"Orang yang sibuk memperbaiki dirinya sendiri tidak akan punya waktu untuk mengkritik orang lain." (Mahatma Gandhi)
Kalimat dari Gandhi ini rasanya begitu relevan dengan kehidupan kita sehari-hari, terutama di tempat kerja. Banyak dari kita mungkin pernah mengalami situasi, datang dengan niat bekerja baik-baik, namun tiba-tiba terdengar komentar miring dari rekan kerja.
Ada yang mengomentari baju kita, cara kita berbicara, bahkan hal sepele seperti menu makan siang. Semua itu sering disampaikan tanpa filter, seolah-olah lidah tak punya rem.
Fenomena komentar negatif ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga bisa merusak suasana kerja yang seharusnya kondusif. Lalu, mengapa orang begitu mudah mengucapkan hal-hal buruk tentang orang lain?
Perlu dibedakan antara kritik membangun dengan komentar negatif. Kritik membangun hadir dengan niat memperbaiki. Misalnya, atasan memberi masukan tentang cara presentasi kita agar lebih jelas dan terstruktur. Itu bentuk kepedulian.
Sebaliknya, komentar negatif biasanya datang spontan, tanpa tujuan memperbaiki. Contoh paling sederhana, "Wah, bajumu merah banget, silau lihatnya!" atau "Kamu kok makan melulu, nggak takut gemuk?" Perkataan seperti ini bukanlah masukan, tapi hanya melukai dan membuat suasana tidak nyaman.
Mengapa orang begitu mudah memberi komentar buruk? Dalam psikologi, ada istilah projection, yaitu kecenderungan seseorang menyalurkan rasa kurang percaya diri dengan menyalahkan atau merendahkan orang lain.
Ambil contoh soal baju merah tadi. Orang yang mengomentari bisa jadi sebenarnya ingin memakai baju merah, tapi tidak percaya diri. Karena keinginan itu tidak terpenuhi, ia melampiaskannya dengan menjelekkan orang lain. Jadi, komentar negatif sering kali bukan cerminan kita, melainkan cerminan dari hati si komentator.
Hal ini juga berlaku pada banyak kasus lain, misalnya seseorang mengolok rekan kerja yang aktif berbicara di rapat, bisa jadi ia sendiri ingin berani bicara, tapi takut salah.
Seseorang menertawakan gaya rambut baru, sebenarnya ia ingin mencoba gaya berbeda, tapi khawatir tidak cocok. Dengan kata lain, komentar negatif sering berakar dari rasa iri, minder, atau kurang percaya diri.
Suasana kantor yang penuh komentar miring bisa berubah menjadi toxic. Energi yang seharusnya digunakan untuk bekerja malah habis karena gosip dan ocehan.
Fakta ini bisa berdampak hal-hal yang buruk dilingkungan kerja, pertama produktivitas menurun. Rekan kerja kehilangan fokus karena merasa tidak nyaman.
Kedua, hubungan renggang. Komentar pedas bisa menimbulkan jarak antar pegawai. Ketiga, motivasi melemah. Orang yang sering dikomentari bisa merasa rendah diri dan enggan menunjukkan potensinya.
Lingkungan kerja semacam ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga perusahaan secara keseluruhan.
Menghadapi komentar buruk memang tidak mudah, tapi ada beberapa cara yang bisa dilakukan:
1. Saring telinga.
Tidak semua komentar perlu dimasukkan ke hati. Anggap saja angin lalu. Masukkan telinga kiri keluarkan telinga kanan, wuss.
2. Fokus pada tujuan.
Ingat kembali mengapa kita bekerja: untuk berprestasi, mencari rezeki, atau mengembangkan diri. Jangan sampai omongan orang membuat kita lupa tujuan.
3. Ambil sisi positif.Â
Kalau ada sedikit kebenaran dalam komentar itu, jadikan bahan perbaikan. Kalau tidak ada, tinggalkan saja.
Mengabaikan komentar negatif bukan berarti lemah, tapi justru menunjukkan kedewasaan kita dalam mengelola emosi.
Alih-alih sibuk mencari kekurangan orang lain, kita bisa mulai membangun budaya positif di tempat kerja. Caranya sederhana, jika ada rekan kerja memakai baju baru, pujilah, jangan sebaliknya.
Kalau tidak suka sesuatu, lebih baik diam daripada menyakiti hati. Belajar menyampaikan kritik dengan sopan, misalnya dengan bahasa yang lebih halus dan fokus pada solusi. Dengan begitu, suasana kantor bisa menjadi lebih sehat, nyaman, dan produktif.
Fenomena komentar negatif sebenarnya lebih banyak menceritakan kelemahan si pemberi komentar daripada orang yang dikomentari. Seperti kata Gandhi, orang yang sibuk memperbaiki dirinya sendiri tidak akan punya waktu untuk sibuk mengomentari orang lain.
Daripada menghabiskan energi untuk mencari kekurangan rekan kerja, bukankah lebih baik jika kita menggunakannya untuk memperbaiki diri?
Pertanyaannya sederhana, mau jadi orang yang menebar semangat, atau yang hanya menebar komentar tanpa manfaat?
Blitar, 25 September 2025
ENIK RUSMIATI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI