tersenyum seperti itu lagi. “Having fun ya darling, semoga liburan kali ini bisa membantumu mengatasi semua kesedihanmu.” Lucy menggenggam jemariku. Aihh…teman sekantor ku ini memang terkadang lebay, tapi dia adalah teman yang sangat menyenangkan. Dia mampu menghidupkan suasana kantor yang bermuram durja ketika seluruh isi nya kena omelan sang Manajer Diktator yang merasa kurang puas dengan kinerja kami, atau ketika target tidak terpenuhi. Lucy mampu menghebohkan suasana dinner yang tadi nya hanya terkesan dinner biasa dengan teman sekantor dengan ocehan ocehan ringannya. Dan yang tak kalah penting dia adalah bintangnya kalau kami pergi karaoke untuk sejenak melepas penat. Suaranya yang bagus, dan penghayatannya ketika bernyanyi tidak kalah dengan penyanyi senior sekelas Ruth Sahanaya. Kami pernah mendaftarkannya diam diam untuk ajang pencari bakat dalam menyanyi karena kami yakin dia pasti mampu untuk menjadi pemenang. Tapi ketika dirinya terdaftar sebagai finalis, Lucy sama sekali tidak berniat mengikuti lomba tersebut, dengan alasan. Dia sudah merasa cukup bisa bernyanyi bersama teman temannya di karaoke, dia tidak perlu mengikuti lomba apapun untuk menaikkan popularitasnya, ataupun untuk membuktikan kalau dia bisa jadi yang terbaik. Dia sudah berbahagia dengan apa yang sudah di terima nya saat ini. Benar benar orang yang sangat bersyukur dalam hidupnya, dia tidak pernah neko neko dalam menjalani kehidupannya. Baginya lakukan yang terbaik, dan apa bila ada yang tidak suka itu sudah hukum alam katanya.

“Hei!” Aku tersentak.

“Hah?” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Lucy menggeleng gelengkan kepalanya. “Kamu sudah terlalu banyak menghabiskan waktumu dengan melamun darling, jangan dibiasakan. Orang melamun itu gampang di rasuki fikiran fikiran tidak baik.” Aku cuma tersenyum. Lalu menghidupkan komputer ku. Hari ini sebelum hari cuti ku, aku harus menyelesaikan beberapa laporan yang kemarin sempat tertunda gara gara suasana hatiku yang sangat memecah konsentrasi. Dan sepertinya aku harus lembur, begitu melihat deretan data yang yang harus ku benahi.

“Lu..” Aku beralih memandang Lucy. Dia masih duduk di sampingku sambil membersihkan kuku kuku lentiknya. “Kamu mau temani aku lembur hari ini?” pintaku. Lucy langsung mengangguk “Siap!” Ujarnya semangat.

“Tapi pulang kantor kamu harus traktir aku makan ya.” Kerlingnya. Aku mengangkat jempol. Aku akan melakukan apapun untuk orang yang bersedia menemaniku saat ini, karena aku menjadi orang yang sangat takut sendirian. Aku mulai takut dengan bayangan bayangan yang sudah terlalu sering muncul di kepalaku. Aku mulai takut merasakan sakit ketika ingat kata katanya, aku mulai takut ketika harus merasakan halusinasi sentuhannya di tubuhku, takut kalau aku terdiam dan tidak bisa berfikir sama sekali dan hanya membuatku seperti orang tolol yang kehilangan barang kesayangannya tapi tidak tahu harus berbuat apa. Ketakutan ini membuatku jadi orang yang benar benar lemah dan kacau.

******

“Bapak sakit, pulanglah…” Suara serak di seberang sana membuatku seperti berhenti bernafas. Sejenak rasa sakit yang sedari tadi mengisi rongga tubuhku terasa makin membabi buta. “Sakit..???” Hanya itu yang keluar dari mulutku.

“Iya, jantungnya kambuh lagi.” Penjelasan Lanny adikku terdengar seperti desingan peluru yang siap mengenai kening sebelah kananku di mana ponsel ku bertengger. “Oke, nanti sore aku akan pulang.” Ujarku, dan segera mematikan telefonku. Aku menatap layar monitor yang berisi laporan yang harus kuselesaikan hari ini, dan bayangan Bapak yang sedang sakit, dan tiba tiba bayangan laki laki itu ikut muncul di layar monitorku. Bayangan itu memperlihatkan dia sedang bermesraan dengan wanita barunya, seakan akan mentertawakan kebodohanku selama ini karena terlalu mencintainya, karena terlalu menaruh harapan padanya. Dan bayangan kalau seandainya dia masih milikku, mungkin saat ini aku sudah menelefonnya dan mengungkapkan kesedihanku ketika mendengar Bapak sakit. Dan dia akan menenangkanku seperti biasanya. Memberiku semangat, memberiku kekuatan untuk tetap tegar walau apapun yang terjadi. Tapi tiba tiba semua bayangan itu mengabur. Aku mengerjapkan mata, kembali menangis. Aku menelungkupkan kepalaku diatas meja, kembali terisak. Tuhaaannnn….kenapa aku harus menghadapi semua ini??? Disaat aku masih sangat berduka karena patah hati, di saat yang sama aku harus mendengar kabar kalau Bapak sedang sakit. Bagaimana aku harus berhadapan dengan keluargaku? Terutama Bapak? Apa yang harus kukatakan ketika Bapak menanyakan laki laki itu lagi?? Bapak sudah terlanjur menyukai laki laki itu, Bapak sudah sangat mempercayakan diriku kepada laki laki itu. Dan adik adikku?? Aaahhh…. Bagaimana aku harus mengatakan pada mereka kalau kakak mereka ini sedang rudung kesedihan karena di campakkan begitu saja oleh laki laki yang selama ini terlihat sangat baik di depan mereka.Aku kembali menegakkan badan, menyusut hidungku dan membersihkan sisa sisa air mata di pipi ku dengan tissue. Aku harus bisa menghadapi ini semua, laki laki itu, tidak akan membuatku jatuh lebih dalam lagi. Dia sudah cukup memporak porandakan sebagian episode kehidupanku. Dan tidak akan kubiarkan seluruh hidupku hanya untuk menangisi kepergiannya. Aku merapikan rambut dengan jari, bagaimana pun aku harus menyelesaikan pekerjaan ini, sebelum masa cutiku 5 hari lagi. Aku butuh seseorang untuk membantuku. Mungkin Lucy masih akan berbaik hati menolongku. Aku bersiap bangkit dari duduk tapi seketika darahku serasa berhenti mengalir, ketika mendapati sosok yang sangar,yang sangat di hindari oleh siapapun untuk bertemu atau berpapasan dengannya di penjuru kantor ini sedang berdiri tak jauh dari meja kerja ku, melipat tangan di depan dadanya dan menatapku mungkin dengan tatapan tajam di balik kaca mata minusnya. Apakah dia sempat melihat kekacauanku beberapa saat tadi? Oh Tuhanku…, jangan biarkan dia menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan kata kata pedasnya untukku, karena aku tidak akan sanggup, aku mungkin akan pingsan di hadapannya kalau hal itu sampai terjadi, karena selain aku sudah tidak makan dua hari ini yang membuat kondisi badanku lemah, aku juga sudah tidak sanggup menghadapi hal hal yang mungkin membuat hatiku sakit. Aku masih berdiri mematung, aku bingung harus berbuat apa, Manajer diktator itu menghampiriku. Setiap langkahnya bagaikan bunyi dentuman yang siap meledakkanku. Aku menggigit bibir ku. Ah Tuhan…jangan biarkan aku menangis di depan orang ini, karena aku tidak mungkin membiarkan diriku jadi bahan ledekannya seumur hidup di kantor ini. Aku menunduk, sebenarnya aku bisa saja langsung berlari menghindar, peduli setan dengan sikap tidak sopan, tapi kekuatan ku untuk melangkah sama sekali tidak ada. Dia sudah berdiri dihadapanku terpisah hanya beberapa senti, aku jengah. Kenapa dia harus berdiri sedekat ini? Apa mau nya? Aku menengadahkan kepala, tatapan matanya tidak setajam yang kukira, dan di sana tidak terlihat sebuah kemarahan atau tatapan kekesalan. Tangannya terulur, menyentuh ujung pipi kiriku. Aku tersentak. Belum sempat aku mengeluarkan kata kata, dia sudah mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan menyodorkan kepadaku. Aku menatap nya bingung.

“Cuci muka, kamu terlihat sangat kusut.” Aku masih menatapnya. Dia meraih jemariku lalu meletakkan sapu tangan itu dalam genggamanku.

“Banyak yang lebih penting harus kamu jalani saat ini.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapanku. Hah? Bagaimana mungkin? dia, seorang Manajer yang selama ini terkenal sangat diktator, sangat menyebalkan dan sangat tidak bisa diajak kompromi bisa bersikap sedemikian manis padaku? Masih jelas di ingatan semua karyawan di kantor ini, ketika setahun yang lalu, Demmy anak bagian accounting kepergok menangis di meja nya sambil curhat dengan beberapa karyawan wanita karena putus cinta. Dan dia berteriak lantang, mengatakan kalau kantor ini bukan coffee shop tempat untuk berkeluh kesah. Saat bekerja tidak boleh bawa masalah pribadi. Ya istilahnya masalah pribadi mu itu yaa..derita lo! Dan sejak saat itu, tidak ada seorang pun yang berani berkerumun atau sekedar iseng menghampiri meja kerja karyawan lain kalau dia sedang ada di kantor, bisa bisa diteriakin lagi dengan semena mena olehnya. Demmy tidak cuma mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan saat itu saja, setelah kejadian itu pun, si manajer diktator itu masih sering mengejeknya dengan perkataan. “Dasar wanita manja! Kamu sudah terbiasa ya menangis di depan semua orang?!” Yang akhirnya membuat Demmy tidak kuat dan memilih resign. Saat itu banyak sumpah serapah yang di lontarkan seisi kantor. Dia seperti orang yang sudah mati rasa, tidak punya empati sama sekali. Prihatin kek, namanya juga orang sedang putus cinta. Apa tidak bisa bersedih? Aku atau siapapun tidak pernah memilih untuk merasakan kelukaan seperti yang saat ini kualami. Tapi dia,memang sama sekali tidak punya perasaan, ketika mendengar Demmy resign pun, apalagi dengan isu isu kalau itu di sebabkan oleh perlakuannya, dia sama sekali tidak merasa berdosa. Dia bahkan berkata “Akhirnya, wanita manja itu tau diri juga.” Whats..??? Tau Diri Katanya??? Mestinya dia dong yang tau diri, telah merusak masa depan orang lain dengan perangai dan perkataannya yang sama sekali tidak punya filter! Tapi hari ini, perangai sangar dan tidak punya empati itu sama sekali tidak terlihat. Kesambet apa ya dia? Atau.. ini cuma bagian dari permainannya sebelum mempermalukan aku setelah ini? Ah sudah lah! Aku harus segera mencari Lucy, untuk membantuku mengerjakan tugas tugas ini, dari pada memikirkan manejer itu hanya buang buang tenaga dan waktuku. Lagi pula siapa sih dia? Deg! Kata kata itu seperti menghujamku lagi dengan belati yang teramat tipis tapi tajam. Pelan tapi pasti. Kata kata itu kemarin kudengar dari Diaz, saat berusaha menyadarkanku kalau aku tidak boleh terus menerus menangisi laki laki itu. Air mataku sia sia kalau hanya untuk laki laki pengecut! Itu kata nya. Aku meringis, rasa sakit itu masih terasa, aku segera mengangkat berkasku dan segera menemui Lucy sebelum aku kembali tersedu sedan di mejaku.

******

“Bagaimana keadaan bapak?” Aku mencium pipi Lanny.

“Sudah mendingan, cuma butuh istirahat total.”

“Ohh…” Aku masuk kedalam kamar Bapak, lelaki kebanggaan kami itu pun sedang terlelap. Tubuhnya yang terlihat agak kurusan, wajah yang tidak di cukur membuat Bapak kelihatan lebih tua. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh, Bapak sakit sudah merupakan kesedihan untuk keluarga ini, aku tidak akan menambah kesedihan lagi dengan kecengenganku hanya karena di tinggal pergi laki laki itu. Tapi untuk mengatakan yang sejujurnya pun saat ini bukan saat yang tepat. Biar lah nanti kalau keadaan sudah membaik dan aku juga sudah bisa menerima kenyataan ini aku akan menceritakan semuanya. “Jadi ambil cuti?” Tanya Lanny, sambil membereskan tempat tidurku. Kemarin, aku memang sudah memberitahu dirinya melalui telefon kalau aku akan cuti. Aku mengangguk. “Ngga apa apa kan Lan?” Lanny tersenyum, dan menggeleng “Kebanyakan lembur ya? Wajah Kakak kusut begitu” Aku menatap wajahku di cermin. Dalam hati meringis. Ini semua gara gara laki laki itu Lan, dia yang membuatku menangis setiap malam dan pagi harinya harus berjuang dengan mengopres mata agar tidak kelihatan bengkak ketika tiba di kantor. Tapi ternyata efeknya tidak semanjur yang di katakan semua orang. Aku meraba pipiku, kulitnya terasa kasar dan kusam, kantung mata makin terlihat jelas. Ternyata aku sudah sangat buruk sejak hari itu. “Ngga usah khawatir dengan Bapak.” Ujar Lanny lagi seakan akan bisa menebak isi kepalaku. “Aku cuma ngga enak sama kamu, selama ini kamu sendiri yang mengurus Bapak, dan sekarang ketika Bapak sakit pun aku malah pergi cuti.” Memang selama ini cuma Lanny yang tinggal dengan Bapak, karena aku bekerja di luar kota yang jarak tempuhnya 2 jam. Sehingga aku memilih untuk menjadi anak kos, dan pulang kerumah Bapak dua minggu sekali. “Memang sudah seharusnya seperti ini, lagi pula kalau memang butuh liburan pergi saja. Nanti malah buat kondisi badan makin ngga sehat. Cuti itu kan bisa merefresh semua apa yang sudah kita jalani.” Aku menatap Lanny, perkataannya baru saja seakan akan tahu dengan apa yang sedang ku alami. “Lan…”

“Ya?” Aku terdiam.Aku ingin menceritakan semuanya pada Lanny, tapi sisi hatiku yang lain menahanku untuk melakukan hal tersebut, karena mungkin belum saat nya Lanny tahu. Atau, aku sudah cukup merepotkan beberapa orang sahabatku beberapa minggu ini yang terus menerus memberiku dukungan tapi masih tetap membuatku tidak bergeming sama sekali, aku tidak ingin menambah daftar orang orang yang akan khawatir dengan keadaanku saat ini. Sudah cukup lah, sekarang aku yang harus menyelesaikan semuanya sendiri. “Ada apa?” Lanny menatapku. Aku menggeleng dan berusaha tersenyum “Terima kasih ya.” Ucapku tulus. Lanny hanya tergelak. “Ayo, kita makan malam dulu. Sebentar lagi mungkin Bapak bangun dan minum obat.” Aku mengangguk dan mengikuti Lanny menuju ruang makan. Dalam hati aku berdoa semoga masakan adik ku ini bisa menggugah selera makanku sehingga aku bisa makan lahap dan tidak perlu memuntahkannya kembali seperti hari hari sebelumnya.

******

Aku menatap wajahku di depan cermin. Pipi chubbyku terlihat agak tirus kata Lanny kemarin, lingkar hitam di mataku semakin terlihat jelas, seperti orang yang tidak tidur satu minggu. Aku mendesah, aku tidak pernah ingin seperti ini. Aku bukan wanita yang tidak memperdulikan penampilan, tapi semuanya jadi tidak berarti sejak hari itu. Aku memoles lip gloss ke bibir keringku. Malam ini aku harus menghadiri staff gathering, yang biasa di lakukan perusahaan tempatku bekerja 6 bulan sekali untuk meningkatkan kinerja karyawan, dan sekaligus pembagian bonus bagi karyawan yang dianggap telah memenuhi target, ataupun yang kinerja nya selama 6 bulan ini mengalami peningkatan. “Dandan yang cantik ya darling, siapa tahu ketemu pria ganteng dari divisi lain.” Pesan Lucy tadi siang sambil mengerlipkan matanya.Lagi lagi aku mendesah, perasaan ini sudah terlalu sakit, dan tidak sempat untuk berfikir akan bertemu dengan lelaki lain selain lelaki ku itu. Tit..tit..tit… “Sori darling, aku ngga bisa jemput. Kita ketemu di lobby aja ya.” Sms dari Lucy. Aku membalas “Oke.” Jam sudah menunjukkan pukul 18.30 wib. Aku menyelesaikan dandananku, meraih tas tangan diatas meja rias, lalu bergegas keluar kamar. Tapi tatapanku berhenti pada foto yang masih terpajang manis di dinding kamar sebelah pintu. Ada aku dan laki laki itu. Berpelukan mesra. Dan sekejap saja, kepalaku langsung di penuhi dengan berbagai gambaran gambaran seperti puzzle yang setiap puingnya berisi tentang cerita indah kami, masa masa tidak pernah ada kata perpisahan. Ketika berpelukan erat yang seakan akan saling menyalurkan kekuatan untuk tetap bertahan. 7 tahun…semuanya terangkum dalam puzzle puzzle itu, ketika pertama bertemu, mulai menjalin persahabatan dan ketika saling jatuh cinta. Ketika pertama kali aku di perkenalkan di dalam keluarga besarnya, ketika kami sangat bangga mengungkapkan kalau kami saling mencintai, ketika hari hari yang selalu diisi dengan ungkapan cinta, dan ketika untuk pertama kali nya kami di pisahkan oleh jarak, karena dia di terima bekerja di kota Balikpapan. Saat itu tidak ada rasa khawatir, karena kami yakin tidak akan pernah terpisahkan walaupun telah terbentang jarak diantara kami, dan saat saat ketika dia pulang, saat melepas semua kerinduan. Tidak ada yang berubah, dia tetap Raymond ku yang dulu. hangat dan selalu penuh cinta. Dan tiba tiba aku merasa tidak ada yang salah dalam hubungan kami, tidak ada alasan yang bisa membuatnya harus berpaling dariku! tidak ada alasan yang menunjukkan kalau dia tidak pernah tidak mencintaiku. Lalu kenapa dia bisa berbuat seenaknya seperti saat ini? Kenapa dia bisa dengan ringannya mengucapkan kata perpisahan untuk hubungan selama 7 tahun hanya melalui telefon? Apa dia sama sekali tidak punya keberanian untuk pulang dan berhadapan langsung denganku? Apa memang aku ini sebenarnya sangat tidak berarti baginya, sehingga untuk berucap selamat tinggal pun dia memperlakukan diriku sama seperti mengucapkan selamat tinggal kepada orang lain? Atau sepengecut itukah dia??? Prang..!!! aku melempar bingkai foto itu dengan tas tangan yang ada di genggamanku. Bingkainya jatuh dan pecah. Aku hanya berdiri mematung, memandang serpihan kaca itu. Di dalamnya masih tergambar jelas wajahku dan wajah laki laki itu masih berpelukan mesra dan tersenyum bahagia. Ku tarik nafas, ntah apa yang saat ini ada dalam kepalaku, aku hanya menunduk, mengambil tas tanganku, mengibaskannya dari serpihan kaca yang menempel lalu bergegas meninggalkan kamar, meninggalkan pecahan bingkai kaca itu begitu saja.

