Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Devi Eka dan Generasi Plagiat

26 Maret 2018   11:35 Diperbarui: 26 Maret 2018   22:52 8649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernyataan maaf Devi Eka di medsos (dok.pri)

Dunia literasi  kembali dinodai oleh ulah seorang gadis  yang mengaku penulis bernama Devi Eka. Tidak tanggung-tanggung, dia telah melakukan plagiat terhadap 24 Cerita Pendek (cerpen) yang dikirimkan ke berbagai media massa. Sebagian sudah dimuat di media massa yang  bersangkutan dan honor diterima oleh Devi Eka.

Namun sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya akan jatuh jua. Begitu pula dengan Devi Eka, yang sudah terlalu berani mengklaim karya orang lain menjadi miliknya. Ada penulis asli yang menemukan bahwa hasil karyanya digunakan oleh gadis itu. Dia kemudia mengungkapkannya kepada umum. Akhirnya publik serta media massa yang memuat karya tersebut mengetahui kenakalan tersebut.

Padahal, tahun lalu apa yang terjadi dengan Afi sangat viral. Secara logika, seharusnya menjadi pelajaran bagi calon penulis macam Devi Eka (saya katakan calon penulis, karena saya ragu apakah dia pernah membuat karya asli). Jika dia berniat menjadi penulis, maka plagiat yang dilakukannya adalah upaya bunuh diri. Semua orang akan tahu bahwa dia adalah seorang plagiator, bukan penulis.

Plagiat haram hukumnya bagi dunia literasi. Ini merupakan 'kejahatan' tersendiri. Bayangkan, sebuah karya tulis merupakan buah ide, hasil pemikiran seseorang yang tidak mudah didapatkan. Begitu pula dalam menuangkannya menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca. Semua melalui proses yang hanya penulis sendiri yang tahu, lalu dicaplok begitu saja oleh orang lain.

Plagiat yang dilakukan orang seperti Devi Eka berakibat kerugian materiil dan immateriil. Kerugian materi berupa honor yang dibayar media yang memuatnya. Honor tersebut seharusnya menjadi hak sang pencipta asli. Si Plagiator enak saja ongkang-ongkang kaki menerima uang dari hasil jerih payah orang lain.

Kerugian immateriil, pencurian ide dan hasil karya orang lain membuat penulis asli menjadi down. Dia sudah mencurahkan segalanya, memeras otak dan menuangkan perasaan untuk sebuah karya yang bermutu, tetiba diakui oleh si palgiator. Ironinya, ketika dia menayangkan hasil karyanya tersebut, justru penulis asli yang dituduh plagiat karena terlambat mempublikasikan.

Generasi Plagiat

Afi dan Devi Eka hanyalah sebagian kecil dari generasi muda yang ternyata gemar melakukan plagiat. Besar kemungkinan masih banyak anak-anak muda yang terjebak menjadi plagiator karena angan-angan dan ambisi. Kemudahan yang didapatkan melalui kecanggihan teknologi, memperlancar  para pelaku plagiat.

Apakah kita telah menciptakan generasi plagiat? Secara tidak langsung mungkin kita telah menciptakan generasi plagiat. Ada contoh buruk pula dari para tokoh masyarakat. Misalnya, pejabat di kementrian Agama yang terbukti melakukan plagiat terhadap karya seseorang. Kemudian blew up popularitas media massa tentang seorang penulis yang novelnya berhasil atau difilmkan.

Gaya hidup glamour  para selebriti dan sosialita yang dipertontonkan media massa juga mendorong keinginan anak-anak muda untuk mencicipi kesuksesan. Namun sayangnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan tidak mengajarkan bahwa untuk sukses di suatu bidang harus menjalani proses yang cukup panjang. 

Generasi milenial ini, atau kita sebut generasi Z yang melakukan plagiat, tidak memiliki kesabaran dan pengertian bahwa sukses sebagai penulis tidak bisa didapat secara cepat dan mudah. Ada proses pematangan yang harus dijalani. Mereka maunya serba instan, sukses secara mendadak agar bisa dipamerkan kepada teman-temannya. Dengan begitu, dia bisa menyombongkan diri sebagai penulis terkenal.

Kecanggihan teknologi mempermudah dia melakukan plagiat. Dia tinggal searching di Google, melihat konten-konten blog, media online dsb. Ketika menemukan tulisan yang bagus, tinggal di copy paste dan dipindahkan ke dalam file-nya. Dan pada suatu ketika, dia mengirimkannya kepada media massa serta diakui sebagai hasil karyanya.

Ketika ketahuan, alasan yang diberikan seorang Devi Eka sangat konyol. Dia bilang bahwa kalau nulis sendiri hasilnya jelek dan tidak keren. Lha iya, menulis kan bukan sekedar menulis, menggunakan pemikiran dan perasaan, tidak bisa instan atau sekonyong-konyong. Semua butuh proses. Menjadi penulis sejati, yang dituju bukan popularitas, tetapi hasil karya yang bermutu, dan ini membutuhkan proses yang panjang.

Generasi plagiat ini akan tumbuh berkembang kalau dibiarkan begitu saja. Kenapa begitu? masalahnya, di Indonesia tidak ada hukum yang pasti untuk menyeret plagiator agar tidak melakukannya lagi.  Mereka tidak mudah dibuat jera. Buktinya, kasus Afi tidak membuat Devi Eka urung menjadi plagiator.  Memang biasanya seorang penjahat, akan kembali melakukan kejahatannya karena dua, tiga kali tidak ketahuan.

Sebagaimana halnya foto capture/screen shoot di atas, ketika Devi Eka membuat status pernyataan maaf melalui aku medsosnya. Siapa yang menjamin bahwa dia akan jera? Faktanya, pernyataan maaf itu merupakan dorongan dari penasehat dia, bukan dari keinginan si plagiator. Bahkan orang-orang yang berteman dengan dia di medsos, langsung di unfriend ketika menanyakan kasus plagiat 24 cerpen tersebut.

Afi adalah contoh yang buruk dari generasi muda plagiator. Dia tidak pernah jera, permintaan maaf hanya basa basi. Setelah itu malah mencaci maki melalui You Tube. Begitu pula dengan Devi Eka, belum ada kesungguhan untuk menghentikan kebiasaan buruknya. Generasi ini sudah salah, ngeyel dan tidak malu, malah masih berbangga diri mengaku sebagai penulis.

Maka, jalan yang bisa ditempuh agar bisa meminimalisir para plagiator ini, para penerbit dan redaksi media massa harus ekstra berhati-hati. Sedapat mungkin memeriksa dulu apakah karya itu asli atau tidak. Msalnya karya fiksi, harus ada pernyataan tertulis bahwa karya tersebut bukan plagiat. Jika ternyata tulisan itu adalah plagiat, maka dia harus mendapatkan sanksi

Penerbit dan redasksi juga bisa melakukan black list terhadap orang-orang yang sudah terbukti melakukan plagiat. Jangan memberi ruang untuk mereka sehingga bisa berkembang. Jika plagiator itu benar-benar tobat, dia harus mampu membuktikannya. Bukankah dengan menayangkan karya plagiat berarti mencoreng nama penerbit dan media massa yang bersangkutan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun