Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kepak Sayap Keraguan

13 Agustus 2021   14:46 Diperbarui: 13 Agustus 2021   14:54 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho Puan Maharani (dok.tempo.co)

Para politisi merangsek di masa pandemi. Dua tahun lagi Pemilu, tapi mereka sudah "menjual" diri. Memang, dalam hitungan politik, dua tahun itu cukup singkat. Karena itu, mereka  ramai-ramai memasang baliho dimana-mana.

Soal efektif atau tidak, itu akan dilihat belakangan. Persaingan sudah dimulai, saling memanasi, dan tak mau kalah dengan yang lain. Kalau si A sudah terpampang di jalan-jalan, maka si B juga harus ada, begitu selanjutnya dengan si C, D, dan E. 

Baliho dibuat seapik mungkin. Mereka tidak ragu untuk membayar tinggi, asal hasilnya menarik. Tidak hanya wajah yang paling cantik atau ganteng, tetapi juga slogan yang ciamik. Seperti yang dipasang Puan Maharani, dengan slogan Kepak Sayap Kebhinekaan.

Namun sejatinya, pemasangan baliho itu hanya mengungkapkan kebenaran di balik sosok tersebut. Satu fakta yang tak terbantahkan, mereka tidak yakin akan dipilih rakyat. 

Ada beberapa hal yang terlihat:

1. Keraguan. Para politisi ini sebenarnya meragukan dirinya sendiri. Apakah benar mereka sudah dikenal rakyat?  Misalnya, siapakah wajah perempuan bersanggul tersebut?

Untuk menegaskan bahwa rakyat mengetahui sosok itu, maka perlu diperkenalkan dengan memasang wajah dimana-mana. Oh, ini lho si tokoh A, tampangnya seperti ini. 

Sebab, para politisi ini bukan Bung Karno dan Bung Hatta yang dikenal sampai ke pelosok negeri. Meski keturunan, tidak menjamin bahwa rakyat akan memilih dia. 

Padahal, untuk dikenal rakyat, sering-seringlah berinteraksi dengan turun ke bawah. Mendengar secara langsung apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan berusaha mewujudkannya. 

2. Kemampuan. Orang yang memiliki kemampuan akan dikenal dengan sendirinya. Lihat saja para atlet yang memiliki prestasi, rakyat pasti mengetahui.

Karena itu jika tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, tentu tidak ada prestasi yang dihasilkan. Sampai jutaan baliho disebar, orang akan mempertanyakan, apa prestasi dia bagi negara ini?

Kepemimpinan terasah secara bertahap, dari jenjang yang paling kecil hingga ke level atas. Tidak ujug-ujug menjadi pemimpin karena anak tokoh politik. Kalau yang demikian, seperti balon atau gelembung, bisa besar tapi tidak berisi alias kosong.

3. Pemaksaan. Apapun itu, sesuatu yang dipaksakan tidak pernah memuaskan. Bahkan hasilnya bisa kebalikan dari yang diharapkan. 

Misalnya, sebuah partai besar memaksa jajaran di bawahnya, memasang baliho si A di daerah-daerah. Pemaksaan itu selain membuat orang tidak merasa ikhlas, juga muak.

Apalagi masyarakat yang dipaksa untuk melihat wajah-wajah yang cuma  ada menjelang pemilu. Mereka hanya menelan ludah setiap berpapasan dengan baliho. 

Secara logika, rakyat sudah pusing mencari makan di tengah pandemi. Bukannya mereka disuguhi nasi, malah dijejalkan wajah-wajah tanpa empati. Lalu, bagaimana rakyat bisa menjadi simpati? Justru menancapkan keinginan untuk tidak memilih tokoh tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun