Saya lahir di Indonesia pada tahun 1982 dari keluarga sederhana, tanpa harta, tanpa gelar, tanpa privilese. Sejak kecil saya tahu, kalau ingin hidup lebih baik, saya harus berjuang lewat pendidikan. Namun, jalan menuju sekolah bukan hal mudah bagi anak dari keluarga biasa seperti saya.
Sejak SD saya sudah ikut orang lain, membantu pekerjaan mereka agar diizinkan bersekolah. Kadang disebut "budak", tapi bagi saya itu bukan hinaan. Itu adalah bentuk perjuangan. Saya belajar di sela-sela kerja, menulis di bawah cahaya redup, dan berangkat sekolah dengan perut kosong, namun hati penuh semangat.
Saya membiayai sekolah sendiri, dari SD hingga perguruan tinggi. Tidak mudah, tapi saya terus melangkah. Kini, di tahun 2025, saya masih berjuang menempuh pendidikan S3, tetap dengan biaya dari hasil kerja keras sendiri. Setiap rupiah yang saya keluarkan bukan hanya untuk gelar, tapi untuk harga diri dan mimpi yang dulu saya janjikan pada diri sendiri: bahwa pendidikan akan mengubah hidup saya.
Kadang saya iri melihat negara seperti Finlandia, di mana pendidikan gratis untuk semua. Tapi kemudian saya sadar, meski saya hidup di Indonesia, saya bisa menciptakan "rasa Finlandia" dalam diri saya sendiri dengan semangat belajar tanpa pamrih, tekad tanpa batas, dan keyakinan bahwa ilmu adalah hak setiap manusia, bukan hak istimewa.
Saya bukan siapa-siapa, tapi perjuangan saya membuktikan satu hal, bahwa lahir dari keluarga biasa bukan alasan untuk menyerah. Karena yang menentukan masa depan bukan dari mana kita berasal, tapi seberapa jauh kita mau berjuang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI