Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teguran Rokok dan Sikap Manja

14 Oktober 2025   10:36 Diperbarui: 14 Oktober 2025   10:36 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus seorang guru di SMAN 1 Cimarga, Lebak, yang menampar muridnya karena ketahuan merokok, menjadi sorotan publik. Gelombang reaksi pun muncul --- sebagian menilai tindakan sang guru tidak manusiawi, sebagian lain merasa itu wajar sebagai bentuk disiplin.

Tentu, kekerasan fisik tak pernah bisa dibenarkan. Sekolah bukan tempat untuk menyalurkan amarah. Namun di balik kasus ini, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: Apakah generasi muda kita hari ini masih memahami arti teguran dan batas?

Zaman yang Mudah Tersinggung

Kita hidup di masa ketika teguran sering disalahartikan sebagai serangan, dan disiplin dianggap bentuk kekerasan. Anak-anak mudah tersinggung, orang tua mudah melapor, dan guru---yang dulu menjadi figur otoritas---kini harus berhitung bahkan untuk marah. Padahal, tidak semua kemarahan lahir dari kebencian. Kadang, itu justru bentuk cinta yang salah cara. Guru bisa salah, tentu saja. Tapi bagaimana dengan murid yang sudah lebih dulu melanggar?

Kasus di Cimarga mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya tentang angka dan nilai, melainkan tentang membentuk manusia yang memahami batas dan tanggung jawab.

Kisah Seorang Wanita 80 Tahun

Saya pernah bertemu seorang wanita berusia 80 tahun. Tubuhnya sudah ringkih, pandangannya sayu, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dilupakan --- semacam penyesalan yang dalam. Ia tak bisa membaca. Tak bisa menulis. Bahkan untuk menulis namanya sendiri, ia tak mampu. Padahal, dulunya ia adalah anak seorang pengusaha kaya di kaltim. Hidupnya berkecukupan. Apa pun yang diinginkan, selalu didapat.

"Kalau nggak mau sekolah, ya nggak usah," kata orang tuanya dulu. "Yang penting kamu bahagia." Kakak-kakaknya diberi pesan untuk selalu menuruti adik bungsu itu. Maka hidupnya pun mengalir tanpa batas, tanpa teguran, tanpa disiplin. Semua dituruti, semua dimanja.

Tahun demi tahun berlalu. Orang tuanya meninggal, dua kakaknya juga berpulang. Suaminya pun wafat. Kini ia sendirian di rumah besar yang dulu penuh tawa. Ia divonis mengalami skizofrenia ringan, sering lupa hal-hal kecil, dan kadang menangis tanpa sebab. Dalam satu percakapan, ia berbisik lirih, "Andai dulu aku dipaksa sedikit saja untuk belajar, mungkin aku tidak begini." Kalimat itu menancap dalam.

Betapa banyak orang tua berpikir bahwa melarang, menegur, bahkan memaksa itu menyakitkan --- padahal justru itulah wujud cinta yang sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun