Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Prau, Pelabuhan Pandang pada Puncak-puncak Daratan Jawa Tengah

25 Oktober 2013   16:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:02 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_274020" align="aligncenter" width="576" caption="wonderful layering"][/caption]

Gunung Prau. Beberapa orang biasanya mengernyitkan dahinya ketika kusebut destinasi ini. Sebagian lagi tertukar pemahaman dengan Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Gunung Prau sebenarnya berada di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Salah satu puncak dari deretan dataran tinggi Dieng. Tingginya tidak seberapa, hanya terhitung 2565 mdpl, mendakinya pun cukup mudah, dimulai pada kisaran elevasi 1900-an mdpl. Namun pesona puncaknya mulai ramai mengundang kunjungan wisatawan lokal maupun luar negeri.

[caption id="attachment_274014" align="aligncenter" width="576" caption="peak!"]

1382691712764031711
1382691712764031711
[/caption]

Mimpi Prau terwujud ketika ajakan seorang teman menggugahku untuk berkemas;

"Yuk, mbak, sekalian libur Idul Adha, bisa sekedar light-trip, sekalian pulang berlebaran". Panji yang berdomisili di Jakarta, berniat pulang kampung ke Salatiga mulai menggoyahkan keinginanku yang sebelumnya ingin menuntaskan 'obsesi' Mahameru di hari libur lebaran qurban. Ya sudah, karena ajakan mahameru belum bersambut, aku mengiyakan kunjungan ke Prau. Kukontak Adhi yang berdomisili di Wonosobo, menagih janji mengantar ke Prau. Dari anggota team yang bertiga, bergabunglah pasangan Yanis-Devya, merembet pada team adeknya Devya; Ghulam, Budi dan Satria. Fix berdelapan kami menunjuk Terminal Wonosobo sebagai tempat meeting point.

Aku datang dari Surabaya, tanpa mampir pulang Magelang terlebih dahulu. 12 Oktober 2013, waktu belum terlalu siang ketika kuinjakkan kakiku di Terminal Wonosobo. Budi, Ghulam, dan Satria sudah sejak subuh standby di sini. Tidak sulit menemukan dan mengenali mereka bertiga. Adhi langsung menyusul begitu kukabarkan kedatanganku. Panji masih terlunta-lunta di jalur Purwokerto-Wonosobo (atau bisa jadi malah belum beranjak dari Purwokerto). Sementara Devya dan Yanis sepertinya menjadi korban PHP bus Dieng Indah.

Hampir seharian penuh guling-guling tak menentu di Terminal Wonosobo, bus Dieng Indah baru menampakkan diri selepas Ashar. Alhamdulillah kami segera bisa beranjak menuju basecamp Gunung Prau di Desa Patak Banteng. Dengan minibus seharga Rp15.000,00 per orang, dan waktu tempuh hampir satu jam, kami tiba di basecamp tepat saat adzan magrib berkumandang. Hawa dingin Dieng Plateu menyapa kami. Suasana hiruk-pikuk oleh karena meningkatnya jumlah kuota pengunjung yang antusias mendaki Prau. Kutitipkan barang-barang yang seharusnya kubawa pulang kampung pada management basecamp, menjamak sholat magrib dan isya, kemudian memulai pendakian.

Ide brilliant Adhi membeli segepok pentol bakso untuk bekal di puncak. Devya dan Yanis juga membeli nasi lima bungkus supaya di atas tidak perlu repot menanak nasi lagi.

Kami disambut trek yang cukup mengejutkan; jajaran anak tangga yang menjulang cukup menguras fisik di awal langkah. Physicly, aku merasa cukup fit mempersiapkan pendakian ini, tetapi baru mencapai pos 1 (selepas permukiman) sudah sangat kepayahan. Kesalahanku mendaki karena lapar, terakhir makan nasi sebelum tengah hari tadi. Devya, Ghulam, Satria, dan Budi sudah jauh melangkah di depan, sementara aku mulai dihasut para team penyapu; Adhi, Panji dan Yanis untuk membuka nasi bekal Devya yang kebetulan tereksisting di kerilku. Di bawah pos 2 (kalau boleh meminjam istilah Yanis; Pos 1,9) aku semena-mena menyabotase bekal Devya, dihiasi untaian kembang api yang tiba-tiba saja dinyalakan sekelompok orang di belakang kami, menjadi sesi makan dan istirahat yang istimewa. Hanya sekitar lima suapan nasi dengan quantity sebatas satu sendok teh per suapan, aku mencukupkan makan malam dadakanku. Entah karena energi nasi, atau energi indah kembang api, menurut ketiga team penyapu, kecepatan jalanku melaju pesat seperti pesawat jet (padahal aku jalan pelan-pelan aja sih, dengan asumsi bahwa mereka akan segera berhasil menyusulku kembali), tapi kutunggu hingga ketemu dengan team di depan, mereka tak kunjung menyusul. Nggak nyangka lima suap sendok teh nasi bungkus itu saktinya bisa luar biasa kayak gini.

Tak lagi paham identitas pos berikutnya, yang jelas target 3 jam pendakian berhasil kami tempuh dalam waktu 2,5 jam. Angin dingin puncak menerpa kami sembari mencari tempat datar yang terlindung dari cuaca untuk mendirikan tenda. Pilihan jatuh pada area terbuka yang langsung dapat memandang Sumbing-Sindoro dalam satu layering, meskipun kompensasinya harus sedikit berjibaku dengan jalur angin. Tetapi karena pendakian malam itu begitu ramai, kami berasumsi barisan tenda akan sedikit menahan angin gunung.

Aku tak tahan lagi untuk tidak segera masuk tenda. Setelah teman-teman makan malam, minum hangat dan sebagainya, aku mulai mengabaikan keindahan bintang gemerlap yang malam itu begitu bersahabat menghiasi langit kami, berjaga-jaga saving energy untuk 'katut' opsi maraton yang dimunculkan tiba-tiba oleh Satria dkk menuju puncak sebelah; Sindoro 3153 mdpl.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun