Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadiah Indah Menjelang Senja

13 April 2013   11:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:16 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dibiarkannya hapenyakluntang klunting sesorean. Ia sedang enggan meraih hape dan bercengkerama dengan teman temannya seperti biasa. Tumben, padahal biasanya benda mungil itu hampir tak pernah lepas dari tangannya, kecuali saat mandi.

Wita sedang berdiri di ambang jendela lantai dua rumahnya yang sejuk di daerah wisata Kaliurang. Udara di lereng gunung yang tersohorhingga ke seantero dunia itu mampu menenggelamkannya dalam lamunan yang panjang.

Hujan masih saja turun, meski hanya gerimis. Hawa dingin menelusup ke seluruh ruangan, meninggalkan buram di kaca jendela. Dengan ujung jarinya Wita mulai mencoret coret, mencoba menggambar seraut wajah yang sangat dirindukannya.

“Andre….andai saja kau mau mendengar penjelasanku….”, desahnya.

Dielusnya perutnya yang masih tetap rata. Entah sudah berapa lama mereka menunggu makhluk mungil yang diharapkannya bisa meramaikan rumah tangga mereka yang sepi dari suara tangis bocah.

Sudah sejak lama mereka bersitegang soal bocah yang tak kunjung hadir di antara mereka. Hasil pemeriksaan dokter, serangkaian test laboratorium yang mereka jalani – bahkan dengan bosan, dan entah test apalagi sudah mereka tempuh. Berpuluh puluh dokter kandungan yang mereka datangi mengatakan bahwa mereka berdua sehat, tak ada kekurangan apapun. Tapi tetap saja, perut Wita masih saja rata. Tamu bulanannya pun tetap rajin datang menyambangi.

******** Hadiah Indah Menjelang Senja ********

Empat bulan yang lalu Wita meminta Andre menikah kembali demi mendapatkan keturunan yang lama didambakannya.

“Apa?? Kau sudah gila Wita……”, Andre hampir berteriak saking kagetnya.

“Dengar dulu penjelasanku mas. Aku tidak tahan lagi dengan pandangan penuh selidik dari keluargamu. Aku juga sudah nrima kalau memang aku yang mandul……” isak Wita.

“Tidak. Tidak mungkin……Kau gila Wita”. Andre berjalan mondar mandir. Rahangnya mengeras.

“Aku yang akan mencarikan istri buatmu mas. Kau ingat, sebentar lagi usiaku menginjak 40 tahun. Usia yang rawan untuk hamil, apalagi anak pertama…” panjang lebar Wita menjelaskan maksudnya.

“Tapi Wita……”. Andre kehabisan kata kata. Ia terduduk di sofa, meremas remas rambutnya.

Ia tak habis mengerti dengan jalan pikiran Wita yang dianggapnya sudah gila. Bagaimana mungkin, seorang istri dengan senang hati mencarikan istri baru untuk suaminya demi anak keturunan? Apalagi, Wita sudah memvonis dirinya sendiri yang mandul.

Bukankah dokter mengatakan bahwa mereka berdua sehat? Hasil serangkaian test laboratorium juga menunjukkan rahim dan sperma mereka tak bermasalah? Andre masih tak mengerti alasan Wita. Terbuat dari apakah hatinya sebenarnya? Apakah ia tak mencintainya lagi?

******** Hadiah Indah Menjelang Senja ********

Beberapa waktu yang lalu Wita memeriksakan diri pada dokter Harris. Ia sengaja tak memberitahukan hal itu pada Andre, ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa sebenarnya tak ada yang salah pada kesehatannya.

“Bu Wita….silahkan duduk” dokter Harris mempersilahkan dengan ramah.

“Sebentar yaa. Saya lihat dulu hasil labnya….nah, ini dia” selembar kertas hasil print out terhampar di mejanya. Wajahnya berkerut kerut, seolah tak percaya pada tulisan yang berbaris rapi di dalamnya.

Paras Wita menegang tiba tiba. Ketakutan dan kekhawatiran membayang jelas di wajahnya yang pucat pasi. Keringat berbintik di keningnya, jari jarinya gemetar menantikan vonis dari dokter kandungan di hadapannya.

“Ibu masih ingat kapan terakhir kalinya mendapatkan haid?” tanyanya hati hati.

Wita menggeleng. Sudah beberapa bulan ini ia tidak memperhatikan jadwal tamu bulanannya.

“Coba diingat ingat lagi. Apakah bulan lalu? Dua tiga bulan yang lalu?”. Seulas senyum membayang di wajah dokter yang tampan itu. Ia sedang berteka teki, dan menggoda Wita rupanya.

Wajah Wita yang menyiratkan kebingungan membuat dokter Harris tertawa kecil. Disalaminya tangan perempuan itu erat erat sambil menepuk pundaknya pelan.

“Selamat ya bu Wita, anda sedang berbadan dua….”, wajahnya yang sumringah menandakan kegembiraannya.

“Apa dokter tidak salah lihat? Aku….aku hamil dok?” Wita seolah tak percaya pada pendengarannya sendiri.

Wita melonjak kegirangan demi dilihatnya anggukan dokter Harris. Ia sungguh tak mengira mendapatkan anugerah yang didambakannya ini.

******** Hadiah Indah Menjelang Senja ********

Kegembiraan dan kebahagiaan yang dirasakan Wita tak berlangsung lama. Tak ada seorang pun yang percaya pada berita yang dibawanya. Mereka menganggap Wita terlalu terobsesi dengan kehamilan hingga membuatnya setengah gila.

“Sebaiknya kita bawa Wita ke rumah sakit jiwa saja.Ia sudah mulai ngelantur, berkhayal sedang berbadan dua”, tantenya menyela suara riuh rendah di ruang tamu itu. Wajahnya mengerenyit, seakan sedang berhadapan dengan orang gila yang menjijikkan.

Sudah sejak lama mereka apriori pada Wita, bahkan sejak pernikahan mereka yang tak kunjung diramaikan oleh tawa dan tangis bayi, benih benih ketidak sukaan itu sudah mulai muncul. Ada saja sindiran, pertanyaan basa basi hingga tuduhan menyakitkan mampir di telinganya. Yang mandul lah, yang tak bisa melayani suami lah, yang tak menjaga kesehatan rahimnya lah…..seribu satu kata kata miring hampir selalu didengarnya.

“Ssstt…perempuan mandul. Perempuan gabug……” begitu bisik bisik mereka saat Wita melintas.

“Andre pria bodoh. Kenapa tak diceraikannya istri yang tak bisa memberinya keturunan?” kata bibinya yang lain.

Entah apa lagi, Wita tak mau mempedulikannya. Baginya, Andre adalah suami yang sangat mencintainya. Itu saja. Ia tak mau meributkan hal lain diluar kehidupannya. Buat apa? Toh selama ini ia yang menjalani bersama Andre. Orang lain? Mereka hanya melihat dari jauh, menilai dari satu sisi, dan menghakimi berdasarkan pemahaman dan ukuran mereka sendiri.

Dua bulan yang lalu Andre mengunjunginya diam diam. Meskipun Andre belum sepaham dalam menyikapi usulan Wita, tetapi perempuan itu tetap melayani suaminya dengan penuh kasih sayang.

“Bi Minah, sebaiknya bibi libur barang dua tiga hari dulu. Aku pengin sendirian….” Wita mengusir pembantunya secara halus.

“Non….non tidak apa apa kalau bibi tinggal?” sahutnya khawatir. Majikannya terlihat lelah, pucat dan kurang sehat.

“Enggak bi, aku nggak apa apa. Aku hanya ingin merenung….”.

Bi Minah mengangguk, setelah membereskan seluruh pekerjaannya, ia pun berpamitan pulang. Tak lupa Wita menyelipkan beberapa lembar limapuluhan ribu sebagai bekal pulang ke desanya.

Andre muncul di gerbang tepat ketika taksi yang membawa Bi Minah berbelok di tikungan. Wita menghela nafas lega. Rencananya akan berhasil mulus kali ini.

Dua hari. Yaa, hanya dua hari. Wita sangat menikmati kebersamaannya bersama Andre di rumah gunung yang sejuk itu. Hujan bulan Maret seperti memahami keinginannya bermanja manja. Hampir sepanjang hari turun membasahi dedaunan, kabut pun melayang bersuka cita menikmati siramannya.

