Pertama adalah uang pribadi. Uang ini bisa berasal dari penghasilannya selama ini. Entah dari gaji atau bentuk badan usaha yang dimilikinya.
Penghasilan yang ditabung itulah ditarik dan digunakan sebagai modal untuk memenangkan pemilu. Ini juga bisa dari akumulasi penghasilan keluarga, baik istri maupun anggota keluarga yang lain.
Kedua adalah dana dari konsorsium pengusaha yang memberikan dukungan terhadap caleg ini. Mereka adalah rekanan bisnis yang bersedia menyumbang untuk kepentingan kampanye.
Tentu saja sumbangan itu tidak bersifat sukarela, tetapi ada pamrih di dalamnya. Ibarat menanam investasi, nantinya akan membuahkan hasil.
Jika si caleg berhasil menjadi anggota Dewan, maka ketika membahas undang-undang yang menyangkut perekonomian, ia akan berusaha menggolkan undang-undang yang menguntungkan pengusaha pendukung.Â
Balas budi para anggota dewan, meloloskan proyek pengusaha pendukung. Misalnya ada tender dari pemerintah, maka pengusaha itu yang akan mendapatkan proyek.
Ketiga, sumber dana dari hasil korupsi. Pemilu adalah lingkaran setan, setelah keluar modal banyak, anggota dewan akan mencari obyekan untuk membayar hutang dan mengumpulkan modal lagi.
Banyak proposal yang masuk ke lembaga wakil rakyat untuk berbagai macam bidang. Supaya mereka terpilih, mereka menyogok setiap anggota dewan dengan sejumlah uang.
Cara menyogok yang dahulu lazim dilakukan, sebelum sidang, diam diam ada orang yang ditugaskan meletakkan amplop berisi uang di laci masing masing anggota dewan. Mereka langsung paham tanpa perlu dibicarakan.
Sekarang untuk menghindari KPK, berbagai inovasi dilakukan para penyogok. Mungkin bertemu diam diam di sebuah tempat atau mengirim langsung ke rekening yang sudah disepakati.
Sampai sekarang hal itu masih terjadi. Kalau begitu bagaimana anggota dewan bisa dipercaya? Pada dasarnya mereka adalah penyamun yang mengatasnamakan rakyat. Silakan dipikirkan.