Mohon tunggu...
Elesia
Elesia Mohon Tunggu... Administrasi - I'm a writer

Penulis CERPEN ANAK Penulis PUISI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lonceng Gereja Berdentang Serentak di Jogja?

4 April 2019   14:56 Diperbarui: 4 April 2019   15:27 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : flickr.com

Kabar tidak enak kembali terdengar dari Jogja. Setelah berita pemotongan salib di penghujung akhir tahun lalu, kini pendatang penganut agama Katolik yang ditolak di Pleret, Bantul. Ya, semoga saja penduduk desa ini semua golput atau pendukung Jokowi, karena kalau pendukung Prabowo, mereka tanpa sadar mengizinkan seorang anak dari Nasrani yang berkuasa di daerahnya.

Ini serius. Karena bagaimana mungkin mereka menolak seorang penumpang (ngontrak) dari "golongan" tertentu di wilayahnya, tetapi membiarkan diri diperintah oleh "golongan" yang hampir sama? Jika memang mereka takut ternodai atau terpengaruh oleh seseorang penganut agama lain, penguasa lebih leluasa melakukannya daripada seorang seniman yang ngontrak. Yang ngontrak, Sodara. Bayangkan!

Saya gak habis pikir bagaimana si pelukis ini melakukan hal-hal yang ditakutkan warga dusun itu. Saya malah mikir, yang ditakutkan oleh warga pasti lah si pelukis juga gak kepikiran melakukan itu. Beliau pasti sudah menghabiskan banyak energi untuk berkarya.

Apalagi belum lama ini kita dibuai oleh aksi terpuji Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru itu. Beliau mendapat banyak pujian karena tindakannya yang cepat menanggapi aksi terorisme di Selandia Baru. Mulai dari menyebut penembakan itu sebagai aksi terorisme, tidak sudi menyebut nama penembaknya, memakai kerudung, sampai mengunjungi para korban dan minta maaf kepada mereka. Pujian itu dari seluruh penjuru dunia. Tidak ketinggalan dari negeri tercinta ini.

Solidaritas penduduk yang --katanya -- tak memeluk agama itu juga mengharukan. Mulai dari menjagai umat muslim sholat di masjid, menari Hakka yang dilakukan banyak kelompok, sampai adzan yang diperdengarkan serentak di seluruh negeri.

Setelah membaca berita penolakan oleh warga dusun itu, saya terbayang pemimpin kita -- entah itu bupati, gubernur, atau presiden -- melakukan hal yang sama. Kenapa? Meski tak banyak korban nyawa, jelas-jelas ini "membunuh" keakraban kita sebagai bangsa. Kalau ditarik lebih ke dalam lagi, sebenarnya tindakan ini "membunuh" banyak orang. Siapa itu? Generasi penerus bangsa ini. Bayangkan kalau tindakan semacam itu tumbuh subur di negeri ini. Gak terbayangkan seberapa besar dendam yang dipendam. Yang lama-lama itu bisa jadi bom waktu.

Tapi coba bayangkan betapa mengharukan bila pemimpin kita hadir melindungi segala golongan. Tak perlu memakai kalung salib sebagai pengganti kerudung yang dikenakan Jacida Ardern. Bagaimana kalau menyiarkan lonceng gereja secara serentak di Jogja atau di televisi nasional di hari minggu? atau kalau itu terlalu berat dan beresiko, cukup hanya mengunjungi korban penolakan. (sampai detik ini saya baca, belum ada tindakan seperti yang saya tulis).

Atau perlukah kita menanti seorang remaja yang menceplokkan telor ke kepala pejabat yang mungkin berkomentar negatif? Saya menantikan ini terjadi, dan melihat respon masyarakat se tanah tumpah darahku terhadap aksi remaja itu. Apakah ia dianggap pahlawan atau malah dituduh penista.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun