Mohon tunggu...
Retno Kusumawati
Retno Kusumawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Jakarta

Penyuka Novel dan Komik yang lahir di Jakarta, 23 Maret 2004

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Bilingual/Multibahasa di Kalangan Gen Z

8 Januari 2024   18:38 Diperbarui: 8 Januari 2024   18:40 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bahasa memiliki peran krusial dalam interaksi sosial di masyarakat karena berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu (Ariesta et al., 2021; Jambia et al, 2022). Penggunaan bahasa dapat ditemui baik di lingkungan perkotaan maupun pedesaan. Contoh penggunaan bahasa dalam ruang publik meliputi penamaan kedai atau toko, nama jalan, tempat atau gedung, rambu-rambu lalu lintas, baliho, dan poster. Sebagai contoh konkret, setiap jalan umumnya dilengkapi dengan papan informasi yang mencantumkan nama jalan tersebut. Praktik yang serupa terlihat pada penamaan toko makanan dan berbagai jenis usaha lainnya. Adalah tanggung jawab setiap warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika berada di tempat umum. Aturan penggunaan bahasa Indonesia ini telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 30 mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta lagu kebangsaan (Oktavia, 2019). Bahasa juga mencerminkan identitas, budaya, dan nilai-nilai suatu kelompok atau individu. Di Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi dan bahasa pemersatu bangsa yang memiliki lebih dari 1.100 bahasa daerah. Namun, di era globalisasi, bahasa Indonesia menghadapi tantangan dari pengaruh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, yang menjadi bahasa internasional dan sarana akses informasi.

Generasi Z memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk berbicara dengan lebih dari satu bahasa, atau yang disebut dengan bilingualisme atau multilingualisme. Bilingualisme atau multilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk berbicara dengan dua bahasa atau lebih. Bilingualisme atau multilingualisme dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti lingkungan keluarga, pendidikan, pekerjaan, hobi, atau kebutuhan. Bilingualisme atau multilingualisme dapat memberikan manfaat bagi individu, seperti meningkatkan kognitif, kreatif, dan sosial. Namun, bilingualisme atau multilingualisme juga dapat menimbulkan masalah, seperti kehilangan identitas, konflik, atau diskriminasi. Isu ini mencerminkan kompleksitas yang melibatkan tiga aspek utama, yaitu bahasa itu sendiri, penggunanya, dan cara penggunaannya. Pengguna bahasa dalam konteks ini merujuk kepada individu. Indonesia memiliki masyarakat yang bersifat multikultural, sehingga dalam proses berkomunikasi, anggota masyarakat tersebut menggunakan berbagai bahasa (masyarakat bilingual). (Agustina dan Cahyani, 2018) menyatakan bahwa fenomena masyarakat terutama Gen Z yang menggunakan lebih dari satu bahasa, atau yang dikenal sebagai bilingual atau multilingual, muncul sebagai hasil dari variasi bahasa yang timbul akibat kontak bahasa dan kontak budaya yang terjadi.

Individu yang memiliki kemampuan dwibahasa cenderung menghadapi konflik kebahasaan, yang dapat mengakibatkan fenomena alih kode, campur kode, pergeseran bahasa, bahkan hingga hilangnya suatu bahasa. Individu dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa sering berbicara dalam lebih dari satu bahasa dan memiliki kecenderungan memilih bahasa yang ingin mereka gunakan. Pilihan bahasa ini sering muncul karena adanya kemampuan dwibahasa, yang memungkinkan penyampaian pesan dalam bentuk campur kode dan alih kode. Pemilihan bahasa dilakukan dengan tujuan agar maksud yang diinginkan dapat tersampaikan dengan baik oleh penutur, dan pilihan bahasa tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks situasi komunikasi. Situasi tersebut dapat melibatkan dua aspek utama, yaitu latar belakang sosial dan budaya.

Salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji adalah fenomena bilingualisme atau multilingualisme di kalangan generasi Z di Indonesia. Fenomena bilingualisme atau multilingualisme di kalangan generasi Z di Indonesia dapat menjadi indikator sejauh mana generasi Z mempelajari dan menghargai budaya sendiri dan budaya lain. Fenomena ini juga dapat menjadi tantangan bagi generasi Z untuk menjaga keseimbangan antara identitas nasional dan global.

Fokus utama tertuju pada faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa oleh Generasi Z. Pengaruh pembelajaran formal di lembaga pendidikan, dampak media sosial dan teknologi, serta peran identitas budaya masing-masing individu menjadi poin sentral dalam memahami bagaimana Generasi Z mengintegrasikan dan menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari mereka.. Dengan Generasi Z memiliki akses yang meluas ke teknologi dan informasi, penting untuk memahami bagaimana proses pembelajaran bahasa berlangsung dalam konteks multibahasa di era digital ini. Sejauh mana penggunaan teknologi membentuk identitas multibahasa Generasi Z dan bagaimana hal ini memengaruhi proses pembelajaran kebudayaan juga menjadi pertanyaan penting.

Menurut penelitian (Conti & Meuter, 2019), proses ini dapat memunculkan tantangan dalam pemilihan dan penggunaan bahasa, karena Generasi Z dikelilingi oleh berbagai variasi bahasa dan budaya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Proses pembelajaran kebudayaan, yang menjadi faktor kunci dalam pemahaman dan penggunaan bahasa, juga menarik perhatian. Menurut penelitian oleh (Smith,2020), pendekatan pendidikan formal di sekolah dapat berpengaruh pada bagaimana Generasi Z mengintegrasikan dan memahami keberagaman bahasa dan budaya.

Pentingnya memahami identitas budaya juga menjadi sorotan. Menurut (Huang dan Liu,2018), Generasi Z sering dihadapkan pada dilema identitas, terutama ketika memilih bahasa untuk berkomunikasi. Identitas budaya yang kuat dapat mendorong pemilihan bahasa tertentu, namun di sisi lain, tekanan dari lingkungan sekitar atau tren global juga dapat memengaruhi cara mereka menggunakan bahasa.

Kemajuan teknologi, yang merupakan ciri khas Generasi Z, turut memperumit permasalahan ini. Dalam era digital, Generasi Z memiliki akses luas terhadap berbagai platform digital dan media sosial yang memungkinkan mereka terlibat dalam beragam konten multibahasa. Namun, menurut penelitian oleh Li et al. (2021), penggunaan teknologi juga dapat menciptakan ekosistem bahasa yang unik, di mana konsep identitas, integrasi, dan pemilihan bahasa semakin kompleks. Selain itu, permasalahan terkait dengan pembelajaran formal juga muncul. Beberapa penelitian (Chen & Lee, 2020) menyoroti bahwa kurikulum sekolah cenderung mengabaikan bahasa daerah atau memprioritaskan bahasa nasional. Ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam pemahaman dan keterampilan berbahasa antara bahasa nasional dan bahasa daerah. Dalam menghadapi permasalahan ini, beberapa menekankan pentingnya pengembangan pendekatan pembelajaran yang inklusif dan responsif terhadap keberagaman bahasa dan budaya Generasi Z. Melalui pendekatan ini, sekolah dan lembaga pendidikan dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi integrasi kebudayaan dalam proses pembelajaran, mengakui nilai bahasa daerah, dan menciptakan lingkungan yang mendukung pemahaman multibahasa.

Salah satu solusi utama adalah meningkatkan literasi multibahasa dan multikultural di lingkungan pendidikan. Pendidikan formal dapat memainkan peran kunci dalam memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman bahasa dan budaya serta membantu Gen Z mengembangkan keterampilan komunikasi yang efektif dalam konteks multibahasa. Menurut Alidou et al. (2006), pendidikan multibahasa dapat membawa manfaat signifikan, termasuk peningkatan keterampilan kognitif dan pemahaman interkultural.

Pendidikan literasi multibahasa dapat diperkuat dengan melibatkan literatur atau materi ajar yang mencerminkan keberagaman bahasa dan budaya. Buku-buku dan sumber daya pendidikan dapat dipilih untuk mencakup cerita-cerita dari berbagai tradisi, menyediakan bahan ajar yang mendukung pemahaman dan penerimaan terhadap bahasa dan budaya yang berbeda. Selain itu, pendidikan inklusif tentang keberagaman bahasa perlu didorong. Ini mencakup pendekatan kurikulum yang menghormati dan mendukung penggunaan bahasa asli dan bahasa asing sebagai aset budaya. Menurut García (2009), pendekatan inklusif ini dapat membantu memecahkan ketidaksetaraan dan membangun rasa inklusivitas di dalam dan di luar kelas.

Dalam konteks teknologi, penggunaan platform digital dapat menjadi alat yang efektif untuk memitigasi dampak negatif fenomena bilingual atau multibahasa. Aplikasi dan platform daring dapat dibuat untuk mendukung penggunaan bahasa dan budaya yang beragam. Misalnya, penggunaan teknologi pembelajaran adaptif dapat membantu mengatasi kesulitan akademis yang mungkin timbul karena multibahasa. Menurut (Yusuf, 2017), penggunaan teknologi dalam pembelajaran bahasa dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa, terutama ketika teknologi digunakan untuk menyajikan konten yang beragam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari Gen Z.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun