Di tengah gelapnya malam ke-27 Ramadan, suasana di Kelurahan Wanci, Wakatobi, tiba-tiba hidup dengan cahaya lilin dan suara riuh rendah dari percakapan hangat. Di setiap rumah, keluarga berkumpul dan sibuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan sebuah tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang yakni Hepatirangga. Tradisi unik ini hanya dilakukan pada malam yang penuh berkah yakni malam ke-27 Ramadan atau yang lebih dikenal sebagai malam Lailatul Qadar.Â
Hepatirangga bukan sekadar tradisi yang dilakukan setiap menjelang lebaran atau pada penghujung ramadhan, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Wakatobi. Tradisi ini melibatkan proses mewarnai kuku dengan daun pacar tradisional yang sudah dihancurkan dengan cara ditumbuk atau bahkan dikunyah. Tak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki ikut berpartisipasi dalam tradisi ini, yang dilakukan setelah salat Tarawih. Bagi mereka, ini adalah simbol syukur dan harapan untuk bertemu kembali dengan bulan suci Ramadan pada tahun berikutnya. Bagi masyarakat Wakatobi, malam ke-27 Ramadan memiliki makna yang sangat dalam. Bukan hanya tentang mengingat tentang malam yang penuh berkah, tetapi juga tentang bagaimana mereka merayakan hidup, mempererat ikatan keluarga, dan mengenang leluhur mereka.
Â
Pada awalnya, Hepatirangga dilakukan dengan cara yang sangat tradisional dan rumit. Daun pacar yang masih segar harus dikunyah hingga halus, lalu hasil kunyahannya dibubuhkan pada kuku jari tangan. Setelah itu, jari tangan dibungkus menggunakan daun dan diikat kuat dengan tali rafia. Proses ini memakan waktu cukup lama dan penuh kehati-hatian. Namun, dengan perubahan zaman, proses tersebut kini lebih disederhanakan. Daun pacar sekarang dihancurkan dengan blender sehingga bisa menghasilkan lebih banyak dalam waktu singkat, selain itu jari juga bisa dibungkus menggunakan plastik, hal ini memudahkan warga untuk melakukan tradisi ini.
Keunikan Hepatirangga juga terletak pada cara pelaksanaannya yang melibatkan seluruh anggota keluarga, dari yang muda hingga yang tua. Anak-anak ikut serta, belajar tentang tradisi mereka, sementara para orang tua menceritakan kisah-kisah rakyat zaman dulu dan nilai-nilai yang terkandung dalam ritual ini. "Saya toh ikut terus dari kecil. rasanya kayak nda lengkap kalau mau lebaran tidak hepatirangga", ujar Novi (20), seorang pelajar di Wakatobi yang sudah terbiasa ikut serta dalam tradisi Hepatirangga bersama keluarganya.
Selain makna spiritual, Hepatirangga juga menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga. Di beberapa desa, terutama di sekitar Wanci, orang-orang saling berbagi daun pacar dan membantu satu sama lain dalam proses mewarnai kuku. "Kalau dilingkungannya kami ini selalu saling bantu. Kalau ada yang kekurangan bahan, kami saling berbagi daun pacar karena kami juga tanam didepan rumah. Ini bukan Cuma tradisi, tapi juga bentuk gotong royong kebersamaan" tambah Ibu Wa Ode Iya (43), seorang tokoh masyarakat Wakatobi.
Tradisi Hepatirangga juga memiliki aspek sosial yang menarik. Di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, tradisi ini tetap lestari, bahkan menjadi daya tarik wisata budaya. Banyak wisatawan yang datang untuk melihat secara langsung prosesi Hepatirangga dan merasakan kedamaian yang hadir di malam itu. Bagi mereka yang datang dari luar Wakatobi, tradisi ini adalah pengalaman yang tak terlupakan dan menjadi sebuah kesempatan untuk merasakan kedekatan dengan budaya lokal yang sederhana, namun penuh makna.
Tidak hanya itu, Hepatirangga juga menyiratkan hubungan manusia dengan alam. Daun pacar, yang menjadi bahan utama dalam tradisi ini, adalah tanaman yang tumbuh subur di wilayah Wakatobi. Dengan menggunakan bahan alami yang tersedia di sekitar mereka, masyarakat Wakatobi mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijak.
Hepatirangga bukan hanya soal kuku yang berwarna, tetapi tentang bagaimana sebuah tradisi mengikat hati masyarakat untuk tetap hidup dalam kebersamaan, bersyukur atas segala nikmat, dan berharap akan berjumpa kembali dengan keindahan Ramadan di tahun yang akan datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI