Mohon tunggu...
Yanyan Endian
Yanyan Endian Mohon Tunggu... Pengacara - sederhana, smart, jujur, profesional

Master Hukum konsen dengan korporasi, pertambangan, Konstitusi dan Pemerintahan. pernah menjadi dosen selama 18 tahun, aktif dalam berbagai kegiatan sosial politik dan profesional.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Putusan No.230/G/TF/2019/PTUN.JKT

4 Juni 2020   01:19 Diperbarui: 4 Juni 2020   01:16 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan Gugatan Penggugat atas Gugatannya terhadap Menteri Kominfo, Presiden RI Cs, cukup mengusik berbagai pihak. 

Sebagaimana diketahui bahwa gugatan ini berhubungan langsung dengan peristiwa penting yang terjadi di Papua Barat yang eskalasinya pada saat itu menuntut satu tindakan tepat untuk meredakan gerakan masa yang semakin anarkis cenderung bergeser jauh mengarah pada ancaman disintegrasi bangsa. Satu langkah strategis yang diambil dengan pertimbangan tidak menimbulkan jatuh korban adalah memutus akses internet di Papua Barat.

Alhasil kemudian kebijakan ini menuai kritikan karena pemerintah telah dianggap diskriminasi terhadap kebutuhan akses internet, bahkan berbuah gugatan ke Pengadilan Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 3 Juni 2020 telah membacakan Putusannya yang pada intinya mengabulkan gugatan para penggugat dimana Para Tergugat dinyatakan melanggar hukum.

Secara yuridis formal pertimbangan majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara ini sudah berada pada jalur yang benar yaitu mempertimbangkan aspek hukum formal atau rechtmatigheid. 

Memang tidak salah, tapi mari kita cermati dan kita persoalkan. Apakah hanya ini jalan satu-satunya bagi majelis hakim dalam memberikan putusan yang adil? Bagi kalangan positivisme putusan model ini telah memenuhi hasratnya titik. 

Tapi ingat bahwa rezim positivisme ini meninggalkan lobang kelemahan yang besar dan sangat merugikan manusia beradab yang dari waktu ke waktu mengalami dinamika peradaban yang berubah cepat menyesuaikan dengan ruang dan waktu yang berjalan meninggalkan masa lalunya. 

Menurut Satjipto Rahardjo "hukum harus mengabdikan dirinya untuk manusia bukan manusia yang menghambakan diri untuk hukum". Dalam konteks putusan ini jelas majelis hakim dengan kaca mata kuda positivisme nya menghambakan untuk hukum, tidak sama sekali mengabdikan diri untuk manusia. 

Pertanyaannya, manusia yang mana yang harusnya di bela? Adalah manusia Indonesia yang utuh bukan yang terkotak-kotak. Dalam hal ini manusia Indonesia, terwakili oleh Pemerintahan yang sah dengan segala tugas dan tanggung jawabnya.

Apakah hakim boleh berfikiran progresif dalam memutuskan sebuah perkara? Jawabannya bukan boleh tapi HARUS!. Teori Etis, Teori utilitis atau Teori Campuran saja tidak cukup bagi hakim untuk memutus sebuah perkara, maka Hukum Progresif pada saat ini diyakini akan lebih memberikan keadilan yang substantif. 

Secara progresif hakim harus mengukur seberapa besar akibat yang ditimbulkan jika pemutusan akses internet di Papua Barat itu tidak dilakukan?  Pasti tak terukur dalam arti sangat besar dan boleh jadi di luar nalar hakim yang sehari hari berada di ruang sidang. 

Tidak mungkin mencapai keadilan substantif jika hakim hanya memutus pada norma positif saja. lupakan itu semua karena model seperti itu hanya ada di bangku kuliah. Saat nya Indonesia memasuki hukum moderen yang progresif. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun