Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Nenek Asyani Pun Bersimpuh "Memohon Ampun"

13 Maret 2015   09:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:44 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14262137731344878391

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_372710" align="aligncenter" width="385" caption="sumber : tempo.co"][/caption]

Mulutku terkatup, dada terasa tersekak, tak mampu berkata-kata, dan perasaan mengharu biru terasa diaduk-aduk menyaksikan “adegan” yang dilakonkan oleh Nenek Asyani. “Adegan”, di mana Nenek Asyani memerankan lakon harus bersimpuh memohon ampun kepada Majelis Hakim yang mulia di Pengadilan Negeri (PN) Sitobondo kemarin, Kamis (12/3/2015). Nenek Asyani mungkin sudah merasa “putus asa” menghadapi kasus yang sedang menjeratnya. Dalam kondisi psikologis yang tidak karu-karuan lagi, di mana sudah lebih dari tiga bulan mendekam di jeruji besi, di hadapan Majelis Hakim, Nenek Asyani merasa perlu bersimpuh, bahkan mungkin harus menyembah untuk memohon belas kasih. Mungkinkah, Majelis Hakim, sesuai dengan panggilan kehormatan dan kebesaran mereka,  “Yang Mulia”, merasa tersentuh dan terenyuh nuraninya bila melihat ia (Nenek Asyani) bersikap demikian? Entahlah!

Masih Adakah Sila ke-2 Pancasila?

Majelis Hakim “Yang Mulia”, mungkin merasa apa yang sedang disaksikan di depan mereka merupakan hal yang sudah “lumrah”. Bukan saja Majelis Hakim, para hadirin yang lain pun, terutama Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menganggap hal itu biasa terjadi. Terlihat dalam video di mana ketika Nenek Asyani sedang memainkan “adegan” bersimpuh memohon ampun, Majelis Hakim dan JPU tidak memberikan respon yang cukup memberikan sinyal bahwa mereka masih memiliki nurani belas kasih. Nenek Asyani dibiarkan terus bersimpuh memohon, histeris menangis, mengatakan bahwa “kejahatan” yang dituduhkan kepadanya hanyalah sebuah kekeliruan. Akan tetapi, itu semua tidak cukup menggugah nurani dan kesadaran kemanusiaan “kita”sebagai manusia beradab. Kita dalam tanda petik yang penulis maksud adalah ya hakim, ya jaksa, ya pelapor (PT. Perhutani), ya mungkin juga hadirin lain, yang menyaksikan sidang, dan kita semua yang mendengar dan menyaksikan berita melalui TV. Sehingga dalam kemasygulan, penulis bergumam dalam hati, tentu saja sambil ngedumel dan bertanya, masih adakah nilai-nilai Pancasila yang diajarkan secara masif dulu melalui penataran P4, khususnya doktrin tentang sila kedua Pancasila, kemanusian yang adil dan beradab tertinggal di hati sanubari dan pikiran “kita”?

Belum lagi kalau penulis harus bertanya lebih lanjut di mana semua nilai dan norma moral agama yang menjadi pegangan kita sebagai orang yang beragama. Di mana refleksi internalisasi dari perasaan religiusitas sebagai manusia religi(us)? Apakah sudah sedemikian jauh infiltrasi budaya hedonis dan materialisme merasuki hati dan pikiran “kita”, sehingga demi tujuh batang kayu jati, “kita” tega “mempertontonkan” Nenek Asyani di depan publik untuk melakukan “adegan” bersimpuh memohon ampun?

Mungkinkah Negeri ini Sedang Sakit?

Rasanya, negeri dan bangsa ini sudah terlalu lama “sakit”. Negeri dan bangsa ini gagap bahkan gagal mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Terus menerus membiarkan hal yang sama terulang, dan berulang. Jangan sampai bangsa ini dianggap lebih bodoh dari keledai. Tidak pernah mau merefleksikan kegagalan yang pernah terjadi menjadi sebuah hikmah untuk perbaikan dan penyempurnaan. Sayangnya, dalam perspektif kontekstual peristiwa hari-hari ini, seakan menampar secara keras wajah bangsa ini, bahwa ternyata bangsa ini masih kalah sama keledai. Konon kabarnya, jika pernah berbuat salah, keledai tidak akan pernah (lagi) mengulangi kesalahan yang sama.

Kasus Nenek Asyani kembali membuka memori dan luka lama yang pernah dilakukan oleh para penegak hukum dan orang-orang yang telah menabalkan hati nuraninya di negeri ini. Dengan alasan menegakkan hukum dan demi prinsip semua orang harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law), sehingga “adegan” apapun yang dilakukan oleh pesakitan, khususnya Nenek Asyani,  di depan sidang tidak perlu digubris. Tidak ada lagi moral kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi pedoman. Mungkinkah, nilai kemanusiaan dan moral religius harus diletakkan pada posisi yang “pas” bila menyangkut penegakkan hukum? Mau muda, tua, nenek-nenek rentah, tidak menjadi soal kalau sudah berbicara tentang hukum, meski dia harus berakrobatik “bersimpuh memohon” untuk menunjukkan bahwa dirinya memang tidak bersalah.

Belum cukupkah potret buram penegakkan hukum, yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas, menjadi tontonan yang tidak menarik? Belum cukupkah sikap-sikap arogansi ingin menunjukkan superioritas yang salah kaprah, yang hanya membangkitkan memori menyakitkan untuk diingat? Apakah kasus Nenek Asyani akan menjadi penggenap bagi kasus yang sama yang pernah terjadi sebelumnya yang menimpa Nenek Mina, sang “pencuri” tiga buah kakao (coklat)? Atau Nenek Fatimah yang dituntut miliaran rupiah oleh anak kandung dan menantunya karena tuduhan merampas lahan? Ataukah masih panjang list harus kita buat untuk menulis Nenek Asyani, Nenek Mina, dan Nenek Fatimah, yang lain?

Kontradiksi Paradoksal: Keangkuhan Intelektual

Pada saat Nenek Asyani sedang memainkan “adegan” bersimpuh memohon ampun di PN Sitobondo, di tempat yang lain kita menyaksikan parodi yang tidak lucu, bahkan menjadi kontradiksi dari adegan Nenek Asyani. Di Mabes POLRI, tepatnya di Bareskrim POLRI, ada seseorang yang sangat dikenal sebagai pegiat antikorupsi, guru besar hukum (tata negara), mantan pejabat (penasehat khusus dan wakil menteri, hukHAM lagi), menunjukkan sikap paradoksal dengan semua atribut yang melekat pada dirinya. Dengan alasan tidak diijinkan didampingi penasehat hukum (PH), sang guru besar yang pegiat antikorupsi ini menolak (sumber) untuk menjawab semua pertanyaan penyidik. Padahal yang bersangkutan dipanggil untuk didengar dan dimintai keterangan sebagai saksi. Meski dalam status sebagai saksi terlapor.

Gejala semacam ini yang penulis sebut dengan “keangkuhan intelektual”. Merasa paling pintar sehingga dapat dengan leluasa mengibuli orang lain. Sehingga dalam banyak kasus kita “dipaksa” menyaksikan parade para cerdik pandai mencoba berkelit dengan berbagai argumentasi hukum, yang intinya hanya satu, bagaimana supaya dapat luput dari sasaran tembak penegakkan hukum. Ketika merasa kepentingan dirinya terancam, harus wara wiri ke sana kemari dan bila perlu dengan lantang berteriak, bahwa ini kriminalisasi, bahkan harus melakukan “napak tilas” ke istana, untuk mencari suaka. Tapi, jika merasa kepentingannya tidak terusik, dengan lantang pula berteriak, “tangkap dan penjarakan!”   Maka wajarlah pameo yang selama ini berkembang, bahwa hukum hanya berlaku untuk orang-orang yang tak berpunya. Tidak berpunya secara ekonomi, tidak berpunya secara sosial, dan tidak berpunya secara politik pula. Kelompok sosial inilah yang paling rentan dijadikan eksperimentasi penegakkan hukum, meski secara telanjang pula kita saksikan ketimpangan di sana sini. Sedangkan kelompok yang memiliki akses ekonomi, sosial, dan politik dengan bebas mengekspresikan penolakan tanpa merasa rikuh.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 13  Maret  2015


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun