Abak melanjutkan pembicaraannya..
"Nak,walau Abak akan sangat menderita di dalam kubur jika kamu hidup tetap seperti Abak, mengetam kayu, mengayak pasir, mengecor semen, apalagi nak melihat kamu bekerja di pinggir jalan menggali lubang-lubang galian untuk listrik atau selokan jalan menggunakan cangkul ini."
Beliau terdiam beberapa saat, dengan mata pana dan wajah bergetar, berkata..
"Nak... kalau bisa, jangan sampai cangkul ini kamu pergunakan, kecuali amat terpaksa atau hanya untuk mencangkul menyalurkan hobimu bercocok tanam, dan simpanlah cangkul ini baik-baik."
Walau saat itu saya merasa Abak saya meledek dan bergurau semata, dan saya jawab pula dengan bercanda.
"Iya... Abak, cangkul ini akan saya jadikan teman hidup..."
Namun sekarang saya baru tahu betapa dalam dan kuatnya maksud yang tersirat dari pesan dan titipan cangkul Abak saya itu.Â
Jika di maknai secara filosofis, cangkul bukan sebatas alat untuk bekerja, cangkul bisa diartikan sebagai sebuah pena, cangkul bisa diartikan sebuah buku, cangkul bisa diartikan sebuah alat produksi, cangkul bisa dikatakan alat kemandirian, cangkul bisa di maknai bekerja keras, cangkul bisa di maknai asal usul dan jati diri.
Sebaliknya, cangkul juga bisa menjadi alat ketakutan bagi saya, jika tidak sukses dalam pergaulan, pendidikan dan pekerjaan. Saya bisa jadi, juga akan kembali menjalani pekerjaan kuli bangunan seperti Abak saya.Â
Sehingga cangkul disamping momok kekhawatiran menatap masa depan, sekaligus menjadi alat motivasi bagi saya untuk harus baik dan sukses dalam pendidikan. Dengan pendidikan semoga saya bisa mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak.
Terima kasih Abak....
Cangkulmu ku simpan dan ku rawat abadi dalam kalbu ku....