"Bu Sum, tidak mengungsi?" pertanyaan lelaki penjual mainan anak-anak ini membuyarkan lamunan bu Sum.
"Ngungsi kemana mas, dari kecil kami tinggal di suni, rumah ini merupakan warisan mbah saya," jawab bu Sum
"Kata warga, air sungai sudah sampai atas, ke pekarangan lo," lelaki itu berusaha meyakinkan bu Sum.
"Setiap hujan, Â juga seperti ini mas, kami warga kampung Ledoka selalu jadi sasaran banjir atas cara hidup masyarakat yang ada di atas sana," ada nada jengkel di suara Mbok Sum.
"Seandainya orang-orang itu mau sedikit peduli dengan lingkungan, tidak membuang sampah di sungai, tidak menebang pohon-pohon untuk kepentingannya sendiri, kami warga Kampung Ledokan tidak menderita akibat banjir seperti ini mas," jelas bu Sum kecewa.
Bu Sum sudah pasrah dengan 'budaya' banjir tiap tahun ini. Karena banjir ini juga yang telah memporak-porandakan usaha peternakan ayam suaminya.
Setelah lulus sekolah menengah atas, bu Sum menikah dengan lelaki pilihan teman sekolahnya. Karena bu Sum anak tunggal, maka suaminya harus tinggal di kampung Ledokan, meneruskan usaha peternakan ayam milik orangtuanya setelah mereka meninggal dunia.
Namun badai prahara banjir  telah merenggut semua ayam-ayamnya tanpa sisa. Karena beban yang terlalu berat itu, suami bu Sum menderita sakit lambung dan akhirnya harus pergi untuk selama-lamanya meninggalkan satu anak perempuan.
"Bu Sum, ayo Bu, kita ngungsi dulu, semua warga sudah mulai menuju ke daerah atas," teriak salah satu warga
Bu Sum tetap bergeming, menatap rintik hujan yang semakin deras di depan rumahnya. Para langganan kopi satu persatu mulai meninggalkan warungnya.
Bu Sum sendiri, dalam dinginnya hujan yang mulai menghantui prahara luka  lama. Anak perempuan satu-satunya sudah hidup bahagia bersama keluarga kecilnya di luar daerah.