******** Hadiah Indah Menjelang Senja ********

“Tidak tante…..tidak. saya tidak setuju!” Andre menghentakkan kakinya. Ia tak mengerti alasan tante dan keluarga besarnya yang menganggap Wita telah gila.

“Andre, dengar. Beberapa hari yang lalu ia mengabarkan kalau ia sedang mengandung! Kau pikirlah sendiri. Mana mungkin ia bisa hamil. Sudah berbulan bulan ia tinggal di sini, sendirian…..” tantenya menjawab sengit. Nampak sekali nada ketidak sukaannya yang besar pada Wita.

“Apaa? Jadi…jadi…..” Andre menghentikan ucapannya. Ia segera terbang mendapatkan Wita yang tengah berjalan jalan di kebun belakang rumah.

Andre memeluk Wita yang sedang asyik mengelus dan membelai tanaman bunga kesayangannya. Dihujaninya sekujur wajah perempuan yang sangat dicintainya itu dengan ciuman hangat. Pipinya, hidungnya, keningnya, kedua matanya…… wajahnya bersinar sinar menandakan kebahagiaannya.

“Apa apaan ini mas…mas….jangan….” Wita gelagapan mendapatkan serangan ciuman yang tiba tiba. Rona merah membayang di wajahnya yang lebih pucat dari biasanya.

“Mana….mana hasil labnya? Aku boleh liat kan?” serunya riang.

“Jadi….jadi…mas….mas percaya?” Wita bertanya penuh harap.

“Tentu saja. Allah selalu punya keajaiban untuk hambaNya yang pasrah dan tawakal padaNya”. Senyum laki laki itu menenteramkannya.

“Tolong. Simpan berita gembira ini hanya untuk kita. Yaa….” Wita memohon dengan manis.

Sambil bergandengan tangan mereka beriringan masuk ke rumah. Tantenya berkacak pinggang di ujung tangga. Telunjuknya lurus mengarah ke wajah Wita yang gemetaran. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang Andre.

“Andre!” gelegarnya. “Kau antar isterimu yang gabug itu ke rumah sakit jiwa atau kami yang akan menyeretnya kesana…” ancamnya.

“Tidak perlu tante. Saya yang akan mengantarnya sendiri. Tante….dan Tante….” Tangannya menunjuk ke arah tantenya yang lain. “tak perlu ikut campur dalam masalah keluargaku. Aku bisa menyelesaikannya ….. sendiri….” geramnya.

******** Hadiah Indah Menjelang Senja ********

“Lalu…bagaimana dengan masa depan Diana mas?” Wita bertanya hati hati. Mereka sedang duduk berduaan di ayunan kayu yang diletakkan di beranda.

“Aku belum menikahinya Wita……” jawabnya kalem. Senang rasanya dicemburui perempuan yang sangat dikasihinya ini.

“Jadi? Jadi mas belum?” suara Wita tercekat di kerongkongan. Air matanya membayang di pelupuk.

“Aku memang mengiyakan permintaanmu waktu itu Wita. Sekedar menyenangkan hatimu, membuatmu bahagia. Tetapi….”.

“Tetapi apa?”, sambarnya.

“Aku tak bisa melakukannya. Kau sangat tahu itu….” Jawab Andre jenaka.

“Lagi pula, hati kecilku berkata benar. Kita berdua tidak mandul. Kesabaran dan ketabahan kita sedang diuji. Hasilnya? Ini…..” Andre menunduk, mencium perut Wita yang mulai nampak membuncit.

Ini bulan ketiga mereka tinggal di rumah sederhana di kawasan Pakem. Kedua tantenya percaya bila Andre telah mengantarkan Wita ke rumah sakit jiwa seperti permintaan mereka dulu. Tak ada seorangpun yang menanyakan keadaannya, atau bahkan menengoknya ke rumah sakit.

Andre bersyukur, ia telah berhasil mempertahankan rumah tangganya dari rongrongan keluarga besarnya.

~~ seputaran Jakal 12 04 13 ~~

=====%%%%%%%=====

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun