Kecanggihan teknologi mempermudah dia melakukan plagiat. Dia tinggal searching di Google, melihat konten-konten blog, media online dsb. Ketika menemukan tulisan yang bagus, tinggal di copy paste dan dipindahkan ke dalam file-nya. Dan pada suatu ketika, dia mengirimkannya kepada media massa serta diakui sebagai hasil karyanya.
Ketika ketahuan, alasan yang diberikan seorang Devi Eka sangat konyol. Dia bilang bahwa kalau nulis sendiri hasilnya jelek dan tidak keren. Lha iya, menulis kan bukan sekedar menulis, menggunakan pemikiran dan perasaan, tidak bisa instan atau sekonyong-konyong. Semua butuh proses. Menjadi penulis sejati, yang dituju bukan popularitas, tetapi hasil karya yang bermutu, dan ini membutuhkan proses yang panjang.
Generasi plagiat ini akan tumbuh berkembang kalau dibiarkan begitu saja. Kenapa begitu? masalahnya, di Indonesia tidak ada hukum yang pasti untuk menyeret plagiator agar tidak melakukannya lagi. Â Mereka tidak mudah dibuat jera. Buktinya, kasus Afi tidak membuat Devi Eka urung menjadi plagiator. Â Memang biasanya seorang penjahat, akan kembali melakukan kejahatannya karena dua, tiga kali tidak ketahuan.
Sebagaimana halnya foto capture/screen shoot di atas, ketika Devi Eka membuat status pernyataan maaf melalui aku medsosnya. Siapa yang menjamin bahwa dia akan jera? Faktanya, pernyataan maaf itu merupakan dorongan dari penasehat dia, bukan dari keinginan si plagiator. Bahkan orang-orang yang berteman dengan dia di medsos, langsung di unfriend ketika menanyakan kasus plagiat 24 cerpen tersebut.
Afi adalah contoh yang buruk dari generasi muda plagiator. Dia tidak pernah jera, permintaan maaf hanya basa basi. Setelah itu malah mencaci maki melalui You Tube. Begitu pula dengan Devi Eka, belum ada kesungguhan untuk menghentikan kebiasaan buruknya. Generasi ini sudah salah, ngeyel dan tidak malu, malah masih berbangga diri mengaku sebagai penulis.
Maka, jalan yang bisa ditempuh agar bisa meminimalisir para plagiator ini, para penerbit dan redaksi media massa harus ekstra berhati-hati. Sedapat mungkin memeriksa dulu apakah karya itu asli atau tidak. Msalnya karya fiksi, harus ada pernyataan tertulis bahwa karya tersebut bukan plagiat. Jika ternyata tulisan itu adalah plagiat, maka dia harus mendapatkan sanksi
Penerbit dan redasksi juga bisa melakukan black list terhadap orang-orang yang sudah terbukti melakukan plagiat. Jangan memberi ruang untuk mereka sehingga bisa berkembang. Jika plagiator itu benar-benar tobat, dia harus mampu membuktikannya. Bukankah dengan menayangkan karya plagiat berarti mencoreng nama penerbit dan media massa yang bersangkutan?