“Aduuh… aku fikir kamu tidak jadi datang!” Lucy menyambutku di depan lobby hotel tempat acara akan di selenggarakan. Aku tersenyum tipis. Lucy menggandengku memasuki ruangan yang sudah terlihat ramai. Alunan music jazz yang di bawakan oleh penyanyi perempuan diatas panggung itu, sama sekali tidak menarik perhatianku. Ada sesuatu di dalam kepalaku yang sedang berfikir keras. “Kita ambil makanan dulu ya.” Aku menggeleng.

“Aku belum lapar Lu, aku mau duduk saja.” Aku mempersilahkan Lucy untuk mengambil makanan, sementara aku mencari kursi yang masih kosong di sudut ruangan. aku sedang berusaha berkonsentrasi dengan gejolak yang ada di kepalaku. Aku sudah tidak sabar menunggu besok pagi, dalam hati aku tersenyum. Tapi sisi hatiku yang lain berontak seakan akan berkata, ini tidak akan berhasil Hanny! Aku melambai pada waiters yang membawa minuman. Aku mengambil segelas, meneguk perlahan. Hmm..sedikit beralkohol, tapi aku bisa menikmatinya. Tidak meringis menahan rasa pahit seperti biasanya. Aku meneguk lagi sampai habis, lalu mengambil segelas lagi dari nampan sang waiters yang menatapku penuh tanda tanya. “Terima kasih.” Ujarku ringan, seperti memberi aba aba agar segera berlalu dari hadapanku. Tepuk tangan riuh mengumandang di seluruh ruangan ketika sang MC mempersilahkan Piere Amano Marketing Manager untuk bernyanyi. Beberapa orang yang ada didekatku terdengar berbisik bisik, mereka adalah karyawan yang satu divisi denganku. “Apa dia beneran bisa nyanyi?” Itu suara Dilla.

“Kenapa selama ini kita ngga pernah tahu ya? Tampang sangar begitu bisa nyanyi apa?” Aku memandang teman temanku itu.

“Kamu percaya dia bisa nyanyi Han?” Salah seorang dari mereka menoleh dan bertanya padaku. Aku cuma angkat bahu. Apa peduliku manajer itu bisa nyanyi atau tidak. Aku saja sedang tidak perduli dengan diriku sendiri. Batinku.

“Hei!” Lucy menepuk bahuku. di letakkannya piring yang berisi makanan di atas meja, lalu mengarahkan pandangan ke atas panggung yang tidak begitu besar. “Suara nya pasti bagus.” Ujar Lucy.

“Bagaimana menurutmu?” Aku menggeleng. Dan beberapa saat kemudian terdengar iringan musik mengalunkan lagu Kenangan Terindah yang di populerkan oleh Band Samsons. Seperti ada yang menohok ulu hatiku, ketika mendengar suara Manajer yang bernama Piere Amano itu menyanyikan bait demi bait.

“Han…” Lucy merangkul pundakku. Ah! Tanpa sadar aku menangis lagi. Dasar Manajer brengsek! Dia benar benar mengacaukan lagi hatiku dengan nyanyiannya itu. “Aku mau ke toilet.” Aku bergegas meninggalkan Lucy dan menuju toilet di ujung ruangan, mudah mudahan di kamar mandi aku tidak perlu mendengar senandung lagu yang sangat menyayat hatiku itu. Aku masih tidak rela melepaskan laki laki itu untuk jadi kenangan dalam hidupku. Aku masih tidak bisa terima dengan apa yang sudah di perbuatnya padaku hampir tiga minggu ini. Di kamar mandi aku menangis lagi. menangisi semua yang kurasakan. Beberapa rekan wanita yang mungkin dari divisi lain yang ada di kamar mandi sempat memandang ku heran. Tapi aku sudah tidak perduli, aku hanya ingin menangis. Mungkin juga sekaligus untuk mengasihani diriku sendiri. Kringgg….. Lucy! “Halo…” Suaraku serak. “Ngapain di kamar mandi Han?!” Suara nya terdengar melengking, mungkin karena takut tidak kedengaran karena musik yang ada di ruangan itu sudah berganti dengan musik yang hingar bingar. “Pipis!” Jawabkusekenanya. “Ayo buruan keluar. Sebentar lagi mau pembagian door prize nya.” Aku tidak berminat sama sekali Lu! Ujarku dalam hati. Aku hanya ingin pulang dan tidur. Dan segera berangkat ke tujuan ku besok pagi. Tapi membayangkan kemungkinan yang akan terjadi besok membuat perutku serasa melilit dan mual. Aku memegang pilar kamar mandi, dingin. Memandang wajahku di cermin yang aku yakin sangat pucat. Kepalaku mulai terasa berat. Ah, jangan lagi Tuhaaannn… aku sudah cukup tersiksa dengan kegiatan mengeluarkan isi perutku belakangan ini, aku benar benar tidak sanggup lagi. Aku letih! Dan seisi ruangan tiba tiba serasa berputar dan gelap….

******

“Kode booking RCHJKG, atas nama Hanny Damayanti. Minta di reschedule ya mbak.” Sayup terdengar suara agak berat tak jauh dari tempatku. “Ya, belum tahu akan berangkat kapan lagi. Nanti kalau sudah pasti saya akan telefon mbak. Terima kasih…” Aku berusaha membuka mata, kepalaku masih terasa sakit. Aku ingat, mungkin aku pingsan di kamar mandi, tapi aku tidak ingat sudah berapa lama. Dan mungkin saat ini aku sedang berada di rumah sakit. Betapa malangnya nasibku, pasti sewaktu aku pingsan banyak yang mentertawakan ataupun memandang iba padaku. Tapi ketika mataku mulai terbuka, dan tidak berkunang kunang lagi, aku merasa kalau ruangan ini bukan seperti rumah sakit, tidak ada bau obat seperti biasanya. Tempat tidurnya sangat bagus untuk ukuran sebuah rumah sakit mahal sekalipun, dekorasi kamar, meja rias, tv plasma, wall paper. Dan Piere Amano..!!! Aku sontak terbangun ketika melihat sosoknya berdiritak jauh dari tempat ku. Kepalaku seperti di timpa beberapa bongkahan batu karena bangun tiba tiba. “Ougghh…”Aku meringis.Lelaki itu menoleh. Meletakkan ponselnya di meja dan berjalan kearahku. Di benakku masih penuh tanda tanya, kenapa aku ada di ruangan ini dan bersama dia? Lalu kemana Lucy? Atau..jangan jangan, lelaki ini yang menemukanku di kamar mandi lalu diam diam membawaku ke kamar hotel, ya aku yakin ini adalah kamar hotel tempat gathering kantor di laksanakan. Mungkin dia memang bukan orang baik, apa lagi mengingat predikatnya di kantor yang tidak punya perasaan, kemungkinan lain dia adalah seorang psikopat atau pembunuh berdarah dingin yang sedang beruntung menemukan korbannya tengah pingsan di kamar mandi. Kepalaku kembali berdenyut. Aku mencari tasku, ponsel..ya aku butuh ponsel ku. Mungkin saat ini Lucy sedang sibuk mencari ku, aku harus menelefonnya dan minta tolong agar aku dikeluarkan dari ruangan ini. Walaupun diriku saat ini sedang hancur, aku tidak pernah berniat untuk jadi korban seorang psikopat!

“Mencari ini?” Aku menengadah. Dia menyodorkan tasku, aku langsung merebutnya dan mengubek ubek isinya. Nah ketemu! Ponsel mungil itu akhirnya di genggamanku. Aku menekan nomer Lucy, menunggu beberapa saat. Aku merasa keringat dingin mulai membasahi jidatku. Tidak terdengar nada sambung. Aku menekan sekali lagi, sekarang malah tidak aktif. Apa apaan ini? Apa Lucy sama sekali tidak merasa telah kehilangan diriku di acara itu? Atau dia memang tidak perduli padaku? Aku meremas ponsel dengan geram. Seandainya bisa, aku sangat ingin menelefon laki laki ku itu dan minta tolong padanya saat ini, tapi apa dia masih mau perduli? Apa dia masih akan menanggapi segala perkataanku? Atau jangan jangan dia akan mentertawakanku dan berkata “Sudah lah Han, jangan bertingkah seperti di dalam sinetron!”Gosh…jadi apa yang harus kulakukan sekarang? Aku memegang pelipisku, denyutan di kepala ku benar benar makin menjadi. Aku memberanikan diri menatap lelaki itu, dan sedikit kaget ketika dia hanya berdiri mengamatiku sambil melipat tangan di depan dadanya dan sepertinya melipat tangan adalah kebiasaannya. Kenapa dia menatapku seperti itu? Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Tatapan di balik kaca mata minusnya sama sekali tidak menunjukkan sesuatu.Mungkin ini adalah salah satu ekspresi pembunuh berdarah dingin. Serangkaian cerita mulai berputar putar di kepalaku, ntahlah, sejak peristiwa itu aku jadi gampang berhalusinasi. Aku membayangkan, dia akan mengambil pisau yang tajam yang tersembunyi di balik kemejanya, lalu menggoreskannya di pipiku, lalu leherku sampai darah menetes di semua tempat. Setelah itu dia akan memotong motong tubuhku menjadi beberapa bagian, lalu memasukkannya kedalam kotak, dan menyusun rapi. Hmmm.. kalau memang begitu sebelum dia melaksanakan niatnya aku akan melakukan premohonan terakhir, setiap potongan tubuhku itu di kirim saja ke alamat Raymond Satya Negara, agar dia tahu aku telah di habisi oleh seorang pembunuh, biarlah dia merasakan kepedihan yang kurasakan, biar lah dia merasakan kehilangan yang selama lamanya. Agar dia juga bisa merasakan kehancuran yang sempat kurasakan. Ya! Ide yang briliant! Kalau begitu aku siap di bantai kapan saja oleh orang sinting ini! Aku menatapnya lagi, kali ini tersenyum sinis. Dia mengernyit. “Tunggu apa lagi?” Tanya ku dengan suara parau. “Maksudmu..?”

“Ayo lakukan sekarang…” Aku bergerak duduk di sisi ranjang. Bersikap pasrah. Dia melangkah perlahan, aku sudah siap… batinku. Dia berdiri tepat di depan ku. Aroma tubuhnya sempat tercium. Aku menutup mata, menghitung detik detik terakhir kehidupanku, detik detik rasa sakitku. Sampai beberapa saat, tidak terjadi apapun. Hanya hening, fikirianku mulai menebak nebak apa yang sedang di lakukan laki laki itu ya? Aku mendengar langkah kaki menjauh, lalu mendekat lagi, hmm..mungkin inilah saatnya, mungkin dia sedang mempersiapkan alat eksekusinya. Menunggu lagi, dan tetap tidak terjadi sesuatu. Aku membuka mataku dan dia masih tetap bediri di depanku. Memandangiku seperti orang bingung.

“Kenapa tidak melakukannya sekarang?” Tanyaku

“Melakukan apa?”

“Bukannya kamu mau membunuhku? Atau bahkan mau memperkosa ku?” Matanya membelalak, lalu tawanya pecah seketika.

“Hahahaha….fikiran sinting!” Ujarnya di sela sela tawanya. Aku menatapnya.

“Apa sih yang ada di kepala mu saat ini heh?!” Jarinya mengetok keningku.

“Kamu terlalu banyak makan obat penenang, makanya punya fikiran gila seperti ini.” Obat? Dari mana dia tahu, tentang obat yang mulai akrab ku konsumsi setiap malam agar bisa terlelap? Dia mengeluarkan botol kecil dari saku celananya, menyodorkannya di depan hidungku. “Pesan Dokter, jangan di konsumsi lagi kalau kamu tidak mau mati sia sia.”

“Apa pedulimu.” Ujarku ketus.

“Aku tidak perduli sama sekali, itu cuma pilihan untukmu. Mau mati sia sia hanya karena kelebihan dosis obat penenang, atau mati karena memang Tuhan yang mencabut nyawamu.”

“Bagiku sama saja!” Aku memasukkan botol itu kedalam tasku.

“Ini tiket milikmu.” Dia menyodorkan lagi selembar kertas. Apa apaan ini? Kenapa dia mengambil semua yang menjadi privasiku?

“Apa yang kamu lakukan dengan tiketku?” aku panik, ketika ingat suara yang kudengar sewaktu bangun dari pingsan, yang mengatakan akan me reschedule jadwal keberangkatanku. Dia tidak punya hak sama sekali untuk mencampuri urusanku, dia bukan siapa siapa!

“Kamu bisa telefon call centre kalau sudah bisa berangkat, kapan saja.” Ujarnya tenang, sambil duduk di sofa yang ada tak jauh dari tempat tidur.

“Tapi aku harus berangkat hari ini…” Aku makin panik, aku sampai lupa ini adalah hari pertama cutiku, dan aku sudah merencanakan perjalanan yang mungkin akan mengubah luka hatiku. Aku meraih ponsel dan memeriksa jam berapa saat ini, ternyata sudah tengah hari! Apa? Tengah hari? Berarti aku pingsan hampir semalaman dan di temani oleh Manajer gila ini? Ooh no! aku tidak rela! Jangan jangan dia telah berbuat sesuatu padaku sewaktu aku pingsan, sontak aku memeriksa pakaianku, apa ada yang kurang. Ku dengar dia terkekeh lagi.

“Masih berfikiran macam macam ya?”

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Aku hanya membatal kan penerbanganmu tadi pagi.” Ya, seharusnya aku sudah berangkat tadi pukul 07.00, gara gara acara pingsan ini semua rencanaku jadi berantakan. “Balikpapan heh?” Aku membuang muka, ketika tatapannya seakan akan mulai menyelidik. Aku memasukkan tiket kedalam tas tanganku. Aku harus segera pulang dan bersiap siap. “Sebentar lagi Lucy akan datang menjemputmu.” Dia seperti tahu apa yang sedang ada di kepalaku. “Tunggu saja..” ujarnya lagi. Dan sebelum aku sempat beranjak. Pintu kamar terbuka. “Hanny darling…!!!” Lucy! Kemana saja dia? Kenapa dia tega meninggalkanku dengan lelaki ini?

“Aku tadi mengambil pakaian ganti untukmu.” Gadis itu menyerahkan bungkusan pakaian padaku, aku meraihnya. “Kenapa aku ada disini?” Tanyaku pada lucy

“Kamu pingsan darling, di kamar mandi. Ingat?” Aku mengangguk.

“Tapi kenapa tidak kerumah sakit?”

“Kalau kerumah sakit, kamu bisa meninggal di tengah jalan! Kondisi tubuhmu mengenaskan.” Piere amano yang menjawab. Nada suaranya sudah kembali seperti ketika berada di kantor.

“Aku tidak bertanya padamu!” Ujarku ketus.

“Hei…, justru kamu harus berterima kasih pada Pak Piere, dia yang mengangkatmu dari kamar mandi, dan menelefon dokter pribadinya untuk memeriksamu di sini.” Apa..? bisa baik juga ya lelaki ini?

“Terima kasih ya. Tolong tagihan berobatnya di potong gaji saya saja.” Lelaki itu hanya menatapku dalam diam, sesaat aku tidak mengerti apa arti tatapannya.

“Aku harus pulang Lu, aku harus berangkat nanti siang.” Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. “Aku sudah telefon Diaz, agar mengabarkan pada Yuka kalau kamu mungkin tidak jadi ke Bandung hari ini.” Kontan aku berbalik dan menatap Lucy, Piere Amano yang tadinya bersiap untuk pulang pun memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku menelan ludah, berdoa dalam hati agar lelaki itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Terima kasih Lu..” Suaraku pelan, sebelum benar benar masuk kamar mandi. Aku berusaha menghindari tatapan Piere. Dalam hati mengutuk, kenapa harus ada Piere Amano di saat saat seperti ini? Toh, selama 3 tahun bekerja di perusahaan yang di pimpin oleh Pak Bim yang notabene adalah pamannya, aku sama sekali tidak pernah berurusan dengannya. Atau tepatnya menghindari berurusan dengannya, karena perangainya yang blak blakan, walau kinerjanya terkenal sangat bagus dan disiplin. Selama ini bertegur sapa saja masih bisa di hitung dengan jari, lalu kenapa saat ini dia jadi orang yang sepertinya layak mencampuri urusan pribadi ku? Dia bukan sahabatku seperti Diaz atau Yuka atau Lucy. Aku bahkan bisa di bilang tidak mengenalnya selama ini, hanya mengenalnya sejauh Marketing Manajer, tidak lebih!

******

Aku menatap rangkaian awan yang menggumpal di luar jendela burung besi yang sebentar lagi akan mendarat, cuaca nya cukup cerah. Mungkin ini petanda baik untukku. Aku memasang sit belt mengikuti arahan sang pilot. Dan memejamkan mata, sembari berdoa. Semoga apa yang ku harapkan akan ku raih hari ini. Hempasan roda pesawat di landasan, tak urung membuatku mulai berkeringat. Inilah saatnya Hanny! Penumpang mulai berbenah, ketika pesawat telah benar benar berhenti. Aku menunggu agar bisa turun tanpa berdesakan. Walau sebenarnya keraguan mulai mengusik hatiku. “Terima kasih telah terbang bersama kami.” Pramugari tersenyum sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Aku hanya tersenyum dan menuruni tangga satu persatu dengan gemetar. Kenapa aku jadi tidak yakin begini? Kemana keberanian yang sudah ku kumpulkan sejak seminggu yang lalu? Sejak aku mengajukan permohonan cutiku? Aku mengeluarkan ponsel dan mengaktifkannya. Beberapa menit kemudian terdengar bunyi sms masuk. Diaz!“Han, kamu di mana? Yuka bilang kamu belum sampai Bandung!” lalu Yuka “Hanny, aku telefon berkali kali tidak aktif, kamu ada di mana? Aku sudah menunggu di bandara sejak tadi siang.” Maafkan aku….batinku terasa perih mengingat sahabat sahabatku itu. Mungkin ini adalah pilihan yang salah, tapi aku sangat ingin melakukannya.Kringgg….. Diaz menelefon! Ragu ku tekan tombol jawab. “Halo…” suaraku bergetar.

“Kamu dimana Han?” suara Diaz terdengar sangat khawatir.

“Aku…” ku telan ludah. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan di katakan Diaz kalau aku mengubah rute penerbanganku. “Han..??” Ah.. sudahlah,toh aku juga sudah sampai disini. “Aku..di Baikpapan Yaz…” suaraku pelan, aku berharap reaksi Diaz juga akan sekecil suaraku. “Apa? Kamu gila Han!” Ya, aku memang sudah gila Yaz, sejak Raymond memutuskan meninggalkan diriku.

“Untuk apa kamu di situ Han?” Ingin kujawab. Aku ingin menembak kepala laki laki itu Yaz, seandainya aku punya pistol caliber 9 mm, setelah itu aku akan menembak kepalaku sendiri. Agar kami bisa mati bersama dan tak terpisahkan lagi. Dia tidak akan di miliki oleh wanita lain selain diriku. “Pulang Han, lebih baik kamu pulang sekarang juga. Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri.” Aku menunduk menggeleng seorang diri. Dinding yang menjadi sandaran punggungku mulai terasa menyalurkan hawa dingin. “Aku sangat ingin bertemu dengannya….”

“Ya, tapi tidak sekarang!” Suara Diaz seperti menggelegar.

“Apa bedanya? Sekarang atau nanti? Aku hanya ingin memastikan kalau dia masih bisa memilih aku atau wanita yang ntah siapapun itu! Karena aku yakin, dia masih sangat mencintaiku Yaz!”

“Laki laki yang mencintaimu tidak akan pernahmenyakitimu Han! Dia tidak akan pernah meninggalkanmu! Ingat itu! Dan Raymond memilih meninggalkanmu, itu artinya dia tidak benar benar mencintaimu. Sadarlah!”

“Keputusan Raymond tidak sepenuhnya kesalahannya Yaz, mungkin aku yang terlalu memaksanya, aku yang membuatnya tertekan dengan tuntutan tuntutan yang dia belum siap!”

“Tidak ada kata tidak siap untuk menikahi wanita yang di cintai Han! Dia hanya laki laki pengecut, yang beralasan meninggalkanmu dan memilih untuk bersama wanita itu demi kebahagianmu. Itu hanya alas an untuk membenarkan perselingkuhannya!” “Cukup Yaz!” Jeritku. Beberapa orang yang lalu lalang di hall bandara menatapku dengan tatapan bingung. Aku berjalan menuju sudut ruangan, bagaimana pun juga, aku tidak boleh bertingkah seperti orang gila di kota yang baru pertama kali ku injak ini. Nafasku memburu, marah! Kenapa Diaz sangat tidak ingin aku bertemu Raymond? Kenapa sekarang Diaz sepertinya sangat membenci Raymond, tidak seperti pertama kali aku menyampaikan kabar putusnya aku dan Raymond. Saat itu dia hanya berusaha menenangkanku dan berkata “Mungkin ini hanya ujian untuk hubungan kalian Han, bersabarlah..” Lalu sekarang kenapa dia seperti orang yang kebakaran jenggot?

“Dia akan menikah Han…” Lirih… suara Diaz di seberang sana sangat lirih, kalau saja aku tidak sedang berkonsentrasi mungkin aku tidak akan mendengar apa yang telah di katakannya. Dan darahku berdesir perlahan. Mencoba mencerna kata kata Diaz. “Apa..??” Susah payah aku mengeluarkan satu kata itu.

“Raymond akan menikah…” Menikah? Lagi lagi aku menggelengkan kepala. Tidak yakin atau sebenarnya tidak mau percaya dengan apa yang di katakan Diaz.

“Dia akan menikah dalam beberapa hari ini Han…, maka dari itu pulanglah..” Pinta Diaz. “Tidak mungkin Yaz… secepat itu? Aku..aku…” Aku terduduk lemas di lantai. Secepat inikah laki laki terkasih ku itu bisa memutuskan untuk menikah dengan wanita lain? “Tidak mungkin….” Aku hanya mampu mengeluarkan kata kata itu, dan sama sekali tidak bisa bertahan untuk tidak menangis. “Han..dengar…” Diaz masih mencoba berkomunikasi denganku. “Oke! kamu tunggu di bandara, aku akan telefon Raymond sekarang juga.” Klik! Telefon mati. Aku memeluk lututku. Tergugu di sudut bandara yang mulai sepi, hatiku kembali didera rasa sakit, dan ini terasa teramat sakit. Di benakku hanya ada wajah laki laki ku itu, Raymond Satya Negara. Senyumnya, kehangatannya, kebahagian yang pernah di berikannya, cintanya. Semuanya itu begitu tulus, atau aku terlalu naïf untuk melihat kebohongannya selama ini? Kepura puraannya selama ini? Dan wanita itu, wanita yang sampai saat ini aku sendiri tidak mau tahu siapa dia, berhasil membuat Raymondku bertekuk lutut untuk menikah dengannya, dalam waktu yang sangat singkat? Apa yang sebenarnya telah di lakukan wanita itu pada laki laki ku? Aku masih terdiam di sudut ruangan ketika, sepasang kaki kokoh berdiri di hadapanku. Apakah ini Raymondku? Dia datang! Pasti datang untukku. Aku mendongak. “Piere..??!!!” Tangannya terulur meraih ku. Merangkulku dengan tangan kokohnya keluar Bandara dan masuk kedalam taksi. “Mau kemana? Aku menunggu Raymond!” Ronta ku.

“Dia tidak akan datang.” Ujarnya dingin. Menutup pintu taksi dan menginstruksikan sopir taksi menuju satu alamat. “Dia pasti datang, apa yang kamu lakukan heh? Diaz bilang dia pasti datang! Aku hanya ingin bertemu dengannya! Piere..!!!” Jeritku di dalam taksi. Tetapi lelaki ini hanya diam seribu bahasa. Tatapannya lurus kedepan. Sopir taksi sesekali mengamati kami dari kaca spion. Aku marah! Aku benci dengan lelaki ini! Apa sih mau nya? Kenapa dia menghalangiku untukbertemu dengan Raymond ku? Dan kenapa dia bisa muncul tiba tiba di kota Balikpapan ini? Bukan kah seharusnya dia ada di kantor saat ini? Mungkin sedang membuat presentasi atau mengomel panjang lebar karena tugas yang tidak sesuai. Kenapa dia harus selalu ada di saat aku sedang kalut?

“Ayo turun.” Dia mengulurkan tangannya setelah turun dari taksi. Aku menepisnya, dan ketika keluar dari taksi aku bersiap melarikan diri, tapi dia lebih sigap. Dengan cepat di raihnya tubuhku dalam dekapannya dan membawaku masuk kedalam hotel. “Jangan macam macam, kalau kamu tidak ingin di anggap mengganggu keamanan.” Bisiknya. Aku berusaha meronta. Aku tidak mau bersamanya, aku hanya ingin Raymondku. Setelah mengambil kunci di resepsionis, dia masih merangkulku menuju lantai tiga, di mana kamar yang di pesannya berada.

“Oke, sekarang terserah kamu mau apa!” Dia melepaskan rangkulannya setelah menutup pintu kamar. Plak! Aku menamparnya. Aku bahkan sangat ingin menamparnya berkali kali. “Kamu tidak berhak ikut campur dalam urusanku! Kamu bukan siapa siapa untukku!” Plak! Aku menamparnya sekali lagi. Telapak tanganku terasa perih. Dia hanya mengusap pipinya, lalu mengambil minuman mineral didalam lemari pendingin yang ada di sudut ruangan. Meneguk isinya sampai setengah. Dan dengan sikap tenang, dia duduk di tepi ranjang menatap keluar balkon kamar. Cahaya matahari mulai berwarna kekuningan, dan sebentar lagi akan tenggelam. Aku kembali panik, bagaimana kalau tadi Raymond datang ke bandara dan tidak menemukan diriku? Dia pasti sangat kebingungan dan mencari ku sampai letih. Aku mengambil ponsel lalu menekan nomer yang sudah sangat kuhapal luar kepala. Tidak aktif! Sekali lagi, tetap tidak aktif! Aku mulai frustasi, kenapa nomernya tidak bisa di hubungi. Apa dia lupa isi batere atau ketinggalan di rumah dalam keadaan off? Raymond..please…aku hanya ingin bertemu denganmu…aku sangat merindukanmu…rintihku dalam hati. “Sudahlah Han…” Piere menghampiriku, menyentuh pundakku. “Jangan sentuh aku!” Teriakku.

“Kamu, yang membuatku tidak bisa bertemu dengan Raymond!” Piere menarik nafas. “Kalian akan bertemu.” Dia menatapku.

“Malam ini dia akan menemuimu.”

“Apa?”

“Ya, dia akan menemuimu malam ini.” Angguknya. Ada yang terasa hangat menjalar di sekitar tubuhku. “Bersiaplah…” Piere meraih jaketnya, sebelum keluar kamar dia memandangku yang masih tidak percaya dengan apa yang di katakannya baru saja. “Han.., aku berharap kamu akan lebih bisa terima semuanya setelah pertemuan kalian malam ini.” Ujarnya, lalu keluar kamar.

******

Aku mematut diriku sekali lagi di depan cermin, masih merasa kurang puas dengan dandananku. Sekali lagi kusapukan bedak di wajahku agar terlihat cerah. Aku tidak ingin Raymond melihatku dalam keadaan yang kacau, setelah pertemuan terakhir kami enam bulan yang lalu, ketika dia cuti. Aku harus tetap terlihat seperti gadis manisnya. Aku merapikan pakaianku sekali lagi. Pintu di ketuk. “Masuk.” “Han..” Piere, aku berbalik memandangnya. Berusaha minta pendapatnya dengan apa yang telah kupersiapkan. Seakan tahu apa yang ada di benakku, lelaki itu tersenyum tipis, dan berkata. “Kamu cantik Han.” Aku tersenyum puas. Seseorang muncul, dada ku berdetak tak karuan. Akhirnya dia datang juga. Raymond!

“Thanks ya Re.” mereka berjabat tangan. Piere menatapku sekali lagi sebelum meninggalkan kami berdua. Laki laki itu berdiri tak jauhdariku, laki laki itu, memandangku dengan tatapannya yang dulu selalu memberiku kedamaian. Udara di sekitar kami seperti berhenti berputar. Hawa pendingin ruangan seperti es yang membekukan. Beberapa saat, kami hanya saling bertatapan, menumpahkan kerinduan yang sepertinya tidak akan ada habisnya. Dia, laki laki ku masih terlihat gagah dengan stelan jeans belel dan kemejanya. Segala kemarahan karena keputusannya tiga minggu lalu menguap ntah kemana, segala rasa sakit yang setiap hari menderaku hilang tanpa bekas. Yang ada hanyalah, perasaan rindu yang membuncah, perasaan sayang yang selalu kurasakan ketika bertemu dengannya. Aku teramat sangat mecintai laki laki ini! “Ray…” Aku berlari memeluknya.

“Aku kangen…” Raymond mendekap tubuhku, erat sangat erat, aku hampir kesulitan bernafas di buatnya.Lirih terdengar isakannya. “Ray..” Aku melonggarkan pelukanku, menatap wajahnya, dia menangis. “Maafkan aku Han…maafkan…” Aku menggeleng. “Tidak ada yang perlu di maafkan.”

“Hanny! Kamu berhak untuk marah, membenciku. Aku telah membuatmu terluka.” Aku menggeleng lagi. Perasaan hangat yang tadi menjalar perlahan mulai menghilang. Dan rasa sakit yang tadi tidak terasa lagi perlahan muncul kembali. “Kamu akan baik baik saja tanpa diriku.”

“Tidak…” Aku melangkah mundur dari Raymond. Tiba tiba aku seperti tidak mengenal laki laki ini. “Aku akan menikah Han… dua hari lagi.” Blash…. Wajahku seperti ditampar ribuan angin kencang dari balkon kamar. Kakiku gemetar, nafasku memburu. Rasa mual itu muncul lagi. Kepalaku kembali sakit seperti di pukul oleh palu berkali kali. Aku ingin menangis, tapi tidak ada air mata yang keluar, aku mengerjapkan mataku tapi hasilnya sama saja. Ucapannya baru saja, seperti mengulang suara Diaz tadi siang di telingaku. “Bagaimana mungkin Ray…” Tanyaku pelan. Raymond meraihku membimbingku duduk di sofa. Menggenggam tanganku erat. Aku seperti robot yang kehabisan batere, aku bahkan tidak tahu saat ini sedang merasakan apa.

“Dia datang saat aku sedang kalut Han.”

“Lalu, itukah alasan kamu memutuskan aku? Dia ada saat kamu sedang lemah, sementara aku jauh dari kamu?” Dia menggeleng.

“Apa salahku Ray, sampai aku tidak layak untuk jadi pendampingmu? Bertahun tahun kita coba bertahan melewati semuanya, dan kufikir kita sanggup. Tapi kenapa jadi seperti ini..”

“Maafkan aku Han…”

“Kata maaf mu tidak akan bisa menyembuhkan rasa sakit ini Ray, katakan padaku apa yang telah di lakukan wanita itu padamu, sampai kamu bisa begitu saja melepas apa yang sudah kita jalani?”

“Dianty tidak melakukan apapun…” Dianty? Wanita itu Dianty? Aku memandang Ray dan berusaha mencari jawaban pasti di sana. Dan dia mengangguk. Aku terhenyak, dulu, firasat itu pernah ada, tapi aku tidak pernah memperdulikannya. Dianty wanita yang telah lama menaruh hati pada Raymond ku, wanita yang tidak pernah berhenti mengejarnya. Dan kini mereka akhirnya bertemu di kota yang sama sekali tidak pernah kubayangkan dan akan segera menikah. Aku menelan ludah, kepalaku pusing. Bayangan wanita itu berkelebat cepat di benakku. Inikah yang namanya takdir? Sejauh apapun mereka terpisah kalau memang sudah di gariskan mereka akan tetap bertemu kembali? Lalu bagaimana dengan aku? Yang selama 7 tahun bersama Raymond. Apa artinya kebersamaan kami selama ini? Untuk apa? Kalau memang tidak bisa bersama pada akhirnya. Ini benar benar tidak adil! Hatiku menjerit pilu. “Tapi yakinlah Han, kalau aku sangat mencintaimu.” Aku menepis tangan Raymond yang ingin menyetuh wajahku. “Tidak ada gunanya lagi berkata seperti itu, kalau keadaan tidak bisa berbalik berpihak pada kita.” Aku berusaha bersikap setenang mngkin. Walau luka itu semakin terasa perih. “Apa lah artinya ungkapan cinta, kalau kamu bahkan tidak mau terus mempertahankan kita.”

“Aku sudah berusaha Han, tapi seperti yang telah kukatakan sebelumnya padamu. Mungkin perpisahan ini juga yang terbaik untukmu,untuk kehidupanmu. Dan aku mungkin memang bukan lelaki yang tepat untukmu.” Raymond mengusap wajahnya. Ada keletihan di sana. Sisi hatiku sangat ingin memeluk kepala itu, seperti dulu setiap saat ketika laki laki itu sedang kalut, sedang lemah. Dan aku sangat bahagia ketika bisa memberinya ketenangan. “Mungkin ini juga jalan kehidupan yang harus kita lalui…” Suaranya terdengar serak. Aku tidak mau! Aku tidak mau menjalani kehidupan seperti ini Ray, aku ingin tetap bersamamu! Aku ingin mengeluarkan kata kata itu di hadapannya. Aku akan menangis, memohon agar dia tidak meninggalkanku, aku akan melakukan apa pun agar dia bisa tetap menjadi milikku seorang. Tapi sisi hatiku yang lain tidak membiarkan diriku melakukan itu, sisi hatiku yang lain berujar kalau ini mungkin memang yang terbaik, ini lah yang di katakan ketika cinta tidak harus memiliki, walau dulu aku tidak pernah percaya ungkapan itu. Kalau cinta ya harus berjuang bersama, untuk mempertahankan. Tapi ternyata aku sedang mengalami ungkapan yang sekarang terdengar sangat mengerikan bagiku. “Yakinlah, kamu akan menemukan orang yang terbaik.” Ah! Kejam nya laki laki ini, dia masih bisa berkata demikian tanpa beban, apakah aku memang sudah jadi orang yang sangat tidak berarti lagi untuknya?

“Apakah aku tidak bisa memintamu untuk memilih Ray…” Aku tidak yakin dengan apa yang kukatakan, karena kalaupun dia mau memilih, itu hanya akan menambah luka lagi. Dan mungkin itu akan membuatnya berada dalam posisi tertekan, dan menjadikannya laki laki yang plin plan, laki laki jahat yang tidak bertanggung jawab, dan aku tidak mau itu. “Hanny…” Dia meraihku dalam dekapannya.

“Seandainya masih bisa….” Aku menggeleng, melepas pelukannya.

“Sudah lah Ray, aku tidak akan mempersulit kamu, aku akan buat semua mudah untukmu.” Aku menatap wajahnya, menatap semua yang dulu pernah jadi milikku. Ingin menyentuh wajah tirus itu sekali lagi mungkin untuk terakhir kalinya. Tapi aku tidak melakukannya, aku sama sekali tidak punya kekuatan lagi.

“Sampaikan ucapan selamatku pada Dianty…” Aku berdiri. Raymond meraih tanganku dan menciumnya. Tuhan..kuatkan aku agar bisa benar benar melepas laki laki ini. Mungkin memang benar, aku tidak pernah memiliki hatinya seutuhnya. Di sisi hatinya yang lain, mungkin memang ada satu cinta lain yang aku tidak pernah tahu. Selama ini perasaan cinta ku yang begitu besar, membuatku tidak peka dengan semuanya. “Maafkan aku Han…” Ku biarkan dia memelukku, sebelum akhirnya melangkah perlahan keluar kamar. Sebagian relung jiwaku seperti ikut melayang bersama dirinya. Aku menggigil, ingin berteriak memintanya untuk tidak pergi. Tapi aku terlalu lemah, aku bahkan tidak bisa menggerakkan sekujur tubuhku. Aku mengerjapkan mata, aku ingin menangis sekuat tenaga agar rasa sakit ini terlampiaskan. Tapi aku sama sekali tidak bisa menangis, apakah persediaan air mataku telah habis? Atau aku memang tidak layak untuk menangisi laki laki itu? Aku masih berdiri, aku masih menatap pintu yang telah tertutup rapat itu. Ini lah kenyataan yang benar benar harus kuhadapi, selama ini aku masih terkungkung dalam cerita indah kami, masih mengharapkan kalau keputusannya adalah keputusan yang salah, dan kami akan kembali bersama. Rasa marah, benci dan cinta berbaur di dalam hatiku. Aku tidak tahu kenapa aku harus mengalami saat seperti ini. Rasa mual itu kembali menderaku, ketika bayangan diriku, laki laki itu dan wanita yang bernama Dianty itu begerak cepat, seperti film yang memutar ulang semua yang pernah kami jalani, dan bayangan pernikahan mereka. Aku memegang perutku, bayangan yang melingkar itu membuatku tidak bisa bertahan lagi. Aku berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutku di wastafel. Ini lah yang telah di perbuat laki laki itu, membuatku tersiksa, membuatku sakit. Ini sudah cukup! Ini untuk yang terakhir kalinya! “Hanny…” Piere muncul di belakangku. Kali ini tidak ada kemarahan ketika melihat wajahnya. Aku butuh seseorang untuk menemaniku melepaskan semua ini. aku membasuh wajahku. Dan ketika Piere meraihku dalam dekapannya aku sama sekali tidak menolak.

“Menangis lah sampai kamu puas….” Bisiknya lembut. Dan pertahanan itu runtuh juga, aku menangis sejadi jadinya, menangisi diriku yang terlalu mencintai laki laki itu, menangisi akhir dari kisah cintaku yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya akan jadi seperti ini, menangisi hari hariku yang sangat kacau beberapa minggu ini, dan menangisi hari hari kedepanku yang benar benar tidak akan pernah ada dirinya lagi.

******

“Jangan di tunda lagi Hanny, kalian sudah cukup lama berpacaran.”

“Iya tan, aku mohon doa nya ya. Mungkin saat ini memang belum waktunya.”

“Segala sesuatu memerlukan usaha agar tercapai hasil yang di inginkan, mungkin kamu harus lebih pintar membujuk Raymond. Kamu tidak mau kan kalau tiba tiba dia meninggalkanmu?”

“Ah, Tante Mima. Aku sangat mengenal Ray. Aku tahu dia tidak akan pernah meninggalkanku.” Wanita setengah baya itu tersenyum bijak. “Kita tidak pernah mengenal laki laki seutuhnya Han, sebelum dia menyerahkan seluruh kehidupannya bersama kita, itu juga kadang masih banyak yang kecolongan.”

“Tapi aku percaya Ray.”

“Tante tahu, tapi alangkah baiknya kalian mulai membahas masalah ini lebih serius. Waktu dan jarak yang ada diantara kalian tidak dekat. Banyak yang bisa terjadi dalam waktu yang singkat Han. Belajarlah dari pengalaman tante.” Tante Mima adalah kakak dari ibu ku, setelah ibu meninggal, tante Mima yang menjadi tempat curahan hati kami. Walau beliau adalah janda tanpa anak yang di tinggal pergi suaminya karena berselingkuh dengan wanita lain, beliau tidak pernah mengeluh, beliau bahkan bersyukur karena Tuhan justru memberikan waktu yang tepat untuknya berpisah dengan suaminya sebelum mereka di karuniai anak, karena menurut tante Mima, kalau sudah memiliki anak, mungkin keputusan untuk berpisah akan semakin sulit, karena memikirkan masa depan sang anak yang mungkin akan merasa sakit kalau tahu ayahnya telah berselingkuh.

“Tante tahu, kamu sangat mencintai Raymond, dari sekian lamanya kalian terpisah jarak, tante bisa lihat kesetiaan kamu yang tidak pernah terusik dengan pria lain. Tapi kita tidak tahu bagaimana dengan Raymond di sana…”

*****

“Jangan terlalu percaya pada laki laki Han.” Ujar Lucy suatu hari

“Mereka adalah mahluk yang tidak bisa kita tahu isi hatinya, kecintaannya, keliarannya.” Saat itu aku hanya tergelak mendengarnya. “Sebaiknya kamu lebih sering menghubunginya, jangan sampai dia kehilangan kendali.”

“Kuda kali Lu, pakai kendali!” Candaku.

*****

“Kalau Raymond belum siap berkomitmen, sebaiknya kamu cari yang lain aja deh.” Itu anjuran Yuka di suatu senja, ketika aku menelefonnya.

“Bukan itu masalahnya Yu, aku tidak pernah berfikir untuk menikah dengan lelaki lain selain dirinya.”

“Kamu terlalu mencintainya, dan ini salah menurutku.”

“Apa nya yang salah? Lalu bagaimana dengan kamu dan Diaz? Apa itu juga salah?” terdengar helaan nafas. “Kalian sudah terlalu lama berada di posisi seperti ini, terombang ambing dalam keputusan yang aku rasa sangat simple! Tinggal kamu dan Raymond siap atau tidak.”

“Aku siap, tapi aku tidak ingin terlalu memaksanya. Aku takut akan menganggu konsentrasi pekerjaannya.”

“Raymond terlalu lemah untuk wanita seperti kamu Han, tidak kah kamu pernah berfikir seperti itu? aku merasa dia hanya butuh waktu yang tepat untuk meninggalkanmu.”

“Yuka!”

“Dan seandainya itu terjadi, aku berharap agar kamu sudah siap menghadapinya.”

“Ray bukan laki laki seperti itu, kamu juga kenal dia kan? Kenapa semua orang sekarang suka menyudutkan dirinya?”

“Karena, kalau Raymond memang merasa kamu adalah pilihan yang tepat dalam hidupnya, dia tidak akan membuatmu menunggu lebih lama lagi!”

*****

“Dia makin feminim ya?”

“Iya, mungkin karena dia akan menikah.”

“O ya? Akhirnya dia menemukan orang yang tepat ya”

“Ya, memang begitulah seharusnya. Seperti aku yang telah menemukan dirimu.” Aku tersipu, hatiku penuh nyanyian cinta. Itu pembicaraan terakhirku dengan Ray setahun yang lalu tentang wanita bernama Dianty.

******

Semilir angin sore langsung menerpa wajahku ketika aku menurunkan kaca mobil. Obrolan dengan tante Mima, Yuka dan Lucyseakan akan memenuhi memory otakku, mereka orang orang dekatku yang terlebih dulu sadar akan hasil akhir dari hubunganku dengan Raymond. Seperti yang telah di katakan Yuka, Raymond hanya menunggu waktu yang tepat untuk benar benar yakin meninggalkanku. Lautan lepas didepan sana terasa sangat indah dan memberikan ketenangan. Aku menghirup udara yang segar dan membiarkannya penuh di rongga dadaku, lalu menghembuskannya perlahan. Dari cd mobil terdengar alunan suara Dewi Lestari menyanyikan lagu PELUK. Aku menghayati lirik demi liriknya, mungkin memang seperti ini seharusnya. Walau saling mencintai, namun perpisahan lebih baik adanya. “Aku sudah me reschedule penerbanganmu untuk besok pagi.” Aku menoleh memandang Piere. “Lagi??” Dia terkekeh. Dan aku pun tanpa sadar tertawa. Aneh! Laki laki asing ini, yang sebelumnya tidak pernah hinggap dalam fikiranku, tidak pernah menyentuh kehidupanku kini telah melakukan beberapa hal penting dalam hidupku dalam beberapa hari ini.

“Aku tidak tega membangunkanmu tadi pagi untuk segera pulang, kamu benar benar tidur seperti bayi.” Aku merasa pipiku menghangat. Ketika menangis di pelukannya aku merasa sangat lega, dan aku bahkan tidak sadar sampai tertidur karena sangat letih menangis. Dan aku terbangun ketika jam sudah menunjukkan 13.00 wita. Piere hanya tersenyum dan mengajakku makan siang, lalu membawaku berkeliling kota Balikpapan, dan berakhir di pantai Melawai yang terletak di tepian jalan raya. “Sebentar lagi sunset.” Piere menengadahkan kepalanya melihat dari kaca depan mobil. “Mau ku belikan sesuatu?” Tawarnya. Aku menggeleng. “Tidak terima kasih, aku masih kenyang.” Aku yakin aku tersenyum ketika mengeluarkan kata kata itu. aku merasa terbebaskan dari sesuatu yang selama ini membelenggu hatiku. Yang membuatku tidak bisa memandang kehidupanku dengan mata terbuka.Dan hari ini, aku mulai merasa yakin bisa menjalani kehidupanku tanpa harus menoleh pada cinta yang lalu. “Kamu manis kalau tersenyum.” Ujar Piere, tanpa memandangku. “Oya?” Dia mengangguk. “Dan kamu harus sadar akan hal itu.” Dia menarik nafas. “Sejak tahu tunangan sepupuku adalah Raymond kekasihmu, aku jadi sering memperhatikanmu.awalnya aku tidak mengerti kenapa Raymond tega meninggalkan dirimu. Tapi inilah kehidupan, terkadang seseorang harus mampu berubah untuk takdir hidupnya yang lebih baik.” Aku melemparkan pandanganku ke laut di depan sana. Deru ombaknya seperti nyanyian hatiku yang ingin segera berlari meninggalkan semua kisah cintaku. “Ya, dan mungkin mereka memang harus menunggu untuk di pertemukan pada waktu tepat.”

“Mereka?”

“Raymond dan Dianty…mungkin memang aku di takdirkan hanya untuk jadi orang yang menemani sedikit episode kehidupan Raymond sebelum Dianty menemukan waktu mereka untuk bersama selamanya.”

“Hmm…realistis sekaligus dramatis sekali…”

“Aku memang harus realistis menghadapi ini semua, dan mungkin perjalanan cintaku di takdirkan sedikit dramatis”

“Bagus kalau kamu memang sudah bisa menghadapinya, setelah ini kuharap kamu tidak perlu menangis lagi di meja kerjamu.” Suaranya terdengar ketus. Huh! Dia sudah kembali ke sifatnya yang asli.

“Namanya juga orang sedang bersedih.”

“Masih banyak yang perlu di tangisi dari pada hanya kehilangan kekasih.”

“Kamu bisa berkata seperti ini, karena bukan kamu yang mengalaminya.”

“Apa yang kamu tahu tentang diriku?” Dia menatapku. Aku menggeleng.

“Tidak ada, dan tidak mau tahu!”

“Hahaha…” Dia tertawa. Dasar aneh!

“Beberapa hal yang harus kamu tahu adalah, Aku bukan seorang penjahat, bukan psikopat, dan bukan pemerkosa seperti yang kemarin kamu tuduhkan.” Aku merasakan pipiku panas, aku malu membayangkan kejadian tempo hari.Aku benar benar telah tenggelam dalam halusinasi, sehingga mampu berfikiran aneh tentang laki laki ini. Krinngg… ponselku berbunyi. Ada nama Lucy di sana. “Halo Lu…”

“Halo darling, bagaimana kabarmu? Kemarin aku di beritahu Diaz mengenai keberangkatanmu ke Balikpapan. Tidak ada hal buruk yang terjadi kan darling?” Aku tersenyum, pertanyaannya memburu seakan akan takut aku mematikan telefon. “Aku baik baik saja Lu, everything is in control.”

“Thanks God.., lalu kapan kamu akan pulang?”

“Besok pagi, tapi aku akan ke bandung dulu memenuhi janjiku pada Yuka.”

“Oh ya..ya.., dia juga sangat khawatir padamu. Lalu sekarang kamu dimana?”

“Di suatu tempat yang indah.” Kelakarku.

“Hei..jangan katakan kalau kamu menculik Raymond dan membawanya lari ya.” “Hahahaha…tadinya aku justru ingin menembak kepalanya Lu, tapi aku tidak punya senjata.” Lucy tertawa di seberang sana. Aku tahu dia pasti mengerti kalau apa yang kukatakan hanya sekedar guyonan. “Ini bagus! Kamu sudah kembali menjadi Hanny yang dulu.” Ujarnya.

“Tapi aku masih penasaran, dengan siapa kamu sekarang?” Nada suaranya terdengar seperti orang yang menyelidik. “Piere…” Jawabku pelan sambil melirik Piere yang juga menoleh kearahku, sedetik kami bertatapan.

“Apa? Piere? Untuk apa dia ada di sana? Dia mengikutimu ya?” Suara melengking Lucy menyadarkanku, dan segera menghindari tatatapan Piere.

“Sepupunya akan menikah.” Suaraku terasa ringan ketika mengucapkan kata kata itu. “Oh, sebuah kebetulan yang menyenangkan sepertinya?” Aku tersenyum, bisa kubayangkan kerlingan mata Lucy ketika mengucapkan kata kata itu.

“Oke lah darling, yang penting kamu baik baik saja, dan aku sudah tidak sabar menunggu ceritamu dengan si manajer itu.” Aku mengernyit,ada ada saja batinku. “Tidak ada yang terjadi antara kami Lu.” Lucy terkekeh di seberang sana.

“Let we see ya..” ujarnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Aku menutup ponsel. Piere terlihat tersenyum. “Masih berniat menembak kepala laki laki itu?” Tanya nya. Aku tertawa. Kelegaan itu muncul lagi. “Lain kali, kalau punya niat seperti itu sebaiknya menyewa pembunuh bayaran saja, jadi kamu tidak perlu repot harus datang kesini.” Aku tertawa lagi. Dasar sinting! “Ya, mungkin aku akan memilih kamu untuk jadi pembunuh bayarannya.” Piere terkekeh. Ah! Everything is okay now…, aku sudah yakin menjalani hari hari ku selanjutnya. Dan aku telah benar benar bisa melepas laki laki itu. saat ini ketika mengingat dan menyebut namanya semuanya terasa jauh lebih ringan. Tidak ada rasa marah, sakit dan mungkin tidak ada lagi cinta. Semuanya sudah melebur,luruh, dan hilang seakan akan di bawa ombak yang menderu didepan sana. Mungkin satu hari nanti, aku akan menemukan cinta sejatiku, hanya perlu menunggu waktu yang tepat, orang yang tepat di tempat yang tepat.

"... rasakan semua, demikian pinta sang hati. amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. dan inilah hatiku pada dini hari yang hening. bening. apa adanya." –PELUK-

-TAMAT-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun