Senja berpagut dengan nyanyian burung burung camar di selat Marmara. Memecah kebisuan antara kau dan aku. Seperti guratan guratan kuning dan jingga yang bermain di cakrawala. Aku ingin melepaskan diri dari kungkungan rasa rindu.
Mentari hanya menyampaikan isyarat bahwa aku masih harus menanti. Entah untuk berapa masa lagi. Meski ribuan duri telah menutupi tubuh ini. Rasa nyeri tak berarti jika aku harus berhadapan dengan kuasa yang Maha Tinggi.
"Apakah kau akan kembali?' tanyamu datar.
"Aku tidak tahu. Jika kau menginginkan aku kembali, berdoalah kepada si Empunya Hati. Sedangkan aku hanya akan memenuhi perintahNya, walau harus terluka lagi," sahutku pasrah.
Dan kita berdua cuma bisa menghitung sayap sayap yang melintas di atas pelabuhan. KIta tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada hari esok atau sepuluh tahun lagi. Kelana ini tak punya tempat yang pasti untuk berhenti selamanya.
Sepuluh malam terakhir, malam di mana aku mengenyahkan bayang bayangmu. Hanya ada komunikasi antara Dia dan aku, yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Maafkan aku, aku harus mematikan rasa dan rindu kecuali hanya untuk Pemilik Cinta Sejati.
Aku melukis awan dengan nama namaNya, menggoreskan zikir di langit yang luas. Tenggelam dalam sunyi, dalam bias cahaya yang tak pernah aku mengerti. Aku hanya merasa ingin menyatu dengan bintang dan bulan dan menjadi bagian dari semburat pagi.
Aku seperti lahir kembali bersama embun pagi, dengan hati yang putih dan jiwa yang bersih. Entah dimana engkau berada, aku tidak ingin memikirkan lagi. Aku percaya, jalan hidup kita telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Fitri akan membawamu kembali," bisik hati kecilku.