Mohon tunggu...
Muhammad Endriyo Susila
Muhammad Endriyo Susila Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Berminat pada kajian seputar Hukum Kesehatan (Health Law), khususnya Hukum Kedokteran (Medical Law), lebih khusus lagi Hukum Malpraktik Medik (Medical Malpractice Law). Latar Belakang Pendidikan: SH (UNDIP), MCL (IIUM), PHD (IIUM)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Malpraktik (Medik) Pidana vs Tindak Pidana Medik

25 Agustus 2020   09:54 Diperbarui: 25 September 2020   13:34 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam ilmu hukum kesehatan, ada dua istilah yang digunakan untuk menyebut pelanggaran ketentuan hukum pidana oleh tenaga medis, yaitu 'malpraktik medik pidana (malpraktik pidana)' dan 'tindak pidana medik.' Dua konsep ini sebenarnya belum matang, tetapi sudah terlanjur diwacanakan sehingga menimbulkan kerancuan. 

Konsep malpraktik pidana diperkenalkan pertama kali sekitar tahun 2002 oleh seorang penulis. Istilah malpraktik pidana (criminal malpractice) digunakan untuk menyebut kategori malpraktik medik yang berimplikasi pemidanaan yang membedakannya dengan malpraktik perdata (civil malpractice) dan malpraktik administrasi (administrative malpractice). Contoh yang diberikan oleh si penulis untuk malpraktik pidana adalah aborsi ilegal dan euthanasia.

Seiring dengan berjalannya waktu, muncul pula konsep baru yaitu 'tindak pidana medik'. Istilah tindak pidana medik muncul dalam wacana akademik kira-kira sejak lima tahun yang lalu. Penggagas konsep ini menginginkan agar pelanggaran ketentuan hukum pidana oleh tenaga medik tidak dijerat dengan ketentuan undang-undang yang bersifat umum (lex generalis), tetapi dengan ketentuan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis). Asumsinya sederhana saja, pelanggaran ketentuan hukum pidana yang dilakukan oleh tenaga medis (yang dikonstruksikan sebagai tindak pidana medik) merupakan tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum, oleh karenanya tunduk pada ketentuan yang bersifat khusus bukan ketentuan umum (KUHP). Dalam hal ini, ketentuan khusus yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan khususnya Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Sayangnya, kurang begitu jelas tindak pidana apa saja yang masuk kategori tindak pidana medik ini. Jika contohnya adalah tindak pidana aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 194 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, maka muncul pertanyaan, apakah bedanya malpraktik pidana dengan tindak pidana medik?

Secara konseptual, malpraktik (medik) pidana seharusnya berbeda dengan tindak pidana medik. Tapi jika contoh yang digunakan untuk menggambarkan kedua konsep tersebut adalah sama (misalnya aborsi ilegal), maka hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan. Jika tindak pidana medik difahami sebagai bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan profesi medik, maka aborsi ilegal merupakan contoh yang tepat karena dalam banyak kasus, tindakan aborsi dilakukan oleh atau mendapat bantuan dari tenaga medik. Lalu, apakah tepat menggunakan tindak pidana aborsi sebagai contoh dari apa yang disebut dengan istilah malpraktik (medik) pidana? Menurut saya itu tidak tepat. Apa argumentasinya?

Sebelumnya perlu dideskripsikan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan malpraktik medik dan kapan ia masuk kategori tindak pidana sehingga bisa disifati sebagai malpraktik medik pidana (malpraktik pidana). 

Salah satu unsur esensial dalam malpraktik medik adalah adanya kerugian yang dialami oleh pasien (patient's damage). Kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari kelalaian dokter (doctor's negligence). Pada dasarnya, kelalaian dokter yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak pasien merupakan pelanggaran hukum perdata (onrectmatige daad). Peristiwa hukum tersebut bisa berubah menjadi tindak pidana (strafbaar feit) hanya apabila terdapat unsur kesalahan fatal yang disebut dengan gross negligence (culpa lata). Jadi kenaikan status dari onrechtmatige daad menjadi strafbaar feit itu karena sifat kesalahannya bukan bentuk kerugiannya. Dengan demikian, meskipun pasien meninggal dunia, tetapi jika tidak ditemukan unsur gross negligence maka statusnya tetap sebagai onrechtmatige daad, oleh karenanya tindakan hukum (legal action) yang bisa dilakukan terhadap dokter adalah gugatan ganti kerugian (civil action for damages), bukan tuntutan pidana (criminal prosecution).


Kembali pada persoalan semula, pada kasus aborsi ilegal, dasar dapat dipidananya perbuatan tersebut adalah karena menghilangkan nyawa janin, bukan karena menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak pasien. Pasien (ibu hamil) justeru merasa diuntungkan jika janin yang dikandungnya berhasil digugurkan. Bukankah untuk tujuan itu, ia bersedia membayar biaya aborsi? Dalam kasus tersebut, unsur kerugian pasien tidak ada, oleh karena itu meskipun berimplikasi pemidanaan, peristiwa hukum tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai malpraktik pidana. Ia adalah tindak pidana biasa, bisa dikategorikan sebagai tindak pidana medik karena pelakunya adalah tenaga medik.

#Hukum #HukumKesehatan #TindakPidanaMedik #MalpraktikMedik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun