Mohon tunggu...
Enang Suhendar
Enang Suhendar Mohon Tunggu... Administrasi - Warga sadarhana yang kagak balaga dan gak macam-macam. Kahayangna maca sajarah lawas dan bacaan yang dapat ngabarakatak

Sayah mah hanya warga sadarhana dan kagak balaga yang hanya akan makan sama garam, bakakak hayam, bala-bala, lalaban, sambal dan sarantang kadaharan sajabana. Saba'da dahar saya hanya akan makan nangka asak yang rag-rag na tangkalna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan featured

Hari Kartini Tanpa Sanggul, Kebaya dan Riuh Karnaval

21 April 2020   07:15 Diperbarui: 21 April 2021   04:58 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung sedang mengamati lukisan R.A Kartini karya Triyadi Guntur Wiratno | sumber : Antara

Peringatan hari Kartini hari ini sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada sanggul dan parade kebaya. Tak ada riuh dan aksi karnaval para pelajar. Serta tak ada nyanyian serempak ”Ibu Kita Kartini” pada kegiatan upacara di tiap-tiap sekolah atau kantor-kantor pemerintahan.

Seruan pemerintah kepada masyarakat Indonesia untuk belajar, bekerja dan beribadah dirumah dalam mencegah dan menghadapi penyebaran virus Covid-19 menjadikan peringatan hari Kartini memang berbeda. Beragam reaksi dari berbagai lapisan masyarakat dan lintas profesi timbul dari himbauan ini. Rasa jenuh kambuh, dan rasa bosan berkelindan.

Namun tidakkah kita tahu bahwa puluhan surat-surat Kartini yang ditulisnya kepada kawan korespondensinya di eropa merupakan hasil karyanya ketika Kartini dipingit. Gagasan-gagasan Kartini yang menginspirasi justru dibuat Raden Ajeng ketika dia tidak diperbolehkan melihat dunia luar. Dan guratan pena Kartini yang kritis justru dihasilkan dibalik tembok tinggi kekangan feodalisme dan adat istiadat yang berlaku saat itu.

Sejak umur dua belas tahun, setelah selesai bersekolah di ELS (Europese Lagere School), sebagaimana adat yang berlaku, Kartini dipingit. Perasaan Kartini remuk redam. Dalam tembok Kabupaten Jepara yang megah dan ditengah banyaknya anggota keluarga, justru Kartini merasa sunyi dan kesepian.

Suratnya kepada Nona Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899 mengambarkan duka nestapanya ”Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan dirumah, saya mesti masuk tutupan. Saya dikurung didalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar”. Masih dalam suratnya kartini berujar ”Empat tahun, yang tak terkira lamanya, saya berkhalwat (sendirian) diantara empat tembok tebal, tiada pernah sedikit jua pun melihat dunia luar. Betapa saya dapat menahan kehidupan yang demikian, tiadalah saya tahu hanya yang saya ketahui, masa itu amat sangat menyengsarakan".

Kartini masih beruntung, ayahnya, Bupati Jepara, R.M Sosroningrat dan kakaknya yang mengenyam pendidikan di Belanda, R.M Sosrokartono sering sekali membawakan buku, koran dan majalah eropa. Buku dan majalah itulah yang kelak mengilhami Kartini dan menumbuhkan kekayaan intelektualitasnya.

Semangat kartini yang menderu tidak pernah terkubur dalam pingitan. Dalam ”sangkar emas”nya, membaca adalah kegemarannya, dan pena adalah sahabat karibnya. Semakin banyak membaca, pemikiran progresif Kartini tentang emansipasi wanita dan pendidikan semakin tumbuh. Dan semakin banyak membaca, justru Kartini semakin dahaga akan ilmu dan pengetahuan.

Dalam suratnya kepada Nona Steela, perempuan yang lahir pada tanggal 21 April 1879 itu mengeluhkan bahwa adat istiadat melarangnya untuk pandai berbahasa asing. Kartini menulis ”Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu”.

Dibalik pingitan tembok tebal rumahnya itu, justru surat-surat Kartini yang berbahasa belanda meluncur deras ke berbagai sahabat penanya di eropa. Dan ketika Kartini merasa nestapa bak dalam neraka, gagasan majunya tentang kemandirian dan kebebasan semakin matang dan berkembang.

Pingitan tidak pernah membuat Kartini patah arang dan menyerah pada takdir. Justru ketika dalam rumahnya, Kartini melahirkan sejumlah tulisan yang berisi gagasan majunya. Pada tahun 1895 ketika usianya 14 tahun, ia mengirimkan artikel dengan judul ”Upacara Perkawinan pada Suku Koja” pada majalah perempuan Holandsche Lelie.

Pada tahun 1898, Kartini mengirimkan artikel tentang seni Jepara pada Jurnal Bijdrage voor Taal, Land en Volkenkunde. Selanjutnya di tahun 1903, Kartini mengirimkan artikel mengenai Kota Jepara dan kreativitas seni ukir masyarakatnya pada surat kabar Soerabaiasch Handelsblad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun