Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama featured

Penistaan Agama, Antara 'Tafsir' Ahok dan Pengeboman Gereja

14 November 2016   10:19 Diperbarui: 14 Desember 2016   17:18 23249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : http://www.tribunnews.com

Oleh : eN-Te

Negeri ini, rupanya mungkin telah ditakdirkan menjadi negeri yang tak pernah  bisa merajuk asa bersama dalam kemajemukan. Ada-ada saja peristiwa dan atau insiden yang menciderai kedamaian dalam kemajemukan itu. Beragam faktor telah menjadi alasan untuk menodai kemajemukan itu. Entah itu faktor ekonomi, sosial, politik, maupun agama. Tapi dalam banyak kasus, keragaman itu menjadi terusik hanya karena sentimen keagamaan dan politik. Semuanya bermuara pada satu titik, demi meraih kekuasaan.

Kekuasaan telah menjadi sebuah entry point untuk selalu bertikai. Kasus geger Dimas Kanjeng yang membuat publik Indonesia terhenyak adalah potret yang sangat jelas tentang faktor ekonomi dan sosial yang menjadi motif utama untuk meraih kekuasaan. Dengan cara ‘menipu’, Dimas Kanjeng dengan sangat lihai dapat mengumpulkan pundi-pundi kekayaan hanya dengan satu kalaimat sakral, ‘dapat menggandakan uang’. Tak tanggung-tanggung, bukan hanya masyarakat pada level bawah (grass root) yang dapat dikelabui dengan sangat mudah, tapi merambah jauh sampai kepada kaum cerdik cendekia seperti tokoh ICMI dan MUI, Marwah Daud Ibrahim.

‘Penistaan’ ala Aa Gatot juga tak kalah mencengangkan. Hanya dengan bermodalkan label guru spiritual, ia dengan begitu mudah mengumpulkan para artis untuk ‘dibimbing’ di dalam padepokannya. Bimbingan dalam pengertian yang sangat luas, hingga dengan sangat leluasa Aa Gatot memperdayai sebagian muridnya. Termasuk memperdayai muridnya sehingga dengan sangat sukarela menyerahkan jiwa dan atau raganya sekaligus sebagai bentuk ‘persembahan dan ketataan’ kepada sang Guru.

Sayangnya, ‘penistaan’ ini baru terkuak setelah sang Guru tersandung pada kasus kriminal dan narkoba. Setelah semua sudah terjadi, bubur sudah menjadi nasi, eee salah, kebalik, nasi sudah menjadi bubur, para muridnya tersadar, bahwa ‘bimbingan’ yang diterima selama ini dari sang Guru dengan kedok agama hanyalah sebuah penipuan semata.

Begitu pula dengan Dimas Kanjeng. Tak mau kalah dengan senior-seniornya yang telah jauh malang melintang dalam dunia persilatan penipuan, Dimas Kanjeng juga mengadopsi pola yang hampir serupa. Maka dengan kedok agama pula, Dimas Kanjeng dengan lihai berkamuflase memiliki kesaktian, yang dalam istilah Marwah Daud sebagai bentuk kemampuan transdimensi, menjadi modus menipu ‘murid-muridnya’ dengan mantra penggandaan uang.

Jauh sebelumnya ada guru spiritual ala artis Eyang Subur. Kepincut dengan ‘kekeriputan’ sang Eyang, Adi Bing Slamet dan kawan-kawan (ABS, dkk) merapat, bersedia menjadi muridnya. Belakangan setelah belang sang Eyang ketahuan, rame-rame ABS, dkk., pun memutar haluan menjauh, bahkan meluapkan kekecewaannya dengan menyampaikan sumpah serapah kepada sang Guru. Lagi-lagi, modus yang digunakan juga sama, memakai kedok agama. Rupanya label sebagai guru spiritual sudah cukup ampuh untuk menaklukkan dan membuat calon murid bertekuk lutut.

Ada pula yang mencoba melakukan kamuflase memberi pengobatan ‘cespleng’ dengan mencampurkan praktek klenik dan takhayyul. Sang aktor pun berusaha bersalin rupa bagai ustadz agar dapat menarik ‘pasien’ untuk hadir berobat kepadanya sekaligus ‘dibaiat’ jadi murid. Dialah Guntur Bumi. Bermodalkan sorban yang melilit di kepalanya, Guntur Bumi menobatkan dirinya sebagai ustadz. Dengan label ustadz, maka masyarakat kita, yang secara umum masih terbuai dengan hal-hal yang bersifat simbolis, dengan mudah dan terlena serta percaya, kemudian datang berobat, meminta wangsit untuk kesembuhan.

Beragam penyimpangan dengan modus agama itu tidak membuat masyarakat dan publik Indonesia menjadi ngeh. Masyarakat kita yang masih belum jauh dari hal-hal yang bersifat klenik dan takhayyul, dengan begitu mudah menerima kehadiran para aktor bahlul itu, tapi juga menganggap biasa terhadap praktek-praktek menyimpang mengatasnamakan agama. Di sana dalam pandangan masyarakat awam, dan mungkin pula sebagian masyarakat terdidik negeri ini, apa yang dilakukan oleh aktor-aktor bahlul di atas adalah bukan manifestasi nyata dari sebuah penodaan dan atau penistaan agama.

Berbeda halnya dengan gonjang-ganjing yang membuat atmosfir politik dan sosial negeri hari-hari ini menjadi sangat gaduh dan tidak kondusif. Publik Indonesia, yang merasa mayoritas dari segi jumlah (kuantitas) seperti kebakaran jenggot hingga harus meluapkan amarah kebencian ketika seseorang yang telah dengan sengaja diidentifikasi sebagai public enemy memberikan reaksi manusiawi ketika ia merasa dalam kondisi tertekan dan tersudutkan.  

Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, mau atau tidak mau, rela atau tidak rela, suka atau tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa atas ‘tafsir’ nyelenehnya telah menempatkan dirinya sebagai tertuduh tunggal atas dugaan penodaan dan atau penistaan agama. Lepas dari konteks dan redaksi ‘tafsir’ nyelenehnya tersebut, Ahok harus memaklumi kondisi aktual dan faktual hari ini, bahwa karena pidatonya telah memantik kemarahan yang luar biasa. Meski, dalam batas nalar, kondisi itu juga tidak terlepas dari motif politik dan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun