Mohon tunggu...
Enjang Kusnadi
Enjang Kusnadi Mohon Tunggu... Dosen

Sahabat Sejati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Setiap Ruang adalah Kelas: Refleksi Literasi di Era Digital

1 Oktober 2025   12:22 Diperbarui: 1 Oktober 2025   16:52 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ruang Baca (Sumber: Fixabay)

Di banyak kampung dan kota kecil di Indonesia, pemandangan yang sering terlihat adalah anak-anak usia sekolah lebih sibuk menggenggam gawai ketimbang berlari di lapangan. Sementara itu, tumpukan buku di perpustakaan masih sepi peminat, hanya sesekali dibuka untuk sekadar memenuhi tugas. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan pelajar. Banyak pejabat di daerah pun lebih rajin hadir di layar televisi atau media sosial, dibandingkan duduk serius membaca laporan tebal yang seharusnya menjadi dasar kebijakan.

Semua itu seakan lumrah, tetapi menyimpan pertanyaan penting: apakah teknologi dan modernitas benar-benar mendekatkan kita pada ilmu, atau justru menjauhkan kita dari budaya membaca yang sejati?

Membaca bukan sekadar aktivitas akademik. Ia adalah kebiasaan yang menentukan arah bangsa. Bangsa yang terbiasa membaca, terbiasa berpikir panjang. Sebaliknya, bangsa yang malas membaca akan mudah terjebak pada keputusan instan, informasi dangkal, dan narasi menyesatkan. Dalam banyak forum, saya sering mendengar orang mengeluh tentang rendahnya minat baca di Indonesia. Namun, alih-alih mengeluh, pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana kita menjadikan membaca sebagai bagian hidup di era digital ini?

Sebagai seorang muslim, saya percaya membaca adalah perintah yang sangat mendasar. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah "Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq" --- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Membaca bukan hanya soal teks, tetapi membaca tanda-tanda, membaca realitas, membaca kehidupan. Membaca adalah pintu peradaban.

Rasulullah SAW juga bersabda: "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim." Menuntut ilmu tidak mungkin tanpa membaca. Membaca adalah ibadah intelektual. Ia menumbuhkan akhlak, memperluas wawasan, dan membentuk kepemimpinan. Seorang pemimpin yang enggan membaca berarti mengabaikan kewajiban mencari ilmu, dan itu bisa berbahaya bagi umat yang dipimpinnya.

Maka, membaca bukan hanya kebutuhan pribadi, tapi juga tanggung jawab sosial. Dalam tradisi Islam, ulama-ulama besar tidak pernah lepas dari buku. Imam Syafi'i, misalnya, dikenal hafal ribuan hadits dan karya fikih. Buya Hamka, di era modern, tidak hanya menulis Tafsir Al-Azhar, tapi juga melahirkan roman-roman bermakna, semua berangkat dari tradisi membaca yang konsisten. Membaca adalah cahaya. Tanpa cahaya itu, hidup kita akan gelap.

Sejarah bangsa ini juga memberi teladan jelas. Bung Hatta dikenal memiliki perpustakaan pribadi dengan belasan ribu buku. Ia membaca karya ekonomi klasik, filsafat, sejarah, hingga sastra. Dari literasinya lahirlah gagasan koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat. Hatta bukan hanya pejabat, tapi intelektual yang menjadikan buku sebagai penuntun langkah.

Bung Karno lain lagi. Ia rakus membaca ideologi dunia. Dari Marx, Lenin, Gandhi, hingga Jefferson, semuanya dibaca dan dicerna. Dari bacaan itulah ia merumuskan Pancasila, falsafah hidup bangsa. Tidak berlebihan jika kita mengatakan: Pancasila lahir dari perpaduan literasi dunia dan pengalaman bangsa sendiri.

Di era lebih muda, Gus Dur juga sama. Ia tumbuh dengan kitab pesantren, lalu menekuni filsafat Barat dan sastra dunia. Ia bisa mengutip kitab kuning, tapi juga menyinggung Derrida atau Camus dalam satu napas. Literasi membuat kepemimpinan Gus Dur inklusif, terbuka, dan berwawasan luas.

Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional, memberi pesan yang tak lekang oleh zaman: "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Pemimpin sejati memberi teladan, termasuk dalam hal membaca. Bagaimana rakyat bisa gemar membaca, bila pejabatnya tidak menunjukkan teladan literasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun