Mohon tunggu...
Ernip
Ernip Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Napak Tilas Rengasdengklok, Mengenang Semangat Pemuda Meraih Kemerdekaan

19 Agustus 2018   16:38 Diperbarui: 20 Agustus 2018   11:55 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri-kami tiba di rumah Djiaw Kie Siong

Peristiwa Rengasdengklok pada tahun 1945 merupakan salah satu kisah yang menjadi awal perebutan kemerdekaan dari tangan Jepang. Peristiwa ini juga menggambarkan semangat pemuda meraih kemerdekaan.

Peristiwa ini berawal ketika negara Jepang setelah pemboman Nagasaki dan Hirosima oleh pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.

Setelah mendengar negara Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada negara sekutu, kesempatan ini dianggap kelompok pemuda sebagai waktu yang tepat merebut kekuasaan dari tangan Jepang.  

Hadiah kemerdekaan yang sudah lama diiming-imingkan oleh Jepang tampaknya selalu diulur-ulur. Untuk menghindari penundaan pelaksanaan proklamasi yang sudah dibentuk sejak lama, maka kelompok pemuda mengasingkan Soekarno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Pada tanggal 15 Agustus pada saat itu sambungan radio di seluruh nusantara terputus sebagai upaya Jepang menutup-nutupi berita kekalahan mereka kepada negara sekutu.

Setelah Soekarno, Bung Hatta, dan Ahmad Soebardjo  terlebih dahulu memastikan bahwa negara Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Kelompok pemuda yaitu Sukarni dan rombongan membawa Soekarno, Bung Hatta, Ibu Fatmawati beserta Guntur anaknya yang masih berumur satu tahun ke rumah Djiaw Sie Kiong.

"Penculikan" oleh kelompok pemuda ini bertujuan untuk mendapatkan persetujuan dari perwakilan golongan tua di mana kelompok pemuda mendesak agar Soekarno dan Hatta mempercepat pembacaan proklamasi.

Dokpri-halaman depan rumah
Dokpri-halaman depan rumah
Mengasingkan mereka ke Rengasdengklok untuk mencegah pengaruh pihak Jepang yang sangat mungkin mengubah keputusan mereka memundurkan hari pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan sekaligus menghindari aksi pertumpahan darah seperti yang terjadi di Blitar dan tempat-tempat lain, supaya usaha mereka kali ini berhasil.

Menggunakan dua pick up dikawal tentara regu tanah air, mereka menuju Rengasdengklok pada 16 Agustus dini hari.

Kisah ini menemani perjalanan kami menuju Rengasdengklok pada saat itu, dituturkan oleh Bapak Rusli, mantan pejuang yang mengerti banyak tentang masa peristiwa Rengasdengklok.

***

Dalam rangka menumbuhkan semangat nasionalisme kepada terutama anak muda, Komunitas Jelajah Budaya yang diketuai oleh Bapak Kartum Setiawan dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok), mengadakan acara Napak Tilas Rengasdengklok. Tepatnya menjelang peringatan hari kemerdekaan nasional pada tanggal 12 bulan ini. Acara ini bertepatan di hari kelahiran Bung Hatta.

Clicksiana bersama-sama kedua komunitas ini menyaksikan bukti sejarah peristiwa pengasingan Soekarno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Peserta yang hadir berasal dari semua kalangan umur. Ada pula peserta yang membawa anak-anak mereka, membuat acara menjadi unik.

Dari Munasprok kami menggunakan dua bus pariwisata dan tiba di Rengasdengklok 3 jam kemudian. Kami berada di bus pertama yang ditempati Bapak Rusli.

Dokpri-ruang tengah
Dokpri-ruang tengah
Setibanya bus yang kami tumpangi di Tugu kebulatan Tekad, dari sana semua peserta berjalan kaki menuju rumah Djiaw Sie Siong. Rumah yang digunakan sebagai tempat pengasingan Soekarno dan Bung Hatta.

Disambut oleh Ibu Yanto dan cucu Djiaw Kie Siong, kehadiran kami memenuhi rumah bersejarah itu.

Rumah sederhana yang sekarang sudah mengalami beberapa penambahan. Di bagian belakang dijadikan sebagai tempat tinggal menetap keluarga Ibu Yanto. Rumah tersebut tampak masih utuh dan kamar di mana Soekarno dan Bung Hatta menginap pun terlihat sangat rapi. Setiap hari rumah Djiaw Kie Siong dibuka kepada siapa saja yang ingin berkunjung alias terbuka untuk umum.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Menurut penuturan ibu Yanto, rumah Djiaw Kie Siong, di mana kami berada adalah rumah asli yang sudah dipindahkan lokasinya. Rumah tersebut dibangun pada tahun 1920.

Rumah sebenarnya pada saat itu terletak di pinggir sungai Citarum. Tak begitu jauh dari lapangan Tugu Kebulatan Tekad. Posisinya tepat berada di belokan sungai yang mana tanah di sekitarnya kian hari semakin terkikis. 

Maka, pada tahun 1970, rumah Djiaw Kie Siong dipindahkan secara utuh ke tempat di mana rumah yang kami kunjungi berada sekarang. Dari rumah ini, kami bisa melihat Sungai Citarum  dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Dokpri-Lokasi rumah Djiaw Kie Siong berdiri di pinggir sungai Citarum sebelum dipindahkan
Dokpri-Lokasi rumah Djiaw Kie Siong berdiri di pinggir sungai Citarum sebelum dipindahkan
Rumah Djiaw Sie Kiong secara langsung tidak berhubungan dengan Soekarno dan Bung Hatta, tetapi menurut kelompok pemuda, rumah Djiaw Sie Kiong merupakan tempat yang paling aman sebagai tempat pengasingan.

Pada saat itu daerah Rengasdengklok masih tergolong terpencil membuat rumah Djiaw Sie Kiong. Adanya tentara PETA disana menjadikan Rengasdengklok dianggap paling aman. Anak Djiaw Sie Kiong adalah anggota di Peta (Tentara Pembela Sukarela Tanah Air).

Pada tanggal 16 Agustus malam pukul 18.00 WIB, Ahmad Soebardji menjemput Soekarno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta untuk merumuskan Naskah Proklamasi yang telah direncanakan akan dibacakan esok harinya.

Setelah mencoba mencari tempat, akhirnya mereka menemukan tempat di rumah Maeda, orang Jepang yang menjabat sebagai perwira penghubung angkatan laut pada saat itu. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan kelompok pemuda merumuskan naskah proklamasi pukul 03.00 WIB.

Sekarang rumah Maeda dijadikan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang sekarang (Munasprok).

***

Mengikuti rangkaian acara ini memberi kesempatan kepada kami untuk menelusuri secara langsung tempat bersejarah nasional yang punya kisah menarik. Walaupun waktu pengasingan terbilang sangat singkat, tetapi sangat menentukan peristiwa kemerdekaan nasional.

Melalui kunjungan ini, seketika kami bersyukur dapat balik ke Jakarta dengan selamat. Berbeda sekali dengan Soekarno, Bung Hatta, Ahmad Soebardjo, kelompok pemuda (Sukarni, dkk) yang mana saat itu mereka berada di bawah pengawasan tentara Jepang, siap bertaruh nyawa demi merebut kemerdekaan.

Kiranya, semangat nasionalisme dalam diri anak muda sudah seharusnya senantiasa tumbuh melalui kerja dan karya agar kita menjadi bangsa yang merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun