Mohon tunggu...
Enjang Muhaemin
Enjang Muhaemin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Enjang Muhaemin, selain menjadi wartawan, juga sebagai staf pengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kampus, Menulis, dan Media Massa

6 Mei 2011   15:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:00 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menumbuhkan budaya tulis-menulis di kalangan masyarakat kampus memiliki nilai urgensitas yang sangat penting. Bukan hanya akan mendorong lahirnya pemikir-pemikir yang brilian, kritis dan cerdas, juga akan memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan masyarakat yang beradab dan berwawasan ke depan.

Namun sayangnya, budaya menulis itu belum tumbuh dengan baik. Terbukti, kalangan kampus yang aktif menulis di media cetak, bisa dibilang itu-itu saja. Jumlahnya relatif sangat terbatas. Penulis-penulis baru nyaris tak terlihat. Kalau pun lahir sungguh sangat terbatas. Bahkan boleh jadi, dari satu perguruan tinggi, dalam satu tahun hanya lahir satu atau dua penulis baru.

Lahirnya satu atau dua penulis baru dari lingkungan perguruan tinggi ini, juga tidak merata. Bahkan sangat mungkin jadi, lebih banyak perguruan tinggi yang belum mampu melahirkan seorang penulis pun. Simak dan cermati saja di berbagai media cetak: kalangan akademisi mana saja yang biasa menulis di media cetak dan kalangan akademisi mana saja yang sama sekali belum muncul.

Budaya menulis di kalangan masyarakat kampus sebenarnya telah dirintis sejak mahasiswa tingkat satu. Dari mulai kewajiban membuat makalah, paper, kertas kerja, hingga laporan penelitian. Namun upaya ini tampaknya tidak banyak membuahkan hasil. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, tidak berdampaknya rintisan budaya menulis melalui tugas perkuliahan di atas karena beberapa sebab.

Satu di antara penyebabnya yakni budaya jiplak yang kronis. Ambil contoh ketika mahasiswa diberi tugas untuk membuat makalah. Sebagai pengajar kita bisa terkagum-kagum, karena isi makalahnya luar biasa hebatnya. Ide dan pemikiran yang ada di makalah itu sungguh luar biasa untuk ukuran mahasiswa. Namun sayangnya, setelah dilakukan pengecekan referensi, ternyata isi makalahnya banyak yang sekadar memindahkan begitu saja dari buku-buku yang mereka jadikan rujukan.

Tak heran bila isi makalah sang mahasiswa itu sangat luar biasa. Betapa tidak, karena ide dan pemikirannya yang terdapat di makalah tersebut adalah ide dan pemikiran para profesor dan doktor yang mereka 'kutip' dari beragam buku. Budaya buruk di atas, jelas memunculkan paradoks antara niatan untuk menumbuhkan budaya menulis dengan realitas jiplak-menjiplak yang semakin kronis.

Realitas tersebut tentu saja tak berarti kewajiban mahasiswa untuk membuat makalah atau paper itu dihapuskan. Yang perlu diluruskan adalah bagaimana para mahasiswa itu didorong untuk menulis makalah dan paper dengan ide dan pemikirannya yang orisinal, bukan jiplakan. Adapun pemikiran para profesor doktor yang kerap mereka 'kutip' mestinya hanya sebatas penguat argumen di dalam menulis makalah.

Menumbuhkan keberanian para mahasiswa di dalam menuangkan ide dan gagasannya, juga layak mendapat perhatian para pengajar di lingkungan perguruan tinggi. Selama ini, tak sedikit para dosen, yang terjebak pada pemahaman yang salah kaprah tentang kualitas sebuah makalah. Makalah yang baik kerap diidentikkan dengan banyaknya kutipan, dan banyaknya buku rujukan. Bukan menilai sejauhmana orisinalitas ide dan pemikiran para penulis makalah itu.

Para dosen sudah saatnya mendorong para mahasiswa untuk berani membuat makalah dengan ide dan pemikiran yang orisinal. Para pengajar pun harus berani memberikan teguran keras terhadap mahasiswa-mahasiswa yang membuat makalah dengan cara menjiplak mentah-mentah.

Di sisi lain, para pengajar di perguruan tinggi juga harus mendorong para mahasiswanya untuk terbiasa menulis di media massa. Dorongan ini, tentunya, harus dilakukan dengan bentuk yang konkrit. Misalnya, berani memberi nilai plus atau kredit point bagi mahasiswa yang terbukti mampu menulis di media massa. Upaya ini belum banyak dilakukan, kalaupun ada, baru satu dua dosen saja.

Pola di atas, diyakini akan mampu mendorong budaya menulis di kalangan mahasiswa. Upaya ini tentu akan lebih baik bila kalangan akademisi juga memberikan contoh riil dengan membiasakan diri menulis untuk media massa. Ini akan menjadi stimulan cukup baik bagiu tumbuhnya para penulis dari kalangan mahasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun