Harus diakui, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap wartawan adalah profesi yang lazim untuk laki-laki, tetapi tidak untuk perempuan. Jika perempuan yang menjadi wartawan, sering dianggap aneka, bahkan juga disertai berbagai prasangka buruk.
Stigma buruk terhadap perempuan, misalnya kalau pulang larut malam maka dia adalah perempuan yang "gak beres". Dia dicurigai sebagai orang yang menjajakan tubuh di klub malam dan sebagainya. Perempuan tersebut dicap perempuan nakal.
Dahulu saya mengalami hal itu ketika menjadi wartawan. Di lingkungan saya, perumnas Depok, belum ada perempuan yang menjadi wartawan. Rerata bekerja di perkantoran sebagai pegawai negeri sipil atau perusahaan. Selebihnya berada di rumah sebagai ibu rumah tangga.
Masyarakat kita yang masih kental dengan patriarki, lambat menerima bahwa semua profesi atau pekerjaan bisa juga dilakukan oleh perempuan. Karena sesungguhnya kemampuan kaum perempuan sama dengan laki-laki, terutama pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan otak.
Beberapa pengalaman saya yang menjadi catatan tersendiri selama menjadi wartawan di tengah masyarakat yang yang patriarki, misalnya:
1. Untuk memenuhi biaya kuliah, saya nyambi magang di sebuah media cetak. Saya memilih hari dan jam kuliah yang fleksibel di antara tugas-tugas liputan. Dengan kesibukan itu saya sering pulang larut malam. Bahkan kadang di atas jam 12 malam, melebihi waktu Cinderella.
Makin lama banyak tetangga yang kasak-kusuk bergosip membicarakan saya. Mereka tidak percaya bahwa saya menjadi wartawan. Omongan mereka kira-kira begini, "masa iya Muthiah menjadi wartawan, jangan-jangan malah jadi itu tuh..,"
Ibunda tercinta menyampaikan hal itu. Saya tidak menggubris omongan tetangga. Kalau diladeni, seperti air disiram minyak. Bagi saya yang penting saya tidak bohong, Allah Maha Tahu. Saya tidak mau buang energi untuk hal semacam itu, sebab menjadi wartawan saja sudah menguras energi.
Alhamdulillah, seorang tetangga lelaki yang sudah sangat senior menjadi wartawan, membela saya. Kami memang sering bertemu dalam liputan. Dia bahkan menjelaskan kepada para tetangga tentang beratnya profesi wartawan. Akhirnya, mulut tetangga bungkam sendiri.Â
2. Menjadi sasaran pelecehan seksual. Ada beberapa narasumber laki-laki yang  memanfaatkan kesempatan untuk merayu saya. Padahal dia memiliki jabatan tinggi di sebuah lembaga. Mereka menganggap perempuan yang menjadi wartawan punya pekerjaan sampingan sebagai simpanan.
Di antara yang paling kurang ajar, bukan hanya pelecehan secara verbal, tetapi juga mengarah pada fisik. Ada saja yang berusaha menggerayangi tubuh saya di saat tak ada orang lain. Sebetulnya bisa saja saya menghajar dia dengan ilmu bela diri, tetapi pasti buntutnya berkepanjangan.Â