Keberadaan kota Cirebon, tak terlepas dari jejak berkembangnya agama Islam di Nusantara. Karena di kota inilah Salah satu dari Wali Songo, yaitu Sunan Gunung Jati melakukan syiar Islam hingga ke seluruh wilayah Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada akhir abad 14 dan memasuki abad 15. Saat itu kerajaan Padjajaran yang beragama Hindu mulai runtuh.
Pelabuhan Cirebon pada masa jayanya adalah pelabuhan yang sangat besar dan terkenal. Kapal-kapal asing (dari negara lain) singgah membawa saudagar-saudagar dengan aneka barang dagangan. Di sini terjadi interaksi berbagai bangsa dan juga menjadi pintu masukanya agama dan budaya dari luar yang kemudian menyatu dengan adat istiadat penduduk asli.
Cirebon memang strategis. terletak di dekat perbatasan dua provinsi, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akibat percampuran tersebut, maka bahasa yang digunakan bukan bahasa Sunda dan juga bukan bahasa Jawa. Dengan logat tersendiri, bahasa ini mudah dicerna dan dipelajari. Â Untuk mencapai Cirebon dapat menggunakan berbagai kendaraan. Namun pada umumnya orang-orang ke Cirebon dengan memanfaatkan kereta api atau mobil.
Asal kata nama Cirebon adalah berasal dari kata Rebon, yang artinya udang. Mayoritas penduduk pada waktu itu  berprofesi sebagai nelayan. Hasil laut yang paling banyak didapat adalah udang. Karena itu sebagai ciri khas, maka dinamakan Cirebon sebagai kota udang. Kita bisa mendapati udang-udang segar yang besarbesar di sini. Kalau dibakar sangat sedap dan nikmat.
Saya sendiri, sangat mengagumi kiprah Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam, khususnya Sunan Gunung Jati. Mungkin karena saya punya keterkaitan sejarah dengannya. Â Karena itu adalah suatu kegembiraan tersendiri ketika Koteka memasukkan saya dalam tim Koteka Trip, berangkat ke Cirebon bersama Danamon. Bersama 9 teman kompasianers lainnya, kami menjadi smart traveler satu hari penuh. Berangkat pagi sebelum jam enam dari depan Bentara Budaya dan kembali hampir tengah malam.
Keraton Kasepuhan Cirebon
Mini bus Elf yang kami tumpangi melaju kencang dari Jakarta menuju Cirebon. Tol Cipali masih lengang, tahu-tahu sudah tiba di kota Cirebon hanya dalam jarak waktu tempuh tiga setengah jam saja. Setelah mampir sebentar di kantor cabang Danamon, kami lalu ke Masjid Raya At-Taqwa dan menyusun rencana di sana.
Namun sebelum  memulai kunjungan ke tempat-tempat tersebut, kami singgah dulu di Masjid Agung Sang Tjipta Rasa untuk menunaikan shalat Lohor. Masjid ini usianya berabad-abad, karena seiring dengan perkembangan kesultanan Cirebon. Di sini pusat dakwah dan ibadah sejak abad 15 oleh Sunan Gunung Jati.. Karena itu bangunannya masih kuno, dengan arsitektur yang didominasi kayu-kayu jati. Sedangkan dindingnya disusun dari batu bata merah. Saya merasa sangat tenteram di dalam masjid ini, terasa sejuk dan nyaman.  Keistimewaan lainnya, jika harihari besar, adzan dikumandangkan oleh dua orang, atau disebut adzan kembar. Suaranya merdu berkumandang.